Oleh: Djohan Effendi
Dalam kasus agama kita, wahyu yang diterima Nabi dan disimpan dalam hafalan para sahabat serta ditulis konon di tulang dan pelepah korma, atau apa saja, kemudian setelah beliau wafat dibukukan dan dibakukan menjadi mushaf yang ada di tangan kita sekarang. Ia adalah kitab bacaan.
Memang al-Qur’an merupakan kitab suci yang paling banyak dibaca, bahkan dilagukan dan diperlombakan. Untuk membacanya kita mengenal beragam qira’at atau bacaan yang riwayat keabsahannya bertingkat-tingkat, ada yang dinilai masyhur dan syadz. Dari hasil seleksi kemudian kita mengenal qira’at tujuh, sepuluh dan empat belas, dan masing-masing qira’at mempunyai versi sendiri-sendiri. Maka kita mengenal apa yang disebut Ilmu qira’at.
Jangan dilupakan, perbedaan qira’at tidak hanya berupa perbedaan pengucapan tapi juga perbedaan kata yang berbeda maknanya. Orang mungkin saja timbul pertanyaan dalam benak kita bacaan mana gerangan yang sebenarnya merupakan bacaan Nabi sendiri dan para sahabat beliau? Agaknya, perbedaan qira’at itu bukan karena Nabi mengucapkannya berbeda-beda tapi terutama disebabkan oleh Mushaf Usmani ditulis dengan aksara Arab yang ketika itu belum mengenal titik dan tanda baca seperti yang kita lihat dalam mushaf sekarang.
Tidak Sekadar Dibaca
Tentu saja, al-Qur’an tidak sekadar dibaca tapi juga dipahami dan ditafsirkan. Karena bentuknya pemahaman dan kemudian penafsiran dengan sendirinya corak penafsirannya sangat diwarnai oleh sang mufassir, para penafsir. Tentulah tidak mungkin hanya ada satu pemahaman dan satu penafsiran. Muncul berbagai aliran penafsiran sebagai akibat perbedaan latar belakang para mufassir, baik pengetahuan dan pengalaman mereka.
Ada yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan riwayat yang diterima dari Nabi atau sahabat dan ada pula yang menafsirkannya berdasarkan pengertian bahasa. Maka keahlian dan kecenderungan mufassir menentukan corak tafsir yang mereka tulis. Ada yang menggali makna simbolis dari ayat-ayat al-Qur’an dan lahirlah Tafsir Isyari, yang menggumuli isyarat-isyarat yang terkandung di dalamnya.
Ada pula yang menafsirkan al-Qur’an dengan latar belakang penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga buku tafsir yang muncul seakan-akan sebuah eksiklopedia ilmu pengetahuan. Sampai timbul selorohan semua hal ada dalam buku tafsir itu kecuali tafsir itu sendiri. Semula kita mengenal buku tafsir yang menyajikannya berdasarkan urutan surah dan ayat sebagaimana tertulis dalam mushaf dan karena itu disebut Tafsir Mushafi. Tapi akhir-akhir ini muncul buku tafsir yang berdasarkan tema yang dikandung ayat-ayat al-Qur’an yang dikenal sebagi Tafsir Maudhu’i, tafsir tematik.
Tentu masih banyak yang diperbincangkan para ulama berkenaan dengan al-Qur’an. Maka selain ilmu tafsir kita juga mengenal apa yang dinamakan ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa Arab, ia diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Terdapat beragam terjemahan dalam satu bahasa. Berbeda-beda karena terjemahan berdasarkan pemahaman sang penerjemah yang pada dasarnya juga penafsiran.
Mengenal Hadis
Selain Al-Qur’an para sahabat juga merekam dalam ingatan mereka ucapan dan perbuatan Nabi dan kemudian disampaikan kepada generasi sesudah mereka. Itulah yang kita kenal sebagai hadis. Hadis-hadis itu kemudian juga dikumpulkan, diseleksi, dipilih, dipilah, dan dibukukan. Lahirlah buku-buku kumpulan hadis. Hadis yang berhasil dikumpulan tentu tidak semuanya benar-benar ucapan atau tindakan yang berasal dari Nabi sendiri. Proses penelitian hadis terjadi, baik mata rantai periwayatannya maupun isi kandungannya.
Maka kita mengenal hadis-hadis yang diyakini, yang diduga kuat, yang diragukan dan ditolak kesahihannya. Timbullah istilah hadis mutawatir, masyhur, dan ahad, hadis sahih, hasan, dhaif, dan mawdhu atau palsu. Maka lahir ilmu Musthalahul-Hadis. Selain meneliti kesinambungan para periwayat hadis juga diteliti kualitas pribadi mereka yang meriwayatkan hadis, perilaku akhlaknya, kejujurannya, dan sebagainya. Lalu muncul Ilmu Rijalul-hadis. Belum lagi kalau kita berbicara tentang hadis di kalangan Islam Syiah. Mereka mempunyai buku kumpulan hadis tersendiri.
Sebagai pembawa agama tentu saja Nabi mengajarkan tentang kepercayaan dan tentang perbuatan yang disimpulkan dari, baik dari al-Qur’an maupun dari hadis dan sunnah beliau. Dari situ lahir ajaran tentang aqidah dan syariat. Maka terjadi juga proses pemahaman, penafsiran, formulasi, sistematisasi, dan saintifikasi. Timbullah Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih. Metode perumusan kesimpulan berkenaan dengan Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih juga dirumuskan sehingga kita mengenal Ilmu Usulud-din dan Ilmu Usulul-fikih.
Untuk melihat bagaimana proses saintifikasi itu berlanjut hingga sekarang kita bisa lihat contohnya dalam Ilmu Fikih. Sistematika fikih klasik terbagi atas empat bagian: ibadah, munakahat, muamalat, dan jinayat. Begitulah berlangsung berabad-abad lamanya. Akan tetapi setelah berdiri perguruan-perguruan tinggi Islam sistematika fikih mengalami perubahan karena terpengaruh oleh sistematika hukum Barat. Maka kita mengenal nama-nama baru seperti fikih akhwalusy-syahsiyah (perorangan), fikih mali (kebendaan), fikih idari (tata usaha), fikih dusturi (konstitusi), fikih duali (antar negara). Lalu muncul lagi istilah fikih siyasah (politik), fikih an-nisa (perempuan), fikih prioritas, dan sebagainya.
Debat Pemikiran-pemahaman
Obyek perbicangan fikih tak habis-habis. Bukan saja karena banyak masalah baru tapi juga tentang masalah lama. Beberapa tahun yang lalu terjadi polemik antara almarhum Ustadz A. Qadir. Hassan melalui majalah al-Muslimun, Bangil, dan almarhum Ustadz Haji E. Abdullah melalui majalah ar-Risalah, Bandung, dua-duanya diterbitkan oleh kalangan Persis. Kedua majalah itu berpolemik tentang meletakkan kedua tangan setelah ruku’. Ustadz Qadir Hassan mengemukakan pendapat baru, kedua tangan harus dikembalikan seperti sebelum ruku, bersidekap, sedangkan Ustadz E. Abdullah mempertahankan pendapat lama, yakni kedua tangan terjuntai seperti kita lakukan selama ini.
Kalangan Muhammadiyah di Jawa Timur juga pernah memperdebatkan tentang takbir tambahan (zaidah) dalam sembahyang ‘Id. Pakai atau tidak? Masih tentang pelaksanaan ‘Id, tidak hanya perbedaan kapan ‘Idul Fitri tapi juga perbedaan kapan ‘Idul Adha pun sejak tahun 70-an terjadi. Kalau tentang ‘Idul Fitri terkait dengan masalah berdasarkan ru’yah atau hisab, tentang ‘Idul Adha terkait dengan masalah berdasarkan Hari Arafah menurut kalendar Arab Saudi atau ditetapkan tanggal 10 Dzulhijjah menurut kalendar setempat.
Coba bayangkan tentang masalah ibadah saja, seribu lima ratus tahun setelah Nabi wafat, ternyata belum juga selesai. Masih terbuka penemuan baru. Dan semuanya merasa merekalah yang sesuai dengan apa yang dilaksanakan Nabi. Perlu dicatat bahwa perbedaan tentang masalah cara melakukan ibadat seperti sembahyang ini bukan masalah ringan. Di sini muncul wacana tentang sunnah dan bid’ah. Bagaimana tidak ringan sebab bagi kalangan anti bid’ah semua ibadah yang tercemari oleh bid’ah adalah sesat dan ujungnya adalah neraka.
Diskursus panjang dalam masalah aqidah yang bersifat debat pemikiran dan masalah fikih yang bersifat debat pemahaman tentu saja tidak memuaskan mereka yang cenderung pada penghayatan spiritualitas. Sebab agama seolah-olah berhenti sekedar olah otak dan bersifat eksoterik atau lahiriah, lebih terkait dengan masalah kehidupan lahiriah saja dan kurang menyentuh aspek esoterik yang menyangkut kehidupan batiniah. Berkembanglah pemahaman yang lebih memperhatikan aspek kedalaman yang melahirkan tasawwuf. Lama-lama juga terjadi saintifikasi dan lahirlah Ilmu Tasawwuf.
Di sini juga kita mengenal Tasawwuf Falsafi yang memperbincangkan tentang pemikiran ketuhanan dan tingkat-tingkat keberagamaan menuju kedekatan kepada Tuhan serta Tasawwuf amali atau akhlak yang memperbincangkan moralitas manusia baik yang bersifat lahiri maupun yang bersifat batini. Lebih jauh muncul pula berbagai metode atau cara zikir mengingat Tuhan yang kita sebagai sebagai tariqat. Dan semua tariqat mempunyai mata rantai silsilah sendiri dan masing-masing menyatakan bahwa metode yang mereka pakai diterima Nabi dari Jibril. Maka kita juga mengenal Ilmu Tariqat.
Agama adalah Interpretasi
Proses saintifikasi itulah uang melahirkan kepustakaan Islam yang bertimbun-timbun banyaknya. Apalagi karena pemahaman dan penafsiran dilakukan oleh banyak ulama. Muncullah berbagai mazhab dan aliran. Dalam bidang aqidah kita mengenal aliran Sunni, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan sebagainya. Dalam bidang fikih kita mengenal mazhab-mazhab fikih seperti empat mazhab yang bertahan sampai sekarang.
Di luar itu masih banyak lagi pendapat-pendapat ulama fikih yang tidak berkembang dan hanya kita baca dalam buku-buku fikih lama. Dalam perspektif yang lain, kita juga mengenal Islam Sunni dan Islam Syiah, dan tentu juga Islam-Islam yang lain.
Memang apa yang kita sebut sebagai agama itu pada hakikatnya adalah sebuah interpretasi. Teks-teks suci yang menjadi sumber agama tidak berbicara sendiri. Ia sampai kepada kita melalui pemahaman dan interpretasi yang telah diformulasi oleh orang-orang sebelum kita sebagaimana terungkap dalam berbagai mazhab fikih. Atau pendapat-pendapat baru seperti fatwa MUI atau hasil Bahtsul-Masa’il atau keputusan Tarjih, atau fatwa ulama al-Azhar atau ulama Rabithah Alam Islami, atau lembaga apapun namanya. Semuanya bukanlah nash atau teks agama yang bersifat qath’i.
Sedangkan nash yang disebut qath’i sekalipun masih bisa diperdebatkan sebab yang menentukan qath’i tidaknya sebuah nash bukan nash itu sendiri tapi juga manusia. Itulah yang membuat para ulama dan fukaha kita berdebat dan berpolemik.
Sebab, ketika seseorang mengatakan bahwa pendapatnya sesuai dengan agama, maka dalam benaknya yang ia maksud dengan kata agama itu adalah agamanya sendiri, tidak hanya itu, tapi mazhab atau aliran atau sekte yang ia anut, tentu sekali lagi menurut persepsi dan pemahamannya sendiri. Tentu saja hal in wajar-wajar saja.
Akan tetapi perbedaan pendapat ini tidak wajar lagi karena ada kecederungan bahkan sudah menjadi kenyataan, yakni fenomena absolutisasi pendapat. Hanya ada satu pendapat dan pemahaman yang benar, yakni pendapat dan pemahamannya atau kelompoknya sendiri sedangkan pendapat dan pemahaman orang dan kelompok lain pasti salah. Timbullah sikap saling menyesatkan. Ungkapan Wallahu a’lam bishshawwab, hanya Allah sajalah yang lebih tahu mana yang benar, sudah tak tak terdengar lagi. Manusia sebagai makhluk relatif telah mempertuhan pendapatnya sendiri. Karena yang absolut hanyalah Tuhan.
*) Artikel ini ditulis langsung oleh almarhum Djohan Effendi di Bombai, India, pada 27 Desember 2007, yang dipersiapkan untuk Kata Pengantar buku Doktrin Islam untuk Perubahan Sosial (belum sempat terbit). Untuk mengenang dan sekaligus menghormati jasa almarhum sebagai salah satu tokoh pemantik pembaruan Islam di tanah air, redaktur IBTimes.id menyunting dan memuat tulisan ini secara berseri.
Editor: Nabhan