Feature

Kiat-kiat Menghadapi Problematika Hidup

4 Mins read

Oleh: Finka Setiana Adiwisastra*

Kehidupan terdiri dari episode yang tidak pernah monoton. Setiap hari pasti terdapat kisah dan problematika yang selalu saja berbeda. Semuanya tergantung dari bagaimana kita menyikapi kehidupan Namun, saat yang bersamaan pula manusia berbeda dalam menjalani bahtera kehidupannya. Sebagaimana dalam mengatasi segala problematika dalam kehidupan, pasti setiap manusia berbeda.

Setiap manusia punya caranya sendiri dalam mengatasi problematika yang dihadapinya, meskipun masalahnya tampak sama. Alangkah baiknya kita sebagai manusia mampu melatih diri kita dalam mengatasi segala bentuk masalah yang terjadi. Mengapa? Agar kita mantap dalam menyikapi kehidupan. Malasnya kita dalam melatih diri hanya akan berbuah pahit. Alias hanya akan terjadi perpindahan dari kesengsaraan lama menuju kehinaan baru yang bertubi-tubi. Maka kita seharusnya melakukan beberapa kiat ini:

Bersiap

Kiat pertama adalah bersiap. Siap menghadapi yang cocok dan siap menghadapi yang tidak cocok dengan keinginan kita. Setiap kita pasti memiliki keinginan, tetapi tak mungkin semua keinginan kita dapat terealisasi sesuai yang kita inginkan. Kadang keinginan kita terealisasi, kadang juga tidak. Kadang sesuai, kadang tidak sesuai.

Memang setiap kita dianjurkan untuk memiliki keinginan yang wajar dalam hidup ini, namun saat yang bersamaan kita juga harus sadar sesadar-sadarnya bahwa keinginan kita tak selalu terealisasi. Ingin kuliah di PTN favorit, tetapi kenyataannya hanya dapat kuliah di kampus biasa. Ingin memiliki wajah rupawan, namun kenyataanya wajah hanya standar saja. Ingin berpasangan dengan si fulan bin fulan, namun kenyataannya berpasangan dengan yang lain. Begitulah perumpamaan keinginan yang tak kunjung terealisasikan.

Perlu kita ketahui bahwa Allah menentukan segala sesuatu meski kita berkeinginan sesuatu pula. Al-insanu takfiri wallahu tadbiri, manusia itu hanya berencana saja namun Allah lah yang menentukan. Kita memang harus berkeinginan, namun di saat yang bersamaan pula kita harus sadar bahwa keinginan kita terbatas pada ketentuan Allah.

Baca Juga  Pak Jasrianto dan ODGJ

Kekuatan Tawakal

Alkisah terdapat dua orang pelajar SMA yang ikut lomba Olimpiade Siswa Nasional (OSN) tingkat kabupaten dengan bidang perlombaan yang berbeda. Yang satu bidang kebumian, yang satu lagi bidang komputer. Singkat cerita dua anak itu sudah selesai mengerjakan soal di kelasnya masing-masing. Keluar dari kelas mungkin dengan raut wajah yang bermacam-macam. Ada yang berseri-seri tanda optimis, ada pula yang murung tanda pesimis. “Ah, lomba kan sudah selesai buat apa risau,” ujar salah satu pelajar.

Beberapa hari kemudian dua pelajar ini saling bertemu dalam kegiatan eksttrakurikuler di sekolahnya. Tepatnya pada kegiatan science club. Kebetulan mereka belajar di sekolah yang sama, bahkan kelas yang sama. Yang mengikuti lomba komputer tiba-tiba bertanya pada yang ikut lomba kebumian. “Gimana lomba kemaren, kira-kira bakal menang atau enggak nih ?” tanya dengan penasaran. “Saya mah tawakal aja sama Allah, toh kita udah berusaha,” balas temannya yang ikut lomba kebumian.

Ternyata eh ternyata, hasil membuktikan si pelajar yang berkata tawakal sesudah berusaha mendapatkan juara. Dia mendapatkan juara kedua bidang kebumian tingkat kabupaten. Ini bagian dari bukti kesiapan mental kita dalam menerima ketentuan Allah yang akan terjadi. Jika kita optimis pasti hasilnya pun akan positif, begitupun sebaliknya. Karena Allah akan mencukupi segala keperluan orang yang ingin bertawakkal kepada-Nya.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. At-Talaq: 3 yang berbunyi, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusannya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.

Menerima Problematika Hidup

Selanjutnya, kita juga harus ridho (menerima). Setiap kita harus menerima segala sesuatu dengan lapang dada. Apapun yang terjadi pada diri kita. Entah itu nikmat ataupun musibah. Segeralah kita mengelus dada kita agar cepat lapang dada dalam menerima problematika yang terjadi. Karena segalanya sudah terjadi maka yang kita upayakan hanya menerima segala hal yang terjadi.

Baca Juga  Cogitu Ego Mu: Kamu Bertanya Maka Kamu Jahat

Nasi sudah menjadi bubur. Jika kita muntahkan pun kemarahan kita tetap saja bubur. Lebih baik kita mencari seledri, kerupuk, atau kacang agar bubur kita menjadi bubur spesial.

Alkisah terdapat anak kecil yang berangkat dagang dari rumahnya menuju kota dengan bermodalkan transportasi umun. Tiba-tiba di dekat sawah, kayu dagangan yang dipikulnya berderak patah kemudian dia masuk ke dalam sawah. Bukannya untung malah buntung. Uang saja belum dapat malah sudah kena musibah.

Namun, beberapa menit kemudian ternyata terjadi tabrakan parah dari kendaraan umum yang ditumpangi oleh pedagang lainnya. Tadinya kendaraan ini akan dinaiki oleh si pedagang yang terlanjur terjun ke dalam sawah. Beberapa menit merasa sial, tetapi beberapa menit kemudian justru sial itu berubah jadi mujur. Jika saja pedagang yang jatuh ke dalam sawah itu tidak segera ridho kemudian tetap melanjutkan perjalanannya menuju kota, mungkin saja dia akan menjadi bagian dari korban kecelakaan transportasi umum di kota.

Kiat selanjutnya adalah jangan mempersulit diri. Kalau kita mau jujur, sesungguhnya kita hobi mempersulit diri sendiri. Sebagian dari peliknya kehidupan kita berasal dari dramatisir yang sudah kita buat. Tentu saja nelangsa jika memang kita mendramatisasi secara berlebihan dan tidak tepat sasaran.

Ingin memiliki badan yang tinggi padahal kenyataannya badannya pendek, malah kemudian sibuk cari suplemen kesana kemari untuk meninggikan badan. Wajah sudah terlanjur berkulit hitam malah sibuk mencari krim pemutih. Begitulah perumpamaan orang yang gemarnya mempersulit diri sendiri daripada memperbaiki yang ada dengan yang diridhoi Allah.

Evaluasi dan Keyakinan

Tidak kalah penting, kita juga perlu melakukan evaluasi diri. Hidup ini bagai di pegunungan. Apa yang kita gaungkan maka itu pula yang akan kembali pada diri kita. Apapun itu kebaikan maupun keburukan.

Baca Juga  Kita Boleh Terluka, Tapi Jangan Pernah Patah

Tentu beruntung jika yang kita lakukan itu sebuah kebaikan, karena kebaikan itu tentunya akan kembali padanya. Namun, merugilah yang berbuat keburukan. Karena kerugian itu akan berimbas pada dirinya lagi, bahkan mungkin lebih parah.

Jika terjadi musibah menimpa kita misalnya, alangkah lebih baiknya kita segera evaluasi diri. Sebut saja jika ada batu yang tiba-tiba menimpa kepala kita, padahal lapangan begitu luas terbentang. Daripada geram lebih baik evaluasi diri, mungkin kita termasuk orang yang lalai dalam sujud pada Allah. Kehilangan dompet di bus misalnya. Padahal di dalam bus itu terdapat banyak orang, tetapi kenapa kita yang malah kehilangan dompet.

Mungkin kita termasuk si kikir yang jarang bahkan tidak pernah menyedekahkan harta milik kita yang sejatinya datang dari Allah.

Terakhir, hanya Allah lah satu-satunya penolong. Dalam menjalani kehidupan pasti ada senang juga sedih. Ada mudah ada susah. Begitu saja siklus kehidupan sampai seterusnya. Namun yang perlu kita yakini bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan, sesuai dengan QS. Al-Insyirah: 5-6. Tentunya Allah akan membersamai mereka yang sabar dalam menerima ujian hidup. Allahu a’lam.

*) Mahasiswa S1 Hubungan Internasional Universitas Lampung (Unila)

Editor: Nabhan

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds