Ketika Byzantium memenangkan pertempuran melawan imperium Persia dalam rangka memperebutkan Mesir, Syiria, dan Anatolia, Nabi Muhammad saw berhasil membangun sebuah peradaban alternatif yang diawali dari sebuah peristiwa besar. Peristiwa tersebut adalah Hijrah Agung (622 M) yang menjadi titik awal pembentukan masyarakat Islam berbasis teosentrisme di Yatsrib (Madinah an-Nabi).
Hijrah Agung
Hijrah agung berawal ketika Nabi saw berdakwah di kota Makkah, tetapi oleh suku Quraisy ditolak secara kasar. Bentuk penolakan tersebut berupa aksi pemboikotan, intimidasi, dan penyiksaan terhadap Nabi saw dan pengikut-pengikutnya.
Di tengah kegalauan hati, justru Allah swt menguji kesabaran Nabi saw dengan rentetan peristiwa yang menyedihkan. Istri Nabi saw yang paling setia (Khadijah) meninggal dunia. Kepedihan kembali datang ketika paman Nabi saw (Abu Thalib bin Abd. Muthalib) meninggal dunia di usia tua. Kesedihan yang menghiasi hari-hari Nabi Saw kemudian dikenal dalam catatan sejarah Islam sebagai ‘Am al-Khuzn (Tahun Duka-Cita) (Nurcholish Madjid, 1995: 31-36).
Dalam kondisi tertekan oleh intimidasi dan teror kaum Quraisy, Nabi saw berinisiatif pindah tempat. Menyadari bahwa kota Makkah sudah tidak nyaman, Nabi saw berinisiatif pindah ke kota Thaif.
Tetapi sayang, nasibnya belum mujur. Justru, masyarakat kota Thaif (Bani Tsaqif) menolak kedatangannya. Nabi saw mendapat hinaan dan perlawanan dari penduduk Thaif yang menolak dakwahnya.
Sementara beberapa sahabat mencoba menjajaki hijrah ke Habasyah (Ethiopia) sampai dua kali. Meskipun Sang Negus (Najasyi), penguasa Habasyah, menerima ajakan masuk Islam, tetapi kaum muslimin tidak dapat berbuat banyak.
Pada bulan Rajab, tepatnya pada tahun ke-11 dari kenabian, datanglah rombongan berjumlah 12 orang dari kota Yastrib untuk menyatakan baiat.
Dalam catatan sejarah Islam, peristiwa baiat tersebut dikenal dengan Baiat Aqabah I (Bai’at al-Aqabah al-Ula) (621 M). Selang beberapa waktu kemudian, datang rombongan dari kota Yatsrib mengadakan Baiat Aqabah II (Bai’at al-Aqabah Ats-Tsaniyah) (622 M).
Pasca Baiat Aqabah I dan Baiat Aqabah II, Nabi saw merasa optimis pindah ke Yatsrib. Apalagi, beberapa suku di kota tersebut telah menerima ajarannya—terutama suku ‘Aus dan Khazraj.
Dengan pertimbangan jika berdakwah di kota Makkah hanya akan mendapat resistensi, maka Nabi saw memerintahkan kepada para pengikutnya yang setia untuk Hijrah.
Dalam catatan sejarah umat Islam, peristiwa Hijrah merupakan titik awal pembentukan masyarakat Islam. Peristiwa Hijrah Agung ini menjadi pedoman bagi pembuatan kalender Islami yang berdasarkan sistem peredaran bulan (Kalender Hijriyah/Qamariyah).
Terhitung sejak peristiwa Hijrah Agung, umat Islam memasuki babak baru, yakni memulai “tahun pertama” Hijriyah (622 M).
Para pengikut Nabi saw rela hati meninggalkan harta benda, sanak saudara, dan teman-teman dekat mereka di Makkah untuk hijrah ke kota Yatsrib. Pengorbanan tulus para pengikut Nabi saw itulah yang menjadi tolak ukur komitmen para sahabat untuk mewujudkan masyarakat Islam di kota Yatsrib.
Kedatangan Nabi saw dan para sahabat dari Makkah (kaum Muhajirin) diterima dengan sambutan hangat oleh masyarakat Yatsrib. Mereka adalah Suku ‘Aus dan Khazraj yang merupakan keturunan Arab Qathan.
Kebijakan-kebijakan strategis yang diambil oleh Nabi saw pertama kali masuk kota Yastrib adalah: mengubah nama kota Yastrib menjadi Madinah al-Munawwarah (Kota Pencerahan); menyatukan persaudaraan (ukhuwwah: solidaritas) dan cinta kasih antara Kaum Muhajirin (Makkah) dan Kaum Anshar (Madinah) agar dapat saling memberi dan menerima secara tulus dan ikhlas; dan membuat komitmen bersama untuk membentuk masyarakat yang damai, sentosa, dan penuh limpahan rakhmat dari Allah swt. Komitmen tersebut bukan hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan bersama umat lain (Yahudi) (Marcel A. Boisard, 1980: 156-174).
Hijrah dan Perubahan Sosial
Dalam perspektif spiritual, peristiwa hijrah yang dilakukan oleh para nabi berkaitan dengan peran dan fungsi mereka sebagai pembawa ajaran dari langit. Para nabi menerima wahyu sebagai landasan filosofis untuk melakukan perubahan tatanan kehidupan.
Kenabian Muhammad saw merupakan puncak dari estafet kenabian dari langit. Pasca Nabi Muhammad, pintu wahyu sudah tertutup. Oleh karena itu, kenabian Muhammad merupakan penutup dari estafet kenabian dari langit. Wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw (al-Qur’an) merupakan penyempurnaan final dari ajaran-ajaran langit.
Dalam perspektif sosio-kultural, peristiwa hijrah yang dilakukan oleh para nabi merupakan bagian dari dimensi kesejarahan. Peristiwa-peristiwa hijrah para nabi sudah menjadi fakta historis di masa lampau.
Sebagai bagian dari dimensi kesejarahan, manusia dapat mengambil hikmah dengan mempelajari proses historis hijrah yang dilakukan para nabi.
Meskipun peristiwa-peristiwa di masa lampau tidak mungkin dapat dihadirkan kembali dalam dimensi kekinian, tetapi manusia di zaman sekarang bisa mempelajarinya lewat bukti-bukti peninggalan sejarah.
Dengan mempelajari peristiwa-peristiwa hijrah yang dilakukan para nabi di masa lampau, manusia di zaman sekarang bisa mengambil pelajaran yang berharga dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang mudah berubah kian drastis.
Manusia menghadapi tantangan zaman mengalami perubahan pola pikir, sikap, nilai-nilai yang dianut, sistem sosial dan tradisi-tradisi dalam masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman, pola pikir, sikap, nilai-nilai, sistem sosial dan tradisi-tradisi dalam masyarakat juga harus dinamis mengimbangi perubahan tersebut.
Dalam proses menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, ternyata kehidupan manusia tidak sekadar berubah mengikuti perkembangan zaman.
Pola pikir, sikap, nilai-nilai yang dianut, sistem sosial, dan tradisi-tradisi dibentuk lewat proses yang panjang dan menjadi bagian dari khazanah budaya suatu kelompok masyarakat. Dalam proses mengimbangi perkembangan zaman, harus terdapat unsur-unsur yang dipertahankan.
Proses perubahan sosial tidak muncul dengan sendirinya. Terdapat latarbelakang sosio-kultural yang dalam standar-standar tertentu mengharuskan proses perubahan tersebut.
Tetapi makna perubahan di sini tidak berarti secara radikal memutus hubungan dengan masa lalu demi menyusun suatu tatanan kehidupan baru. Paradigma semacam ini jelas absurd, karena manusia hidup terikat dalam ruang dimensi kebudayaan suatu masyarakat.
Pola pikir, sikap, nilai-nilai, sistem sosial, dan tradisi-tradisi yang telah lama terbentuk tidak mungkin diubah secara revolusioner. Sekalipun proses perubahan dilakukan secara radikal dan massif, tetapi pasti terdapat unsur-unsur lama yang tetap dipertahankan.
Proses perubahan juga mensyaratkan unsur-unsur baru sebagai alternatif yang akan menggantikan unsur-unsur lama yang sudah tidak relevan dalam konteks zaman.
Dalam proses pembentukan konsepsi monoteisme samawi, Nabi Ibrahim banyak bersentuhan dengan pola pikir, sikap, nilai-nilai, sistem sosial, dan tradisi masyarakat setempat. Sekalipun dalam keyakinan Ibrahim sudah terpatri konsepsi monoteisme yang absolut, tetapi dalam proses implementasinya masih terdapat kegundahan, keragu-raguan.
Bahkan, nabi ini sempat meminta kepada Tuhannya supaya memperlihatkan bagaimana proses penciptaan (Qs. Al-Baqarah [2]: 260).
Nabi Ibrahim merupakan keturunan bangsa Akkad yang sudah lama berasimilasi dengan kebudayaan Sumeria. Dalam hal pola pikir, bangsa Sumeria yang sudah mencapai taraf hidup makmur sudah tidak mempermasalahkan kehidupan ekonomi, sehingga mereka mencari figur-figur tuhan sekunder.
Dewa-dewa bangsa Sumeria merepresentasikan figur-figur yang jauh lebih hedonis, seperti Dewi Kecantikan (Venus: Ishtar). Dalam suatu kesempatan, nabi ini hampir saja meyakini Planet Venus (Dewi Ishtar) sebagai sesembahan yang sesungguhnya, seandainya Tuhan tidak memberi ilham kepadanya (Qs. Al-An’am [6]: 76).
Secara tidak langsung, dalam proses pembentukan konsepsi monoteisme samawi ini, Nabi Ibrahim telah terpengaruh dalam pola pikir bangsa Akkad yang mewarisi pola pikir bangsa Sumeria. Berangkat dari model pola pikir semacam ini, bangsa Akkad membangun sistem nilai yang kemudian iimplementasikan dalam struktur sosial-kemasyarakatan dan tradisi-tradisi.
Proses hijrah yang dilakukan Nabi Musa dan kaumnya juga tidak bisa terlepas dari konstruksi sosial masyarakat Mesir yang berbasis paganisme. Sosok Musa merupakan nabi yang revolusioner. Karakternya yang keras dan tegas merupakan hasil didikan dari keluarga Fir’aun. Dalam banyak hal, pola pikir dan sikap Nabi Musa mencerminkan budaya koptik (Mesir kuno).
Tugas kenabian Musa adalah meluruskan sikap dan pandangan Fir’aun yang bertindak tiranik dan mengklaim sebagai tuhan. Di luar kedua konteks ini, Bani Israel yang telah lama berasimilasi dengan kebudayaan koptik jelas menjadi bagian dari sistem kebudayaan tersebut.
Begitu pula hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Pasca hijrah atau setelah umat Islam menyelenggarakan kehidupan baru di Madinah, pola pikir dan sikap mereka masih mencerminkan khas kultur Quraisy. Walaupun Nabi Muhammad kemudian menawarkan nilai-nilai, sistem sosial, dan tradisi baru, tetapi proses ini tidak dilakukan secara radikal. Justru, beberapa nilai dan tradisi lama masih dipakai setelah melewati proses seleksi yang melibatkan peran wahyu.
Nabi Muhammad memang menawarkan sistem sosial baru dengan cara mengikatkan tali persaudaraan di antara beberapa suku di kalangan umat Islam. Model jalinan persaudaraan ini memang baru bagi kalangan suku-suku di Arab. Tetapi harus diingat bahwa Nabi Muhammad juga masih menggunakan nilai-nilai dan tradisi lama untuk memperkokoh sistem sosial-kemasyarakatan Islam di Madinah.
Dengan demikian, proses perubahan sosial tidak mungkin dilakukan secara radikal memutus hubungan dengan masa lalu dan membuka jalan untuk menyelenggarakan kehidupan yang baru sama sekali.
Teori perubahan sosial semacam ini jelas absurd. Sebab, proses perubahan sosial harus memberikan batasan-batasan yang jelas, unsur-unsur apa saja yang harus dipertahankan dan unsur-unsur mana saja yang harus berubah.
Paradigma perubahan sosial yang digali berdasarkan kisah hijrah para nabi memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan teori-teori perubahan sosial yang digagas oleh para ilmuwan Barat.
Peristiwa hijrah, di samping sebagai peristiwa kesejarahan, juga merupakan manifestasi dari pesan wahyu. Para nabi melakukan proses hijrah tidak berdasarkan perhitungan teoritis semata, melainkan berdasarkan pada tuntunan wahyu. Dengan demikian, peristiwa hijrah memiliki makna ganda sekaligus: spiritual dan historis-kultural.