Perspektif

Harlah NU ke-94: Menjadi Modern Tanpa Kehilangan Tradisi

2 Mins read

Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia —-Robin Bush.

***

Untuk menjadi modern, NU tak perlu mengubah pesantren menjadi universitas atau menanggalkan sarung dan kopyah dengan celana atau penthalon. Apalagi mengubah nderes kitab kuning dengan buku putih. NU telah menjadi sangat modern, meski dibanding dengan organisasi yang menyebut dirinya paling modern sekalipun.

Sebab NU adalah kemodernan itu sendiri. Meminjam ciri kemodernan yang disebut Mc Leland : culture expansion, social mobilization dan growth economic oriented, maka NU punya semua itu tanpa kata kecuali. Pesantren dan masjid yang dikelola santri NU begitu memukau karena menjadi basis modernitas: pusat ekonomi, agen perubahan dan mobilisasi massa tanpa harus melepas identitas kulturalnya.

Dari pesantren dan masjid itu pula lahir berbagai amal usaha modern semisal universitas, rumah sakit, sekolah boarding dan layanan umum lainya justru lahir dari sini.

***

Keunggulan lainnya adalah, Santri NU mau belajar dan selalu terbuka terhadap perubahan dan tidak membatasi diri pada gerakan eksklusif yang merasa paling modern, sehingga tak mau belajar. Menjadi jumud dan eksklusif. Kaku dan tertutup. Karena merasa modern. Akibatnya jelas: besar dalam tempurung.

Santri NU adalah para mujahid yang ulet dan pekat dengan adab terhadap para guru. Kemodernan tak harus menggerus akhlaq dan adab yang tetap mereka junjung tinggi, inilah yang membanggakan, di saat yang lain justru hilang adab karena pengaruh modernitas, santri NU tampil cemerlang: memadukan modernitas dan kultural dalam satu bingkai.

***

Jika masih berpikir bahwa santri NU identik dengan sikap laku tradisional, kolot, kumuh atau kuno, maka bisa dipastikan bahwa Anda kurang piknik alias kurang ngopi atau kurang gaul atau Anda sendiri yang jumud. Besar di tempurung karena tak tahu di luar sana telah berubah.

Baca Juga  Khalifah fil Ardl, Khalifatur Rasul, dan Khalifatullah: antara Dua Titik Ekstrem

Stigma bahwa pesantren itu kotor. Santrinya kudisan karena pemakaian air yang tidak steril atau sarung yang selalu dimaknai kuno juga perlu diluruskan. Mungkin itu benar untuk ukuran lima puluh atau seratus tahun lalu. Akan tetapi, tak relevan untuk mencandra NU saat sekarang. NU telah berubah siginifikan, bahkan lebih modern dari para pengamatnya.

Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia. Tradisi politik NU tidak melulu mengikuti textbook. Meminjam analogi Robin Bush (1999), NU pintar bermain dansa, sehingga susah dijerat atau dipaku pada posisi tertentu. Inilah kealpaan para pengamat terhadap santri NU. Jadi, jangan pernah abaikan peran dan kekuatan para santri NU. Apalagi hanya berbekal referensi kuno.

***

NU adalah kekuatan politik, sosial, budaya, ekonomi dan agama sekaligus. NU telah berubah tidak saja menjadi organisasi modern, tetapi juga menjadi pilar dan spiritualitas kebangsaan yang real tanpa meniadakan yang lain.

Harlah NU—jutaan khatam Quran, jutaan shalawat semoga membawa negeri damai sentosa — Wallahu taala a’lam.

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds