Menjelang malam, sebuah pesan masuk ke aplikasi Whatsapp saya pada 7 Februari 2020. Pesan itu datang dari Mbak Rahmah, salah satu pegawai honorer di institusi tempat saya bekerja. Ia mengucapkan terima kasih atas perjuangan dan advokasi yang dilakukan oleh segilintir peneliti di Kedeputian Ilmu Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI, di mana saya ada di dalamnya. Rasa terima kasih tersebut merupakan bentuk apresiasi mendalam atas usaha yang dilakukan oleh para peneliti.
Meskipun demikian, apa yang diperjuangkan oleh peneliti tidak membuatnya untuk lolos masuk sebagai pegawai outsourcing di bawah vendor baru yang diberikan kepercayaan oleh LIPI. Ucapan terimakasih itu diberikan tulus olehnya. Namun, ketulusan itu tidak menutupkan rasa luka atas apa yang dialami oleh Mbak Rahmah dan kawan-kawan office boy, cleaning service, para supir, dan satpam yang telah bekerja begitu lama. Mereka mengabdi dengan tulus di LIPI, tetapi tidak masuk seleksi di bawah vendor baru. Kerja keras dan pengabdiannya selama bertahun-tahun hilang dan tersingkir begitu saja.
Ketidakadilan Struktur
Mbak Rahmah sudah bekerja di LIPI sejak tahun 2001. Kalau dihitung total, ia sudah bekerja selama 19 tahun di LIPI. Ia, di antara puluhan pegawai honorer lainnya, adalah orang yang bekerja penuh dedikasi. Ia dan teman-temannya adalah orang yang datang terlebih dahulu membersihkan ruangan setiap para peneliti dan pimpinan LIPI sehingga bisa bekerja dengan nyaman.
Mbak Rahmah dan teman-temannya adalah orang yang pulang paling telat setelah memastikan dan merapikan ruangan para peneliti dan pimpinan di LIPI setelah bekerja seharian penuh. Ia dan teman-temannya juga yang bersedia menemani para peneliti dan pegawai LIPI untuk bekerja lembur. Sekadar menemani mereka yang takut bekerja sendirian dan membutuhkan teman.
Lebih dari itu, Mbak Rahmah dan teman-temannya pula yang siap menjadi ojek dadakan. Mengantarkan salah satu peneliti LIPI yang tiba-tiba merasa perlu teman untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Kedua tangannya begitu sigap membantu dengan senyum penuh keikhlasan apabila salah satu peneliti dan karyawan LIPI merasa letih untuk turun ke bawah membeli makan siang.
Orang boleh saja bilang bahwa mereka harus tangguh, kuat, dan tidak boleh cengeng. Namun, di balik argumentasi itu, mereka lupa satu hal; ketidakadilan struktur kepada rantai terbawah dalam dunia kerja.
Jika merujuk kepada Peraturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018, tenaga honorer memang tidak diperbolehkan lagi. Lalu setiap instansi pemerintah diberikan waktu sampai tahun 2023 sebagai bagian dari transisi kebijakan untuk membenahi hal tersebut. Peraturan ini menjelaskan mengenai Manajemen PPPK (turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara), status kepegawaian pada Instansi pemerintah saat ini memang hanya ada dua, yaitu ASN dan PPPK (Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Namun, meskipun aturan ini sudah berlaku, para petugas honorer ini masih diberikan waktu sampai 5 tahun lagi. Bersamaan dengan kesiapan mereka untuk mendaftarkan diri sesuai dengan mekanisme yang diberikan oleh pemerintah melalui dua jalur tersebut, yaitu ASN dan PPPK, sebagaimana aturan tertuang pada pasal 99.
Jalan yang DIpilih LIPI
Hal ini yang tidak dilakukan oleh pemegang kebijakan di LIPI. Mereka langsung menyerahkan para pekerja honorer ini kepada pihak ketiga dengan jalan outsourcing. Tanpa adanya pesangon sebagai bentuk balas budi dan jerih parah kerja kerasnya selama puluhan tahun dan mencari mekanisme lain yang lebih legal, salah satunya melalui PPPK, mengingat jasa dan kebaikan melalui kerja keras mereka.
Sementara itu, di bawah vendor baru melalui outsourcing, LIPI tidak hanya lepas tangan, melainkan juga terima beres untuk menerima para pekerja honorer yang sudah dipindahtangankan statusnya. Padahal, di bawah vendor baru ini, ada regulasi baru yang ditetapkan yang membuat para pekerja honorer sebelumnya. Baik dari segi umur maupun fisik tidak lagi dapat dianggap layak bekerja kembali, membuatnya tersingkir untuk bekerja di LIPI kembali.
Bagi pegawai honorer LIPI yang diterima melalui hasil seleksi bukan berarti mereka harus bisa bernafas lega. Dengan aturan yang berbeda dari LIPI, mereka harus mentaati sebuah aturan dari vendor. Salah satu aturan mengikat tersebut adalah mereka harus mendatangani perjanjian untuk bersedia digaji sesuai dengan aturan vendor. Sementara terkait dengan berapa gaji yang akan mereka terima dan bagaimana durasi kerja yang harus mereka lakukan tidak disebutkan sejak awal.
Doa Kecil dari Kelas Pekerja
Mbak Rahmah dan para petugas honorer yang tersingkir memang bisa saja dianggap sebagai sub-sistem kecil dalam struktur besar yang bisa diganti dan diisi oleh siapa saja. Atas nama efisiensi dan efektivitas dan penataan birokrasi, mereka bisa saja dibuang. Tanpa perlu melihat sosoknya sebagai individu yang memiliki anak, suami, istri dan tanggungan keluarga lainnya. Apalagi, dilihat secara pasar kelas pekerja seperti Mbak Rahmah jumlahnya sangat banyak di Indonesia.
Namun, ada satu hal yang harus diingat bahwasanya dibalik setiap prestasi kerja para peneliti dan pimpinan LIPI, ada sumbangsih dari orang-orang seperti Mbak Rahmah. Mbak Rahmah dan para pekerja honorer ini adalah orang yang rela dinjak dan menjadi alas kaki bagi setiap para peneliti dan pimpinan LIPI sehingga mereka bisa nyaman bekerja di ruangan yang bersih sambil menikmati secangkir kopi dan teh dengan kudapan yang enak.
Jika kini mereka tersingkir tanpa adanya suara pembelaan untuk mereka dan atas nama aturan mereka dialihtangankan ke pihak ketiga dengan regulasi yang tidak sesuai dengan usia dan tenaga mereka, maka bersiaplah mendengarkan doa-doa kecil dan sunyi mereka sebagai pihak tertindas dalam wujud yang berbeda. Dalam teologi Buddha, hal ini disebut dengan karma, yaitu tindakan dan ucapan yang akan berbalik kepada subyek yang melakukannya.
Dari doa mereka inilah Allah kerapkali mendengarkan suara-suara kejernihan tentang iman, ihsan, sekaligus keberpihakan kepada kaum yang lemah dan dilemahkan (mustad’afiin).
Editor: Nabhan