Perspektif

Larangan Ucapan Ultah dan Kontestasi Identitas di Sekolah

2 Mins read

Oleh: Bagus Mustakim*

Dikeluarkan dari sekolah karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman yang berbeda gender terkesan sebagai suatu keputusan yang berlebihan. Sebagaimana diberitakan di news.detik.com (12/01/2020), seorang siswi SMP di Solo dikeluarkan karena mengucapkan selamat ulang tahun kepada lawan jenis. Fenomena ini memang memprihatinkan, namun kita tidak boleh serta merta melakukan penghakiman terhadap keputusan sekolah. Perlu dilacak akar persoalannya kemudian dicarikan jalan keluar yang tepat.

Kontestasi Identitas Agama

Ada realitas kontestasi identitas agama dalam sekolah-sekolah bercorak keagamaan yang melatar belakangi kasus seperti ini. Karen Bryner pernah melakukan penelitian tentang kontestasi identitas agama dalam karya disertasinya di Columbia University (2013). Ia melakukan riset terhadap proyek kesalehan yang dijadikan sebagai identitas keagamaan pada sekolah bercorak agama di Indonesia. Ada dua sekolah yang diteliti oleh Bryner. Sekolah pertama menampilkan identitas Islam yang pluralis dan inklusif dengan pendekatan multi-tradisi untuk identitas Islam yang fleksibel. Sedangkan sekolah kedua menampilkan identitas Islam yang puritan, anti tradisi lokal, serta mempromosikan ketaatan yang terstandar.

Polarisasi semacam ini mulai tumbuh sejak era reformasi. Runtuhnya kekuatan Orde Baru memberikan ruang yang sangat terbuka bagi berbagai kelompok Islam untuk menampilkan identitas keislamannya di ruang publik. Identitas ini dijadikan sebagai suatu perlawanan kultural terhadap identitas yang sudah mapan. Di sinilah terjadi kontestasi identitas antara kesalehan yang didasarkan pada struktur yang sudah mapan dengan kesalehan baru yang berupaya untuk mengantikannya. Kontestasi tersebut kemudian menggunakan lembaga sekolah sebagai modal kultural dalam memproduksi identitas melalui kesalehan simbolik.

Dalam konteks ini, larangan ucapan maupun perayaan ulang tahun merupakan salah satu kesalehan simbolik yang diproduksi oleh sekolah. Ulang tahun dianggap sebagai budaya lian yang tidak boleh dilakukan. Ulang tahun dianggap merepresentasikan budaya agama lain. Sementara penggunaan identitas keagamaan diyakini sebagai bentuk dari keimanan seseorang. Karenanya menggunakan identitas agama lain disimpulkan sebagai suatu bentuk kekafiran.

Baca Juga  COVID-19 Edisi Kedua: Ujian Cinta di Bulan Istimewa

Pandangan seperti ini tidak hanya berlaku pada kasus ulang tahun saja. Banyak budaya lian lainnya yang masuk kriteria pelarangan, seperti perayaan tahun baru masehi dan hari kasih sayang.  Masyarakat yang belajar di sekolah tersebut mau tidak mau harus menjadikan kesalehan simbolik ini sebagai identitas dirinya. Dalam hal ini sekolah berperan “memaksakan” kesalehan simbolik kepada peserta didiknya. Kesalehan-kesalehan simbolik ini menjadi sejenis tatanan sosial yang mengikat individu yang berada di dalamnya.

Subyek Bukan Obyek

Dalam konteks kontestasi identitas, dominasi simbolik seperti ini merupakan realitas sosial yang lumrah. Namun dalam sudut pandang pendidikan, peserta didik tidak semestinya hanya dijadikan obyek dalam kontestasi tersebut. Menjadikan peserta didik sebagai obyek saja merupakan cara pandang yang sudah sangat tertinggal. Dalam sudut pandang pendidikan kontemporer peserta didik harus diposisikan sebagai subyek pembelajaran yang memiliki otonomi dalam berinteraksi dengan beragam simbol yang didapatinya di sekolah.

Sekolah memang berhak membuat aturan sesuai dengan kulturnya masing-masing. Tetapi peserta didik memiliki hak akademis sebagai subyek pembelajar. Karenanya menjadikan peserta didik semata-mata sebagai obyek belajar, merupakan praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pembelajaran itu sendiri. Sekolah, meskipun swasta dan memiliki kekhasan tersendiri, tetap harus membuka ruang dialog dengan peserta didiknya. Apalagi tuntutan pembelajaran abad XXI mendorong terciptanya kreativitas dan nalar kritis dalam diri peserta didik.

Dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban menjamin hak-hak akademis peserta didik. Pemerintah harusnya hadir untuk memastikan hak-hak itu dipenuhi oleh sekolah swasta. Pemerintah juga perlu masuk dalam arena kontestasi identitas sebagai kontrol dan regulator. Jangan sampai identitas yang diproduksi oleh sekolah bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Jika tidak, pemerintah bisa kecolongan, yakni tumbuhnya radikalisme di sekolah sebagai akibat pendekatan yang terlalu struturalis dengan menjadikan peserta didik sebagai obyek.

Baca Juga  The Invisible Hand di Era Pandemi COVID-19

Meskipun demikian pemerintah juga tidak boleh memaksakan suatu tatanan sosial tertentu yang mengikat semua sekolah dengan simbol-simbol yang sama. Pendidikan sudah terlalu lelah hanya mengejar target keseragaman yang diatur oleh pemerintah. Berikan otonomi kepada sekolah dalam menentukan kekhasan sekolahnya masing-masing, tapi tetap ada kontrol dan kendali mutu sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Dengan demikian, tidak perlu ada aturan dan tata tertib sekolah yang sifatnya menghakimi dan mengadili peserta didik. Karena sekolah adalah lembaga pendidikan bukan lembaga hukum dan peradilan.

*) Mahasiswa Program Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Organisator AGPAII Jawa Timur

Editor: Nabhan

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *