Perspektif

Sunah, Bid’ah, dan Identitas

3 Mins read

Sesuatu yang sunah tetaplah sunah, tidak seharusnya dijadikan wajib. Sunah itu kalau dikerjakan dapat pahala, kalau ditinggalkan tidak apa-apa. Semua tentu sepakat itu.

Akan tetapi, karena perbedaan metodologi istinbath, maka para ulama bisa berbeda mengenai batasan sunah. Jadinya ada yang menyunahkan sesuatu, ada yang tidak menyunahkannya.

Misalnya, soal celana cingkrang. Karena beda dalam memahami hadis tentang hal itu, ada yang letterlijk sehingga menyunahkannya, bahkan me-muakkad-kannya. Bahkan satu strip hampir mewajibkannya.

Sementara yang menggunakan ta’lil (ber-illat) mengenai kesombongan, tidak menyunahkan cingkrang itu karena memahami hadis tersebut sebagai larangan bersikap sombong.

Jadi perbedaan itu terjadi karena banyak hal, salah satunya karena perbedaan metode memahami teks.

Demikian juga soal bid’ah. Semua ulama sepakat bahwa bid’ah itu dilarang. Nah, yang melahirkan banyak perbedaan adalah batasan-batasan bid’ah itu. Ada yang sangat super ketat: apa pun yang tidak pernah dikerjakan nabi, baik amal ibadah maupun adat adalah bid’ah, tidak ada dalilnya ya bid’ah.

Misalnya, berorganisasi itu bid’ah. Menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan itu bid’ah. Untuk dua contoh ini, Salafi mem-bid’ah-kan Muhammadiyah.

Ada yang lebih longgar, bid’ah itu hanya berlaku pada ibadah mahdlah, ibadah yang sudah ada tuntunan qat’iy-nya. Jadi adat, kehidupan sehari-hari yang tidak ada larangannya, tidak masuk bid’ah.

Dalam kelompok ini pun tidak lepas dari perselisihan. Misalnya, apakah zikir dengan metode hasil perenungan ulama itu boleh dipraktikkan sebagai bentuk taqarrub ilallah? Ada yang bilang tidak boleh karena usaha-usaha taqarrub itu harus sesuai dengan yang diajarkan Nabi. Di luar itu, bid’ah. Misalnya berzikir ini-itu setelah salat tidak boleh pakai cara yang tidak dilakukan nabi. Zikir pakai “Hu” tidak boleh.

Baca Juga  Islamisme itu Merusak dan Menyempitkan Citra Islam

Sementara ada yang membolehkannya, karena pada hakikatnya, semua tindakan dalam hidup kita baik itu yang disebut ibadah ataupun muamalah, pada hakikatnya usaha untuk taqarrub ilallah. Menyalakan HP setelah salat boleh tidak? Boleh kan? Lha kok berzikir tidak boleh?

Zikir “Hu” itu pakai Dhamir sya’n yang marji’-nya Allah, jadi nggak papa. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Di sini tampak bahwa definisi dan kategori ibadah, kaifiyah ibadah, muamalah, dan seterusnya, juga berbeda-beda.

Sebagai khazanah Islam, itu sebetulnya baik-baik saja selama penyikapannya bijaksana. Tapi ini menjadi tidak baik-baik saja manakala kesimpulan-kesimpulan istinbath hukum itu jadi IDENTITAS. Khususnya identitas kelompok apalagi identitas politik.

Sebelum jauh, identitas itu secara mudah adalah ciri-ciri, keadaan khusus, jati diri, atau semacamnya yang menjadi pembeda dengan orang lain. Misalnya, pekerjaan, jenis kelamin, ciri fisik, nasab, atau semacamnya, atau gabungan dari semua itu.

Di mana, KALAU CIRI INI HILANG, MAKA JATI DIRI JUGA HILANG. Kadang, identitas ini dibikin atau dibikinkan dan dicekokkan oleh orang lain atau kelompok kepada pribadi. (Lebih jauh baca buku-bukunya Mas Prof Afthonul Afif.)

Nah, saat amaliyah ibadah itu menjadi identitas, maka ia digunakan untuk identifikasi diri dan kelompok. Misalnya, yang qunut subuh itu NU, yang tarawih 8 (11) itu Muhammadiyah, yang celana cingkrang itu Salafi. 

Kalau masuk dalam kelompok itu, maka harus mengamalkan kaifiyah ibadah yang sama dengan kelompok itu. Kalau tidak, maka jati dirinya bukanlah jati diri kelompok itu, maka tidak kaffah sebagai anggota kelompok.

Kalau ada anggota Muhammadiyah yang membaca qunut Subuh, langsung disebut sebagai NU atau setidaknya ke-NU-NU-an. Kalau ada yang celana cingkrang, langsung disebut Salafi.

Baca Juga  Guruku Pendidikanku

Dan sebaliknya, kalau tidak tarawih 11, maka diragukan kemuhammadiyahannya, “Mas kok tarawihnya nggak 11?”

Nah, bahayanya di sini adalah melakukan atau meninggalkan sesuatu itu karena identitas, bukan karena ilmu dan niat ibadah. Misalnya, ada orang NU yang kalau tidak qunut subuh merasa tidak NU. Padahal jelas ini sunah, bukan wajib. Atau ada orang menjadi merasa berkurang kemuhammadiyahannya kalau ikut tarawih 20 (23) rakaat. Sekadar misal lho.

Bahaya kedua adalah soal keributan sosial yang timbul dari perbedaan identitas (ubudiyah) ini. Apalagi ada perseteruan politik antar kelompok yang kaifiyah-nya berbeda. Jelas kaifiyah ibadah akan digunakan untuk menguatkan identitas kelompok sekaligus mengamplifikasi konfliknya.

Soal sunah saja begitu, apalagi soal bid’ah.

Dengan parameter yang berbeda mengenai bid’ah  digunakan untuk memperkuat identitas kelompok sekaligus me-neraka-neraka-kan kelompok lain. Jadi kalau musuhan beda jago Pilgub atau Pilpres atau pilihan lurah, sangat gampang bilang, “Dasar ahlu bid’ah!” pada kelompok dengan kaifiyah ibadah yang kebetulan beda pilihan. Tidak perlu saya panjangkan, teman-teman tentu sudah tahu karena sudah terjadi selama ini.

Sementara itu, sunah-sunah yang tidak dijadikan identitas, ya tidak pernah diributkan. Misal, orang nggak pernah ribut soal melakukan qunut witir atau tidak. Padahal hadisnya sahih. Orang tidak akan disebut sebagai NU, Muhammadiyah, HTI, Salafi, FPI karena mengerjakan atau meninggalkan qunut witir. Sekali lagi, karena qunut witir tidak dijadikan identitas.

Jadi sebaiknya melakukan atau meninggalkan kaifiyah tertentu itu karena ilmu dan keyakinan. Misal, celana saya tidak cingkrang karena saya memahami hadis soal itu sebagai peringatan soal tidak bolehnya berperilaku sombong dengan berbagai konteksnya, bukan karena saya tidak mau disebut salafi. Nggak ada kaitannya.

Baca Juga  Prof Baroroh Baried (5): Fungsi Wanita dalam Pembinaan Rumah Tangga

Jangan-jangan, menjadikan kaifiyah ibadah sebagai identitas pembeda sesama muslim begini adalah bid’ah ya? Karena tidak ada pada zaman nabi, heu heu heu

Editor: Yahya FR
Avatar
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Perspektif

Secara Historis, Petani itu Orang Kaya: Membaca Ulang Zakat Pertanian

3 Mins read
Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi….
Perspektif

Apa Saja Tantangan Mengajarkan Studi Islam di Kampus?

4 Mins read
Salah satu yang menjadi persoalan kampus Islam dalam pengembangan kapasitas akademik mahasiswa ialah pada mata kuliah Islamic Studies. Pasalnya baik dosen maupun…
Perspektif

Bank Syariah Tak Sama dengan Bank Konvensional

3 Mins read
Di masyarakat umum, masih banyak yang beranggapan bahwa Bank Syari’ah tidak memiliki perbedaan nyata dengan Bank Konvensional. Mereka percaya bahwa perbedaan hanya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *