Oleh: Djarnawi Hadikusuma*
Pada zaman Rasulullah tidak pernah dilakukan hisab. Dengan alasan itu, orang dapat mengatakan bahwa menentukan awal bulan untuk ibadah dengan hisab adalah “bukan sunnah.” Dan itu memang benar, tetapi sama benarnya dengan menggunakan jam untuk mengetahui waktu shalat juga bukan sunnah, tetapi dilakukan oleh semua orang.
Sunnah Rasul
Walaupun hisab bukan sunnah, namun ada sabda Rasul yang dapat dipahami bahwa hisab itu diperintahkan atau sedikitnya diperkenankan apabila hilal tidak kelihatan, yaitu: faidza roaitumuhu fa shumu wa in ghumma ‘alaikum faqduru lahu.
Arti daripada kata-kata “faqduru lahu” ialah: “maka hendaklah kamu kira-kirakan atau tetapkan atau hisabkan” dengan memperhitungkan manazil bulan seperti dalam firman Allah: “wa qaddarnahu manazila li ta‘lamu ‘adadas-sinina wal hisaba.” Demikianlah antara lain dikemukakan oleh ulama zaman Tabi’in. Mutharrif bin ‘Abdillah,ulama ahli hadits Ibnu Qutaibah, dan ulama Syafi’iyah Abul ‘Abbas Ahmad bin Umar Ibnu Suraij.
Syekh Muhammad As-Syayisdalam Muktamar III Al-Majma’ul Buhutsil Islamiyyahyang diadakan oleh Universitas Al-Azhar di Cairo bulan Oktober 1966 menguraikan prasaran tentang penetapan awal bulan Qamariyyah dengan judul, “Tahdidu Awailis Syuhuril Qamariyyah,” antara lain berkata:
“Maka bagi mereka yang dikaruniai Ilmu Hisab hendaknya berorientasi kepada cara yang ditentukan baginya, yaitu dengan cara hisab, dan orang umum yang tidak mengetahui Ilmu Hisab atau tidak bersedia mengikuti Hisab mereka, hendakalah menggunakan cara yang lebih mudah bagi mereka, yaitu ru’yah atau menggenapi bilangan 30 hari. Dengan demikian, kita tidak menganggap sepi kedua riwayat tersebut, tetapi kita bahkan menggunakan keduanya pada kondisinya masing-masing.”
Kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut ialah: ru’yah tetap menjadi pedoman, dan apabila hilal tertutup, maka boleh dengan istikmal atau dengan hisab.
Tetapi firman Allah tidak mensyaratkan terpakainya hisab setelah ternyata hilal tidak kelihatan, dan pengetahuan hisab tidak khusus teruntuk mereka yang mengetahui ilmu itu dan mereka yang mempercayainya, sebagaimana juga ru’yah tidak khusus untuk orang yang melihat hilal dan yang mempercayainya.
Maka hisab sekalipun dikatakan bukan sunnah, namun telah disinggung oleh Rasulullah dan diberikan kemungkinannya lagi sesuai dengan firman Allah.
Penentuan Awal Bulan Masa Lampau
Kata-kata “syahida” dalam firman Allah tersebut juga berarti “mengalami” atau “menghadiri,” maka arti daripada keseluruhan ayat itu sebagai berikut:
“Adapun kewajiban berpuasa itu selama bulan Ramadhan karena dalam bulan Ramadhan itulah Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia, menjadi penjelas yang gamblang tentang petunjuk itu, dan untuk menjadi pedoman pemisah haq dan batil. Maka barangsiapa di antara kamu yang menghadiri bulan itu hendaklah berpuasa selama bulan itu” (Al-Baqarah: 185).
Dari firman tersebut kita mengerti bahwa tujuan utama dari perintah Allah itu adalah berpuasa Ramadhan dan yang diwajibkan ialah mereka yang menghadiri bulan itu.
Hubungannya dengan Surat Yunus ayat 5 ialah bahwa untuk mengetahui masuknya bulan Ramadhan dan lain-lainnya. Allah takdirkan manazil bulan supaya dapat dirumuskan hisab-nya. Adapun Rasulullah, oleh karena umatnya pada masa itu belum pandai ber-hisab, memerintahkan ru’yah yang telah lazim dipakai orang sejak masa-masa yang lalu. Apabila hari mendung hingga hilal tertutup, maka diperintahkan menggenapi 30 hari. Bagi mereka yang mempu ber-hisab beserta pengikutnya dimungkinkan memakai hisab.
HIsab Membantu Rukyah?
Hasil hisab juga tertuang dalam jarum jam untuk mengetahui masuk dan batasnya waktu shalat dan saat datangnya waktu fajar di mana orang harus mulai berpuasa (imsak), sehingga orang tidak perlu bersusah payah ke luar rumah membawa benang hitam dan putih. Firman Allah: Wa kuluu wasyrabuu hattaa yatabayyana lakumul khaitul abyadlu minal khaitil aswadli minal fajri. Artinya, “Makan minumlah kamu pada malam hari hingga menjelang fajar ketika warna benang putih dapat dibedakan dari benang hitam..” (Al-Baqarah 187).
Di sinipun benang hitam dan putih hanya salah satu sarana untuk mengetahui datangnya saat menjelang fajar, dan tidak harus benang melainkan dapat diganti dengan secarik kain misalnya. Tetapi di atas itu semua, Allah tidak mungkin dengan ayat itu memerintahkan kita menggunakan benang. Maka berlaku pulalah perhitungan hisab yang dapat menentukan saat terlihat kemilaunya fajar yang menyorot dari bawah ufuk, dan hasil hisab ini tertuang dalam jam sebagaimana yang digunakan orang sekarang ini.
Sebagian orang berpegang pada ru’yah masih bersedia menerima hisab, asalkan hisab itu berfungsi semata-mata membantu ru’yah dalam arti menghitung kemungkinan ru’yah. Tetapi pendapat ini sebenarnya bahkan tidak sesuai dengan sunnah karena Rasulullah tidak pernah mempraktikkan atau memerintahkan untuk membantu ru’yah dengan hisab. Sabdanya jelas: berpuasalah dan berbukalah dengan ru’yah, jika tertutup awan maka dengan istikmal atau dimungkinkan dengan hisab.
Pernah beberapa kali terjadi dan yang terakhir pada tahun 1969, orang telah menolak persaksian ru’yah dengan alasan menurut perhitungan hisab tidak mungkin malam itu kelihatan hilal karena posisi bulan belum cukup tinggi. Dengan demikian, tidak lagi hisab membantu ru’yah melainkan sebaliknya: menganulirru’yah secara a-priori!Kalau orang bermaksud menolak persaksian ru’yah, maka yang sesuai dengan sunnah ialah dengan cara pembuktian kelemahan persaksian itu.
Kelemahan Ru’yah
Orang mengatakan bahwa hisab tidak mungkin menjadi pegangan karena banyak kelemahannya. Dalam wilayah satu negara seperti negara kita ini, sering terjadi menurut hisab hilal sudah mungkin dilihat dari daerah tertentu dan belum mungkin kelihatan dari daerah lain. Maka terdapat dua macam permulaan Ramadhan atau Syawwal yang keduanya tidak mungkin dipersatukan, sebab tentu salah satunya tidak tepat padahal gunanya hisab hilal adalah puncak mencari ketepatan.
Di samping itu ada hisab yang berpegang kepada ijtimak, ada yang berpendapat kepada wujudul-hilal pula kepada imkanur-ru’yah. Hal ini menambah kekacauan.
Tetapi ru’yah lebih sederhana dan mudah dipersatukan. Apabila seseorang menyatakan telah melihat hilal dan ada pula saksi-saksinya yang dapat dipercaya atau bersumpah dengan nama Allah, maka dapatlah diumumkan untuk seluruh wilayah negara.
Sebenarnya jika yang berhubungan dengan hisab seperti tersebut di atas itu dikatakan kelemahan, maka ru’yah pun banyak mempunyai kelemahan. Pertama, hilal yang terlihat atau mungkin dapat terlihat dari satu daerah, sering tidak mungkin terlihat dari daerah lain. Kedua, udara di atas ufuk yang padat mengandung uap air dan bermacam oksigen dan nitrogen dapat membiaskan bulan yang masih di bawah kelihatan seolah-olah di atas ufuk.
Ketiga, mudah dikacau oleh orang-orang yang sengaja mengacau dengan menyatakan melihat hilal yang dikuatkan oleh saksi-saksi palsu yang berani bersumpah palsu pula, apalagi jika mereka bersepakat untuk menyatakan melihat hilal pada beberapa tempat yang berjauhan. Keempat, adanya perbedaan pendapat antara para ulama tentang jumlah saksi terutama pada persaksian hilal satu Syawwal.
Apabila memang masalah permulaan Ramadhan dan Syawwal akan dipersatukan untuk seluruh wilayah negara, maka hisab pun dapat diperlakukan demikian. Terserah nanti dasar mana yang akan dijadikan pedoman, apakah ijtimak, atau wujudul-hilal, atau imkanur-ru’yah. Hal ini dapat dimusyawarahkan, demi keseragaman dan janganlah ada orang yang menuduh-nuduh kepada saudaranya yang belum sependapat, dengan tuduhan tidak mau bersatu, memecah-belah, membangkang, sengaja memamerkan pengaruh dan sebagainya.
Tuduhan semacam ini hanya merugikan kita semua. Segalanya akan selesai dengan musyawarah, musyawarah, dan musyawarah, sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
***
Persatuan dalam hal ini memang amat baik dan dapat diusahakan terus. Tetapi kelirulah jika orang menganggap bahwa belum berhasilnya penyatuan itu sebagai tanda perpecahan umat. Sungguh kalau kita berbicara tentang persatuan umat, benar-benar persatuan itu meliputi banyak segi dan mempunyai ruang lingkup yang jauh, jauh lebih luas daripada sekedar penyatuan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah.
*) Sumber: SM no. 2 & 4 Th. Ke-53/1973 dengan penyuntingan
Editor: Nabhan