Pemilihan Kepala Daerah 2020 akan berlangsung pada bulan September di 270 daerah yang tersebar di 9 provininsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Momentum pilkada tahun ini menjadi pesta demokrasi terakhir, sebelum nantinya akan diadakan pemilu serentak pada bulan April 2024 dan pilkada serentak pada November tahun yang sama.
Setiap digelar perhelatan politik, masyarakat berharap akan terpilih sosok pemimpin daerah yang mempunyai jiwa negarawan. Mantan Ketua BPIP, Yudi Latif, menilai Indonesia banyak memiliki politikus, tapi sangat sedikit negarawan. Menurutnya, negarawan memberikan jiwa raganya untuk negara, sedangkan politikus mencari sesuatu untuk jiwa raganya dari negara,
Realitasnya saat ini banyak kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat malah menjadi terpidana kasus korupsi, padahal mereka punya kesempatan untuk meningkatkan derajatnya sebagai negarawan sekaligus pemimpin yang dicintai oleh masyarakatnya dan mencintai warganya. Mungkin salah satu faktor penyebab karena mahalnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah.
Praktik Politik Transaksional
Berdasarkan data Litbang Kemendagri, dibutuhkan biaya antara 20 sampai 30 milyar untuk menjadi Bupati atau Walikota. Sedangkan untuk maju sebagai calon gubernur diperkirakan perlu biaya hingga 100 milyar rupiah.
Sungguh harga yang sangat mahal untuk melahirkan seorang kepala daerah jika ternyata yang terpilih tidak mampu mendatangkan kebaikan bagi warga dan daerahnya.
Fenomena politik transaksional atau politik uang yang menjadi akar masalah dalam proses pembangunan demokrasi. Kasus korupsi yang menimpa sejumlah kepala daerah berawal dari besarnya biaya yang dikeluarkan saat pemilihan.
Dalam pilkada atau pileg, ada kecenderungan makin besar dana yang dikeluarkan, makin besar pula peluang kandidat untuk terpilih. Kita jadi bertanya-tanya apakah praktek politik seperti ini yang akan terus berlangsung di negeri ini?
Teori klasik Aristoteles menyebutkan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik juga bisa dimaknai sebagai seni dan strategi untuk meraih kekuasaan.
Namun, dalam praktiknya masyarakat terlanjur menyakini “tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan”.
Tidak heran jika setiap menjelang pemilihan yang muncul di tengah publik adalah narasi negatif tentang politik, misalnya nomor piro wani piro [NPWP] yang sangat kental dengan praktek politik uang, politik itu dunia penuh intrik dan konflik, ada juga istilah kutu loncat untuk menggambarkan politisi yang inkonsistensi.
Tidak penting kualitas yang terpenting modalitas alias isi tas yang dimiliki kandidat untuk membeli suara. Bahkan yang paling bombastis adalah seruan ambil uangnya jangan pilih orangnya.
Masyarakat merasa aji mumpung bahwa hak suara yang dimilikinya bisa menghasilkan kompensasi secara langsung dalam bentuk uang atau barang minimal lima tahun sekali.
Hak suara tidak dinilai sebagai asset warga negara untuk berkontribusi bagi pembangunan bangsa, tapi hanya dilihat secara pragmatis sehingga siapa yang berani membayar lebih mahal itulah yang akan dipilihnya.
Dari mana Dimulai Perbaikan?
Gambaran ini sengaja disajikan diawal tulisan untuk memotret realitas yang ada ditengah masyarakat tentang politik transaksional dan pragmatis yang lebih dominan sekarang ini.
Lantas, darimana kita bisa mulai melakukan perbaikan agar publik menjadi lebih cerdas dan rasional dalam menggunakan hak pilihnya?
Merujuk pada teori Aristoteles, maka komitmen mewujudkan kebaikan bersama perlu ditekankan sebagai landasan moral untuk mempraktekkan perilaku politik yang bermartabat bagi semua pihak, yakni pemilih, peserta pemilu/kandidat dan penyelenggara pemilu.
Sejatinya kita berharap bahwa politik di negeri ini semestinya tidak terjebak pada politik prosedural semata, tetapi mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Ketika seorang pemilih datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya tentu dibarengi dengan harapan agar hidup dan kehidupannya sebagai warga negara menjadi lebih baik.
Makanya ketika ada kesempatan bagi kita untuk memperbaharui mandat sosial kepada pemimpin atau wakil rakyat melalui pemilu sudah sepantasnya dilakukan dengan pertimbangan yang rasional dan keikhlasan.
Rasional dalam arti kita mampu memilah dan memilih kandidat berdasarkan track record dan integritasnya, Ikhlas memberikan dukungan dan memilihnya dengan penuh kesadaran, dan keyakinan bukan karena imbalan atau iming-iming yang justeru akan menjadi perangkap bagi kita dalam masa lima tahun berikutnya.
Hak suara yang dimiliki oleh setiap warga ibarat bibit yang akan diberikan kepada kandidat yang mampu, jujur dan dipercaya untuk mengelola dengan baik segala urusan publik, melayani kebutuhan masyarakat mulai dari urusan kelahiran hingga kematian.
Bukan malah diperjual-belikan layaknya pedagang dan pembeli, ketika harganya telah dibayarkan di muka, maka sudah selesai semua kewajiban untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
***
Dalam sistem demokrasi elektoral, peran pemilih sangat menentukan wajah kepemimpinan di daerahnya masing-masing. Pemilih yang berintegritas akan memilih calon pemimpin yang berintegritas dan memilih dengan cara yang berintegritas.
Pemilih seperti ini yang punya keberanian menolak politik uang, memilih berdasarkan visi misi dan program serta proaktif mencari informasi tentang latarbelakang dan rekam jejak kandidat.
Jelasnya pemilih yang cerdas adalah mereka yang mampu melawan godaan materialistik sesaat. Mandat yang diberikan didasari oleh rasa tanggung jawab bersama untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka menjadi sangat relevan untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat secara terus menerus, agar pemilih mempunyai kesadaran politik yang kuat untuk menolak godaan politik uang.
Berikutnya adalah peran yang harus dilakukan oleh partai politik untuk menghadirkan kandidat calon kepala daerah yang berintegritas, yang akan mengikuti kontestasi dalam pilkada mendatang. Strategi politik tanpa mahar yang dipopulerkan oleh partai politik harus benar-benar mamapu dibuktikan kepada masyarakat. Problem berkurangnya kepercayaan publik kepada partai politik salah satunya dipicu oleh mekanisme penentuan kandidat yang kurang transparan dan sarat nepotisme.
Proses seleksi kandidasi di internal partai yang sarat dengan politik uang sehingga partai politik disebut hanya sebagai “kendaraan rental” perlu diminimslisir dengan sistem dan prosedur yang transparan dan obyektif. Kader partai harus menjadi prioritas utama untuk dimunculkan dibandingkan “pendatang baru” darimanapun ia berasal. Karena partai politik sebagai pilar demokrasi harus mempunyai komitmen dan konsistensi dalam melahirkan calon-calon pemimpin yang berjiwa negarawan bukan sekedar politisi semata.
Sang Negarawan
Seorang negarawan mampu bersikap adil dalam situasi dan kondisi apapun, mempunyai sifat dermawan yang rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk kemashlahatan masyarakat yang lebih luas. Dalam sejarah bangsa ini kita bisa belajar dari the founding father Soekarno-Hatta yang telah teruji dan terbukti dedikasinya kepada bangsa dan negara.
Soekarno dikenal sebagai figur yang memiliki prinsip nasionalisme yang kokoh dan kuat. Muhammad Hatta adalah pribadi yang jujur dan sederhana, ia menolak pemberian dari negara meskipun itu sudah menjadi haknya.
Dalam kondisi kekinian kita merindukan sosok pemimpin yang mau dan mampu mengamalkan sila ke-4 Pancasila; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Esensi dari sila tersebut adalah hadirnya para pemimpin yang memiliki kesadaran kolektif untuk mengedepankan hikmah dan kebijaksanan dalam merumuskan kebijakan yang berdampak langsung bagi masyarakat dan proses pengambilan keputusan yang lebih mendahulukan musyawarah mufakat.
Jika hal tersebut yang dikedepankan, maka perilaku menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasan tidak mungkin menjadi kebiasaan dari para pemimpin atau kader partai. Biaya politik tidak menjelma sebagai “politik iming-iming” yang digunakan untuk merayu bahkan mungkin menyuap masyarakat agar memberikan dukungan kepada dirinya.
Belajar Menjadi Negarawan
Para politisi bisa belajar menjadi negarawan dengan mengedepankan politik gagasan yang mencerahkan dan mencerdaskan. Mereka mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk memberikan pendidikan politik kepada konstituennya.
Mereka ini yang selalu bersama masyarakat sepanjang masa pengabdianya, bukan hanya datang sesekali menjelang masa pemilihan.
Jika belum mampu menjadi negarawan, setidaknya mempunyai integritas sebagai value untuk melawan godaan kekuasaan yang cenderung korup “power tent to corrupt, absolute power, corrupt absolutely” [John Dalberg Acton].
Pemimpin yang berintegritas memiliki nilai/karakter dan perilaku yang jujur, adil dan tanggungjawab, mempunyai visi misi yang jelas dan antikorupsi, memiliki rekam jejak dan bukti prestasi ditengah masyarakat.
Sungguh ini merupakan harapan kita bersama bahwa praktek politik di negeri ini akan menjadi lebih sehat dan beradab, dimulai dari setiap diri kita – baik sebagai pemilih yang notabene pemilik kedaulatan ataupun calon kepala daerah yang menjadi peserta pemilihan yang nantinya akan mengemban amanat rakyat- agar menjauhkan diri dari praktek politik transaksional.
Selain pemilih dan peserta pemilihan/kandidat, yang tidak kalah penting adalah integritas penyelenggara pemilihan. Jajaran KPU dari pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai badan penyelenggra ad-hoc seperti PPK, PPS dan KPPS harus mampu membuktikan diri sebagai penyelenggara yang mandiri dan professional. Kode etik penyelenggara pemilu harus menjadi rambu-rambu dalam menjalankan tugas sebagai pejuang demokrasi dengan sebaik-baiknya.
Tugas dan kewajiban setiap warga bangsa untuk memastikan bahwa demokrasi elektoral yang dipilih sebagai cara kita untuk mengelola kehidupan bernegara ini harus mampu mengantarkan setiap anak bangsa mendapatkan kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.
Hal ini bisa terwujud jika kita mampu melepaskan diri dari jebakan politik iming-iming alias politik transaksional yang menghargai setiap suara rakyat tidak lebih dari sekedar selembar uang seratus ribu rupiah.