Teori Ras berawal dari sebuah asumsi bahwa manusia kulit putih memiliki Gen yang lebih unggul dibanding manusia kulit hitam. Atau, sekelompok manusia dengan latarbelakang budaya tertentu dianggap lebih unggul dibanding yang lain. Dalam studi Antropologi, teori ini masih dianggap sebagai kebenaran yang harus diikuti. Faktanya, Rasisme masih mengancam peradaban umat manusia di muka bumi ini. Di Afrika, Amerika Serikat, Amerika Latin, dan sebagian Negara-negara Eropa, rasisme masih banyak ditemui.
Teori Ras
Teori Ras yang menjadi pemicu paham Rasisme berawal dari pandangan seorang antropolog Yahudi dari Swedia, Carolus Linnaeus, pada 1758. Ia membagi tipologi manusia cerdas (Homo Sapien) menjadi beberapa kategori: Homo Sapien Americanus, Homo Sapien Asiaticus, Homo Sapien Europaeus, dan seterusnya; Homo Sapien Americanus (Amerika) dianggap memiliki sifat-sifat seperti: pemarah, keras kepala, periang, bebas, dan seterusnya; Homo Sapien Asiaticus (Asia) dianggap memiliki sifat-sifat seperti: keras, sombong, bodoh, dan seterusnya; Homo Sapien Europaeus (Eropa) dianggap memiliki sifat-sifat seperti: aktif, sangat cerdas, berdaya cipta, dan seterusnya (Jonathan Marks, 1995).
Jika ditelusuri geneologi Rasisme, sebenarnya teori ini berasal dari tradisi Yahudi. Carolus Linnaeus, antropolog Yahudi yang menetap di Swedia, melahirkan teori ini berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Kaum Yahudi menganggap bahwa mereka adalah “bangsa terpilih” (the choosen people).
Bangsa Yahudi memiliki silsilah keturunan dengan Sam bin Nuh. Tetapi, sepanjang sejarah, mereka tidak pernah akur dengan keturunan Ham bin Nuh. Sam adalah manusia putra Nabi Nuh yang berkulit putih. Sementara Ham adalah putra Nabi Nuh yang berkulit gelap dan memiliki postur tubuh kekar dan tegap.
Sam selalu kalah secara fisik dengan saudaranya. Sifat-sifat Sam yang inferior selalu ditindas oleh saudaranya. Kedua saudara kandung keturunan Nabi Nuh ini memiliki perbedaan fisik dan karakter yang amat mencolok. Konflik antara Sam dan Ham terus berlanjut sampai melewati generasi berikutnya. Sampai melewati beberapa generasi, kaum Yahudi (keturunan Sam bin Nuh) memiliki sejarah konflik dengan keturunan Ham bin Nuh, seperti bangsa Koptik (Mesir), Etiopia, dan Afrika.
Konflik Etnis
Sewaktu Nabi Ibrahim hijrah ke Mesir, penduduk pribumi sempat mengolok-olok kaumnya yang merupakan kaum Smith (keturunan Sam bin Nuh). Penduduk mesir (bangsa Koptik) menganggap kaum Smith jauh lebih rendah peradabannya dibanding mereka. Sewaktu Palestina dilanda paceklik pada zaman Nabi Ya’qub, orang-orang Koptik menganggap sinis kedatangan keturunan Sam bin Nuh ke tanah Mesir. Sekalipun oleh Fir’aun—karena jasa Nabi Yusuf—mereka mendapat tempat dan fasilitas yang lengkap, tetapi penduduk pribumi menyikapi mereka secara sinis.
Konflik etnis antara keturunan Sam bin Nuh dan Ham bin Nuh terus berlanjut sampai beberapa generasi. Sejarah kelahiran Nabi Musa menunjukkan bahwa bangsa Koptik sangat menindas kaum Yahudi. Nabi Musa yang memiliki latarbelakang etnik Yahudi, pada akhirnya, menyatakan perlawanan terhadap orang tua angkatnya, Fir’aun (Ramses II). Adapun Fir’aun adalah bangsa Koptik yang jika dirunut silsilahnya merupakan keturunan Ham bin Nuh.
Tampaknya, latarbelakang konflik kaum Yahudi dengan bangsa-bangsa lain menjadi sumber inspirasi bagi Carolus Linnaeus untuk menciptakan teori Ras. Menurutnya, teori Ras merupakan pembagian tipologi manusia berdasarkan unsur genetik. Ia merekayasa secara politis beberapa jenis etnik yang dianggap memiliki sifat-sifat pembawaan secara genetik.
Teori Ras memang memiliki kaitan erat dengan doktrin keyakinan kaum Yahudi. Umat keturunan Nabi Dawud ini memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah “bangsa terpilih” (the choosen people). Tetapi dalam sejarah umat Yahudi senantiasa ditindas oleh bangsa-bangsa lain yang jauh lebih kuat. Oleh karena itu, para ilmuwan Yahudi menyusun rekayasa ilmu pengetahuan secara politis. Salah satu di antaranya ialah teori ras yang dicetuskan oleh Carolus Linnaeus.
Konstruksi Budaya
Pada awal Millenium Ketiga Sebelum Masehi, Mesopotamia merupakan kawasan subur dengan tingkat peradaban yang amat maju. Sebutan “Mesopotamia,” dalam bahasa Yunani, ditujukan untuk suatu kawasan subur yang diapit di antara dua sungai: Furat (Euphrate) dan Dajlah (Tigris). Disebabkan karena faktor kesuburan tanahnya dan kemajuan peradaban di kawasan ini, kondisi yang demikian memancing bangsa-bangsa lain berebut untuk menaklukkannya.
Bangsa yang pertama kali membangun peradaban di kawasan Mesopotamia ialah bangsa Sumeria. Mereka membangun peradaban berbasis agrikultur yang sangat maju. Didukung dengan kondisi alam yang subur, mereka mengembangkan sistem pertanian canggih sehingga penduduk Mesopotamia mencapai taraf hidup makmur. Mereka menjadikan kota Ur sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan.
Pada saat yang bersamaan, menurut sejarawan Charles Foster Kent, suku-suku dari Jazirah Arab berhijrah secara besar-besaran ke arah utara menuju tepi Laut Tengah. Karena diidera oleh kondisi kehidupan di padang pasir yang sulit, di bawah sengatan matahari yang terik, mereka mengembara tanpa arah dan tujuan. Sampai kemudian mereka menempati kawasan sempit di tepian Laut Tengah. Sambil menetap di sana, mereka berbaur dengan bangsa Sumeria yang telah memiliki peradaban maju. Orang-orang keturunan suku-suku Arab ini kemudian banyak belajar dari bangsa Sumeria.
Orang-orang keturunan dari suku-suku Arab yang membangun peradaban di Mesopotamia dikenal sebagai bangsa Akkad. Memasuki tahun 2800 SM, bangsa Akkad berhasil menguasai kawasan subur ini. Kekuasaan orang-orang Akkad mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sargon II. Kekuasaan Dinasti Akkad dipusatkan di kota Agade. Keturunan suku-suku di Arab Utara yang berhasil menaklukkan bangsa Sumeria merupakan etnik Smith.
Orang-orang Arya
Menurut sejarawan Israel Wilson, etnik Smith (Ibrani: Hebrew) ditujukan kepada sekelompok etnik yang pernah menyeberangi Euphrate atau Yordania seperti yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Ibrahim. Tetapi menurut sejarawan WD. Smith, etnik ini merupakan bangsa Armenia (Aram) yang sudah bercampuran dengan berbagai macam suku sehingga tidak memiliki otentisitas genetik. Kelompok etnik inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang di Palestina (Ahmad Syalabi, 2006: 14).
Mesopotamia pada Millenium Ketiga Sebelum Masehi merupakan kawasan sempit yang tidak mampu menampung populasi penduduk secara besar-besaran. Pembangunan peradaban tidak seimbang dengan populasi penduduk yang datang dari segala penjuru dunia. Kondisi yang demikian memaksa mereka untuk melakukan ekspansi (penyebaran) ke daerah-daerah lain.
Mereka terus menyebar lewat kelompok-kelompok kecil dengan identitas kultural yang khas. Dari kelompok-kelompok kecil tersebut kemudian tumbuh menjadi sebuah bangsa yang besar. Seperti mereka yang menempati kawasan Barat Daya Iran (Daratan Elam), sebagian dari mereka memilih untuk mendiami tempat tersebut, tetapi sebagian memilih untuk menjelajahi kawasan lain. Mereka yang menetap di Daratan Elam disebut sebagai “bangsa Arya.” Ekspansi terus berlanjut sampai ke daratan Ukraina, Turki, Yunani, dan pegunungan Balkan.
Menurut Karen Amstrong (2007), orang-orang yang pertama kali mendiami kawasan Barat Daya Iran adalah keturunan “bangsa terhormat.” Mereka, dengan amat bangga, menyebut diri sebagai “Orang-orang Arya.” Karakteristik kehidupan mereka amat bersahaja. Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah menggembala hewan ternak.
Teori yang Tidak Berdasar
Secara perlahan-lahan, orang-orang Arya membangun peradaban di kawasan ini lewat suku-suku (etnik) kecil yang masing-masing masih terikat secara longgar dalam suatu kebudayaan yang boleh dikata sangat identik. Kita tidak dapat menyimpulkan secara sepihak bahwa nenek moyang bangsa Arya adalah dari jenis etnik tertentu. Karena mereka adalah bangsa pendatang (nomaden), sudah barang tentu proses percampuran etnis (akulturasi budaya) tidak dapat terhindari. Mereka umumnya terdiri dari berbagai macam etnik yang disatukan secara longgar di atas sebuah sistem kebudayaan tertentu.
Kita kemudian dapat mengidentifikasi jenis etnik di antara mereka. Etnik yang mendiami kawasan Khurasan ialah Suku Parthia. Etnik yang menjadi induknya adalah Suku Media di Daratan Elam (Azerbaijan). Di kawasan Iran Selatan tumbuh peradaban baru dari Suku Persia (Persis-vang).
Penelitian genetik Steven Olson (2007) amat membantu dalam menjelaskan proses evolusi genetik sejarah umat manusia. Terutama untuk menjelaskan proses evolusi etnik sejarah orang-orang Arya yang mendiami Daratan Elam (Azerbaijan). Menurutnya, manusia-manusia modern paling tua di Eropa (Proto-Indo-Eropa) dipastikan berasal dari Timur Tengah yang hijrah menuju ke lembah Laut Tengah. Kemudian sebagian dari mereka berekspansi ke Pengunungan Kaukasia (Daratan Elam), Daratan Ukraina, lalu ke Turki, Yunani, dan Pegunungan Balkan.
Atas dasar inilah, pandangan para antropolog yang menganggap bahwa Ras sebagai konstruksi genetik merupakan kekeliruan besar. Teori Ras yang telah mengilhami kelahiran paham Rasisme tidak memiliki dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, teori Ras tidak lain merupakan konstruksi budaya yang dalam catatan sejarah terus berevolusi secara dinamis.
Editor: Nabhan