Perspektif

Agama Itu Sederhana, Menjadi Rumit Karena Umatnya

3 Mins read

Oleh: Djohan Effendi*

Menarik memang mengikuti tulisan Mu’arif sebagaimana tertuang dalam buku ini. Ia mendiskusikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat Islam di negeri kita, terkait dengan berbagai aspek kehidupan. Di samping melontarkan kritik, ia juga menawarkan gagasan untuk merespon berbagai problem masa kini. Permintaan Mu’arif untuk menulis kata pengantar bukunya ini membuat saya harus berpikir apa yang sebaiknya ditulis agar sedikit banyak ada gayutannya dengan pesan yang ingin disampaikan oleh Mu’arif.

Permintaan Mu’arif ini membuat saya berefleksi sambil mengingat-ingat kembali apa yang pernah terlintas dalam pikiran selama ini berkenaan dengan kegalauan, kerisauan, keprihatinan, bahkan kekecewaan terhadap prikehidupan beragama umat selama ini. 

Islam Tinggal Nama

Kalau kita amati dan rasakan apa yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat kita alangkah semarak kehidupan beragama di negeri kita ini. Masjid-masjid berdiri megah dan indah. Kantor-kantor dan tempat-tempat umum menyediakan mushalla, bahkan tidak sedikit yang membangun masjid. Pendidikan agama diwajibkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pengajian di mana-mana.

Setiap pagi kita dengar kuliah subuh di radio dan televisi. Para da’i dan da’iyah tampil tak kalah gemerlap dibanding selebriti. Tapi mengapa negeri kita juga masih tinggi peringkat korupsinya?

Nabi mengajarkan dan menganjurkan agar umat beliau menyebarkan salam damai dan menampakkan wajah senyum kepada masyarakat sesama, tapi mengapa citra agama makin menakutkan? Al-Qur’an menjamin keamanan rumah-rumah ibadah, gereja, sinagog, klenteng, dan masjid tempat nama Tuhan diagungkan, tentu saja menurut keyakinan masing-masing. Tapi mengapa ada di antara umat Islam yang melakukan perusakan dan penghacuran rumah-rumah ibadah orang lain?

Menyimak jurang perbedaan antara ajaran agama dan realitas umatnya timbul kekhawatiran apakah situasi seperti ini merupakan penggenapan kekhawatiran Nabi tentang kedatangan suatu zaman ketika Islam tinggal nama. Al-Qur’an tinggal aksara, masjid-masjid semarak tapi sepi dari petunjuk Tuhan, sedangkan ulama mereka seburuk-buruk manusia di bawah kolong langit. Dari mereka timbul fitnah dan kepada mereka pula akan kembali fitnah itu.  

Baca Juga  Pentingnya Selektif dalam Memilih Guru Agama

Berangkat dari semua itu, saya mencoba menoleh ke belakang ke zaman Nabi 15 abad yang lampau, suatu zaman yang menurut sebuah hadis yang sering kita dengar, zaman terbaik dalam sejarah umat Islam. Pastilah tidak sulit untuk dibayangkan betapa besar perbedaan antara zaman kita dan zaman Nabi. Namun, dengan mencoba menelusuri kembali perkembangan kehidupan umat Islam hingga sekarang walau hanya sekilas pintas, mungkin kita bisa sedikit memahami apa yang terjadi hingga kita mengalami kehidupan beragama seperti kita sekarang ini.

(Sebenarnya) Agama itu Sederhana

Pada suatu ketika, kira-kira sekitar tahun 80-an paruh kedua, saya mengikuti lokakarya yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum bertempat di Hotel Wisata, belakang Hotel Indonesia, yang sekarang kedua-duanya sudah tak ada lagi. Pokok perbincangan adalah perkuliahan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum.

Beberapa peserta, para cendekiawan muslim terkemuka menyampaikan paparan mereka yang memuat gagasan tentang bagaimana sebaiknya kuliah agama Islam disajikan kepada para mahasiswa di perguruan tinggi umum, sistematika maupun substansinya. Tentu saja sajian gagasan yang muncul dalam diskusi beragam dan sophisticated, karena berasal dari kalangan “selected few”. Kelompok kecil orang-orang terpilih, para cendekia yang terpelajar atau yang dalam bahasa kalangan tasawwuf mereka adalah orang-orang yang sudah sangat tinggi tingkat keberagamaannya. Sudah menduduki maqam paling istimewa yang disebut “khawashul-khawash.”

Mengasyikkan memang. Di tengah-tengah keasyikan mengikuti diskusi itu tiba-tiba terbesit dalam benak saya, andaikata saja Nabi Muhammad SAW hidup kembali dan menyaksikan pembicaraan di ruang lokakarya itu, apa kira-kira reaksi beliau? Saya bayangkan dahi beliau berkerut sambil geleng-geleng kepala, terheran-heran sambil bergumam, “mengapa agama yang beliau ajarkan begitu sederhana, gampang dicerna dan mudah dipahami oleh umat yang sebagian besar buta huruf, kok menjadi begitu ruwet dan rumit setengah mati setelah diolah oleh para umat beliau yang terpelajar?”

Baca Juga  Sikap Politik Komikus dan Islamisme

Memang semua agama agaknya mengalami nasib yang serupa. Ajaran agama yang disampaikan oleh para pembawanya sederhana tapi kemudian berubah. Setelah melalui proses interpretasi dan formulasi oleh para pengikutnya, menjadi makin canggih dan menjelimet, dan karenanya ruwet dan rumit. Agama yang pada mulanya merupakan seperangkat nilai dan norma untuk diwujudkan dalam laku dipahami, diinterpretasi, disistematisasi, dan diformulasi malah disaintifikasi menjadi “ilmu”.

*) Artikel ini ditulis langsung oleh almarhum Djohan Effendi di Bombai, India, pada 27 Desember 2007, yang dipersiapkan untuk Kata Pengantar buku Doktrin Islam untuk Perubahan Sosial (belum sempat terbit). Untuk mengenang dan sekaligus menghormati jasa almarhum sebagai salah satu tokoh pemantik pembaruan Islam di tanah air, redaktur IBTimes.Id menyunting dan memuat tulisan ini secara berseri.

Editor: Nabhan  

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *