Perspektif

Jangan Mengkritik Cadar, Bijaklah Sedikit!

4 Mins read

Jika ada perdebatan yang sudah lama sekali dimulai, dan sampai sekarang belum selesai, maka salah satunya adalah perdebatan tentang cadar. Fenomena cadar di Indonesia lahir pasca maraknya jilbab. Konon, dulu jarang sekali perempuan Indonesia yang berjilbab. Bahkan, tokoh-tokoh Islam perempuan dulu yang kita kenal melalui foto, banyak yang tidak berjilbab. Kalaupun berjilbab, jilbabnya tidak sebesar muslimah-muslimah kita dewasa ini.

Singkat cerita, jilbab ini pun marak digunakan dan menjadi trend bagi muslimah di Indonesia. Ternyata, trend ini tidak berhenti di jilbab. Ia berlanjut sampai pada penggunaan cadar, yang menurut beberapa orang fenomena ini “mengkhawatirkan”, sebagaimana yang ditulis dalam artikel “IMM, Cadar, dan Kekhawatiran Haedar Nashir”. Artikel ini ditulis oleh kader IMM Ciputat dan terbit di IBTimes pada 13 Februari 2020.

Ada beberapa hal yang harus diketahui bersama. Pertama, bahwa kekhawatiran terhadap cadar bukanlah karena cadar itu sendiri. Melainkan apa yang ada di balik cadar. Atau lebih tepatnya di balik fenomena cadar.

Fenomena dibelakang itu adalah eksklusifitas dalam beragama. Kecenderungan kepada paham Salafi sehingga melahirkan kelompok Musa (Muhammadiyah-Salafi). Salafi bukan dalam makna lughowi sebagai pengikut salaf. Namun sebagai sebuah istilah yang mengacu pada kelompok tertentu.

Kenyataannya Muhammadiyah memang sedikit kelabakan dalam menghadapi kelompok ini. Tidak sedikit pimpinan Muhammadiyah yang mengeluhkan bahwa kader-kader mereka telah lari ke Salafi. Hal ini paling mencolok dari kajian-kajian yang diadakan, dan juga dakwah media mereka yang marak. Namun, hal ini sebenarnya sudah cukup lama di bahas, dan bukan menjadi hal yang baru dalam ruang publik persyarikatan. Hanya saja isu ini kembali mencuat.

Kedua, yang menjadi kegelisahan sebagian akar rumput adalah adanya pimpinan yang tidak mempermasalahkan pakaian yang tidak syar’i misalnya, namun justru mempermasalahkan cadar. Bahkan, mereka menganggap ini sebagai fenomena islamophobia.

Kegelisahan ini cukup wajar mengingat orang yang bercadar barangkali juga merasa risih dengan perempuan lain yang tidak menutup aurat dengan syar’i, baik syar’i versi mereka maupun versi tarjih Muhammadiyah. Hal ini sama saja dengan orang yang tidak sepakat dengan cadar yang barangkali merasa sedikit risih dengan cadar.

Baca Juga  Pak Amien Rais, Sebaiknya Anda Jadi Negarawan!

Perlu dibedakan bahwa kritik Muhammadiyah terhadap perempuan yang belum menutup aurat adalah kritik terhadap kemaksiatan, yang dimana secara umum Muhammadiyah memang tidak terlalu vokal, dan lebih mengedepankan cara-cara yang santun. Sedangkan, kritik terhadap cadar adalah kritik terhadap salah satu paham keagamaan, salah satu sikap eksklusifitas beragama.

Meskipun itu dilakukan dengan cara yang santun (Pak Haedar mengingatkan melalui pidato dengan cara yang santun), namun tetap saja menorehkan luka bagi kader yang bercadar. Dan mereka merasa seperti tersubordinatkan, sedangkan orang-orang yang belum berpakaian secara syar’i justru mendapat ruang yang lebih nyaman.

Ketiga, bahwa kader yang menyelisihi tarjih tidak sedikit jumlahnya. Misalnya rokok, betapa banyak kader Muhammadiyah yang tetap merokok, sekalipun fatwa Muhammadiyah cukup keras dalam hal ini. Pun dengan pacaran. Penulis tidak tahu apakah Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih pernah mengeluarkan fatwa tentang pacaran. Namun, yang menjadi common sense atau tafsir mainstream kita adalah bahwa pacaran itu haram.

Namun toh tetap saja banyak kader yang pacaran. Maka, kritik terhadap kader-kader yang menyelisihi tarjih adalah hal yang biasa saja. Tidak perlu terlampau sedih karena menggunakan cadar di Muhammadiyah, dan tidak perlu arogan terhadap kader-kader yang bercadar. Biasa saja.

Jika kita bisa sangat toleran kepada kader yang merokok, maka sebaiknya kita juga sama tolerannya dengan kader yang bercadar. Pun juga toleran terhadap kader yang belum sempurna menutup aurat. Disini sikap adil sejak dalam pikiran menjadi penting. Jika ingin mengkritik fenomena cadar, maka jangan lupakan fenomena rokok, jangan lupakan fenomena pacaran, jangan lupakan fenomena pakaian terbuka, agar kita bisa adil.

Namun, penting juga untuk dipahami bahwa fenomena cadar adalah fenomena permukaan. Di mana ada “sesuatu” dibalik fenomena tersebut. Yaitu fenomena hijrahnya kader Muhammadiyah ke Salafi sebagaimana disebutkan diatas. Sehingga, sedikit dapat dimaklumi jika kritik terhadap cadar sedikit lebih kencang dibandingkan terhadap yang lain.

Baca Juga  Jadi Islam Tak Perlu Jadi Arab!

Maka, hal yang penting untuk dilakukan sekarang adalah menanggulangi paham keagamaan di balik cadar itu. Jangan sampai kita begitu rajin mengkritik fenomena cadar, namun kita tidak memberikan solusi terhadap security ideology Muhammadiyah. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam rangka menanggulangi paham keagamaan ini.

Pertama, penguatan perkaderan dai-ulama. Banyak kader yang lari ke Salafi disebabkan karena minimnya kader dai-ulama Muhammadiyah. Ini bukan wacana baru, melainkan sudah sangat lama. Namun, belum tampak tanda-tanda masalah ini akan selesai. Bahkan, meninggalnya Prof Yunahar Ilyas meninggalkan luka yang begitu mendalam, bahwa Muhammadiyah belum menemukan sosok pengganti beliau.

Kader ulama persyarikatan banyak ditanam di pesantren-pesantren. Namun, hal ini bukan tanpa masalah. Beberapa pesantren Muhammadiyah justru menjadi ekosistem bagi perkembangan ideologi Salafi di Amal Usaha Muhammadiyah. Hal ini tentu merepotkan, karena kader-kader dai-ulama yang lahir tidak berkiprah di persyarikatan, melainkan di kelompok lain.

Selain itu, beberapa pesantren Muhammadiyah juga berorientasi pada pendidikan tahfidz an sich. Konsep pesantren-sains seperti yang digagas oleh Gus Pur di Sragen yang melahirkan dai cum ilmuwan jumlahnya terlalu sedikit, dan belum begitu mewarnai ruang publik persyarikatan.

Beberapa pesantren melahirkan dai-ulama hafidz yang ternyata menutup diri dari realitas masyarakat. Mereka belajar dan mengajarkan Alquran sambil mengunci rapat gerbang pesantren agar tidak tersentuh kotornya masyarakat. Problematis bukan? Sehingga, penguatan ideologi Muhammadiyah di pesantren-pesantren Muhammadiyah wajib hukumnya.

Kedua, masifikasi dakwah media. Jika dakwah Muhammadiyah di media itu massif, maka kita tidak perlu khawatir dengan paham Salafi. Salah satu daya tarik mereka adalah di dakwah media yang begitu kencang, yang mana hal ini sering membuat kader-kader Muhammadiyah berpindah haluan.

Baca Juga  Golongan Salaf, Apa dan Siapa?

Maka, tidak elok rasanya jika kita hanya rajin mengkritik cadar, tanpa memberikan sumbangsih yang nyata. Kita harus mengakui bahwa tanggung jawab Muhammadiyah yang bersinggungan dengan paham lain adalah tanggung jawab kita bersama. Jika hari ini kita kalah dalam dakwah media, maka kita harus mengakui bahwa ini adalah kekalahan kita bersama. Jangan sampai kita rajin mengkritik saudara kita, namun kita tidak mengakui bahwa sumbangsih kita belum seberapa. Jangan sampai kita menjadi wong salah ora gelem ngaku salah.

Editor: Yahya FR
Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds