Perspektif

Agama di Tangan Si Rendah Budi

2 Mins read

Bagaimana jika agama tak bisa merubah budi. Tetap saja suka mencela, hasud, gampang marah, dan mudah tersinggung.

Pernah seorang sahabat yang jengah karena konflik di tempat kerja dan berharap mendapat tenang menjadi pengurus masjid malah berbalik diperkusi karena masjid pun juga tidak steril dari konflik dan interest dengan bentuk yang lebih religius.

Karena agama tak mengubah perilaku dan tetap saja budi rendah dominan meski di dekat mihrab. Bisa saja beragama dengan penuh curiga dan menyelesaikan persoalan dengan wasangka dan keputusan diambil dengan cara berbisik. Lantas apa yang di dapat ?

Dr Fahri Ali mengilustrasikan dengan komprehensif bagaimana politik mihrab para ulama di serambi masjid. Jadi, jangan pernah mengira untuk menjadi imam atau mufti di masjid mulus-mulus saja. Menjadi paus bukan tanpa ongkos. Pada akhirnya semua kita bersiasat hingga di rumah Tuhan, dalam buku Le Papa yang fenomenal.

Kalian tergantung masa jahiliyahnya, demikian Rasulullah SAW berujar. Ketika jahiliyah suka mencela Allah, saat mukmin suka mencela sesembahan lain. Saat jahiliyah suka mencela ulama. Saat mukmin suka mencela pendeta, mungkin itu yang dimaksud.

Tetap saja, mencela dan menghasut yang berbeda hanya obyeknya tapi perilakunya sama tak berubah.  Jika dimasa jahiliyahnya pelit, jangan berharap berubah loman ketika menjadi mukmin. Tetap saja mengumpat dan melaknat sebagaimana masa jahiliyahnya meski sudah berganti atribut.

Ini memang tentang agama yang tak bisa mengubah. Saya tak bisa bayangkan dari kumpulan preman, penghasut, dan orang-orang rendah budi lainnya mendadak lantang bicara tentang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Kemudian bersemangat tegakkan syariat dengan caranya yang dianggap benar.

Para ulama mengedepankan akhlak ketimbang ilmu. Rasulullah SAW juga diutus untuk memperbaiki akhlak atau adab. Darinya, segala berpangkal. Sebagai pusat episentrum perilaku keberagamaan dalam konteks yang lebih substantif. Bukan sekadar atribut yang dikenakan.

Baca Juga  Gus Nadir dan Marwah NU Jelang Muktamar Ke-34

Musa AS bertanya: Ya Rabb apakah salatku membuat-Mu senang? Tidak karena salat hanya untukmu. Apakah puasaku membuat-Mu senang ? Tidak karena puasa hanya untukmu. Apakah hajiku yang membuat-Mu senang ? Tidak juga karena haji hanya untukmu. Lantas apa yang membuat-Mu senang ? Allah menjawab pendek; sedekahmu.

Sedekah itu membuat hamba-Ku senang. Memberi penghiburan yang sedih, melapangkan yang susah, dan menemani yang papa karena punya perlindungan. Senyum itu sedekah berkata baik itu sedekah.

Seorang istri yang membantu suaminya berbakti kepada ibunya itu sedekah pun sebaliknya. Jika tak ada satu kebaikan yang kamu dapatkan, maka keluar dan temui tetanggamu dengan muka manis.

Jadi, beragama itu adalah soal humanitas. Bicara tentang keadaban dan budi luhur. Tapi sayangnya,  budi luhur dan budi rendah adalah paradoks. Seorang polisi yang rajin menilang sopir angkutan umum yang dianggap melanggar aturan adalah seorang yang menyediakan diri siap disogok. Menyerahkan masa depan kepada para rahib sama dengan memberikan ruang baginya untuk menjual ayat Tuhan dengan harga murah.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds