Oleh: H. Mh. Mawardi
Pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah tingkat dasar menghajatkan keperluan mendirikan sekolah lanjutan untuk para calon guru. Kiai Ahmad Dahlan merintis sekolah lanjutan untuk calon guru agama yang akan ditempatkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah pada sekitar 1918.
Sekolah Lanjutan Calon Guru
Ketika memasuki tahun 1918, maka gerakan Muhammadiyah mulai melebarkan sayapnya. Ranting-ranting (Groep atau Gerombolan) mulai bermunculan. Tiap-tiap ranting atau groep tumbuh menjadi sekolahan-sekolahan Muhammadiyah. Maka kekurangan tenaga muballigh dan guru agama yang sangat terasa di Muhammadiyah.
Sepuluh orang pemuda dan pemudi yang telah selesai dari Standaardschool dikumpulkan oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk diberi pelajaran agama yang lebih lanjut. Tempat belajar di emper rumah Kiai di dekat dapur. Murid-murid sambil duduk di lantai dengan bekas kotak minyak tanah sebagai meja tulisnya. Ruang ini merupakan sekolah lanjutan yang pertama diberi nama Qismul Arqa. Ada yang menyebutnya dengan nama yang dianggapnya mentereng, Hooger School.
Qismul Arqa ini kemudian menjadi Kweekschool Islam. Kemudian diganti dengan nama Kweekschool Muhammadiyah. Dan akhirnya sampai sekarang namanya menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Untuk murid putri pada tahun 1929 dipisahkan dengan murid putra ditempatkan dalam sebuah sekolahan yang kini menjadi Madrasah Mu’allimat.
Madrasah Mu’allimin
Madrasah Mu’allimin (Sekolah Guru) langsung diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Madrasah Mu’allimin mempunyai corak sendiri, tiada digantungkan kekuasaan lain. Konsekuensinya, ijazahnya hanya berlaku dil ingkungan Muhammadiyah saja. Pemerintah tiada mengakuinya (tidak ada cifil effect). Pada dasarnya, abiturien (lulusan) Madrasah Mu’allimin ialah ”anak panah Muhammadiyah,” yang selalu siap sedia ditempatkan di pelosok negeri. Mereka menjadi guru Muhamadiyah dan memimpin jalannya gerakan Muhammadiyah.
Madrasah Mu’allimin saja kurang mencukupi keperluan. Dengan adanya perkembangan dan meningkatnya jumlah sekolah Muhammadiyah, maka pada tahun 1926 dibuka Kursus Guru Volksschool (CVO), mendidik calon guru Volksschool. Lama belajar 2 tahun sesudah SD. Kursus ini dapat pengakuan dari pemerintah dan mendapat civil effect.
Oleh mendesaknya keadaan, diperlukan tenaga guru untuk ditempatkan di Standaard dan sekolah Vervolg. Maka didirikan sekolah tahun 1929 di Solo yang disebut ”Sekolah Normal” (Normaal-school), lama pelajaran 4 tahun sesudah SD. Dengan berdirinya HIS dan Schakelschool diperlukan guru yang menguasai bahasa Belanda. Dibuka sekolah guru yang disebut HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool) Muhammadiyah di Solo dan Yogyakarta (1935). Pada masa Jepang, HIK menjadi SGM (Sekolah Guru Muhammadiyah). Pada masa kemerdekaan, SGM beralih menjadi SGA (Sekoloah Guru Atas) dan kemudian disebut SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Dengan meningkatnya tenaga guru untuk sekolah lanjutan, pada tahun 1955 dirintis pembukaan Kursus Guru BI di Yogyakarta sebagai lanjutan SGA. Sebagai kelanjutan Kursus BI dibuka FKIP yang akhirnya diubah menjadi IKIP.
Untuk memperdalam ilmu agama, selain Madrasah Mu’allimin, dibuka di Yogyakarta Madrasah Muballighin I, II, dan III serta Madrasah Zuama (6 tahun). Akhirnya, di samping Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat ada PGA. Kemudian, ada IAIM dan FIAD (Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah).
Sekolah Lanjutan Umum
Untuk memberi didikan lebih lanjut bagi anak-anak dari SD (Standaardschool, Vervolgschool, dan Korpsschool) pada tahun 1938 di Yogyakarta dibuka Sekolah Dagang Kecil (Klein Handel-School). Lama belajar 2 tahun. Di Solo ada Sekolah Pertanian (Klein Landbouw School) dan Sekolah Kerumahtanggan (Huishoud School). Juga dibuka Sekolah Tenun dan Sekolah Pertukangan di Yogyakarta. Selain itu, anak-anak dapat melanjutkan ke Madrasah Mu’allimin, Mu’allimat, dan Normaalschool.
Pada tahun 1937 dibuka Sekolah MULO Muhammadiyah (SMP Pribumi) dengan bantuan dari pemerintah, menerima anak-anak dari SD tersebut. Sekolah ini sebagai percobaaan (experiment) dari pemerintah untuk jembatan bagi anak-anak yang ingin menunut ilmu yang lebih tinggi.
Bagi anak-anak yang menguasai bahasa Belanda (dari HIS atau Schakelschool) dapat kesempatan masuk MULO Muhammadiyah di Yogyakarta (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), setingkat SMP dengan pengantar bahasa Belanda. Kemudian sebagai kelanjutan dari MULO pada tahun 1934 di Jakarta didirikan AMS (Algemeene Middelbare School/SMA) dipimpin Ir Juanda, dengan tenaga guru Mr Kasman Singodimejo, Mrs Maria Ulfah, Nona Sugiarti, dr Subroto, dan lain-lain.
Masa Pendudukan Tentara Jepang
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945 adalah masa-masa sulit bagi pertumbuhan amal usaha Muhammadiyah, terutama di bidang pendidikan. Muhammadiyah berada dalam masa bertahan. Kegiatan banyak yang berhenti. Amalan banyak yang tak berjalan. Sekolah-sekolah banyak yang ditutup. Hanya beberapa saja yang tetap bertahan dengan macam-macam tekanan batin.
Zaman Merdeka
Lahirnya Republik Indonesia dibarengi dengan adanya revolusi bangsa Indonesia menentang akan kembalinya penjajah. Maksud Muhammadiyah akan memulihkan keparahan akibat pendudukan Jepang, terhenti juga dengan adanya revolusi kemerdekaan. Baru sesudah tahun 1950, Muhammadiyah dapat memusatkan perhatiannya terhadap pembangunan pendidikan SD, SMP, SGA (SPG), PGA dapat pulih kembali. Bahkan bertambah jumlahnya tersebar di seluruh Indonesia. Ditambah adanya SMEP, SMEA, dan Sekolah Perawat Bidan.
Demikian pula mulai tumbuhnya Perguruan Tinggi. Dimulai dari Padang Panjang berdirinya Universitas Muhammadiyah. Kemudian diikuti denga dibukanya FKIP (sekarang IKIP di banyak tempat tersebar di seluruh wilayah Muhammadiyah). IAIM dan FIAD tiada ketinggalan.
Sumber: SM no. 10/Th. Ke-58/1978. Judul asli “Perkembangan Perguruan Muhammadiyah” karya H. Mh. Mawardi. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan perubahan judul dan penyuntingan.
Editor: Arif