Perspektif

Duka Pendidikan Kita

2 Mins read

Pendidikan adalah kesatuan antara asah, asih, dan asuh. Bila guru tidak memiliki rasa asih dan asuh, tentu sang murid tidak akan merasa betah, apalagi nyaman. Rasa asih dan asuh dinilai oleh murid. Muridlah yang merasakan apakah gurunya mendidik dan mengasuhnya dengan penuh kasih sayang atau tidak.

Dalam dunia sekolah, kadang hubungan asah, asih, dan asuh ini sering menjadi masalah. Ini terjadi karena hubungan antara guru dan murid sering merenggang. Hubungan antara guru dan murid justru lebih sering terlampau formalistik.

Hubungan guru dan murid jadi sekadar hubungan relasional transfer of knowledge semata. Alhasil, hubungan antara guru dan murid hanya sebatas antara pengajar dan yang diajar semata. Dengan kata lain, konsep kekeluargaan dalam pendidikan menjadi renggang dan semakin hilang.

Peristiwa di SMPN 1 Turi Sleman

Apa yang terjadi di SMPN 1 Turi Sleman di sungai Sempor menjadi pelajaran penting mengenai betapa dunia pendidikan sedang dirundung masalah.

Bagaimana mungkin kegiatan pramuka mengurus sekitar 249 siswa hanya dikendalikan 6 orang siswa? Terlebih kondisi lapangan di sungai sempor, cuacanya sudah diprediksi oleh BMKG akan ada hujan yang deras.

Kepala SMPN 1 Turi Sleman bahkan mengaku tidak diberitahu akan perubahan lokasi kegiatan pramuka anak-anaknya. Ini menunjukkan bahwa kegiatan sekolah yang ada cenderung mengabaikan aspek keselamatan siswa. Dalam prosedur administratif kegiatan, mestinya kepala sekolah mengetahui bagaimana kegiatan berjalan lancar, tidak ada halangan dan memastikan siswanya aman semua.

Nampak sekali hubungan antara sekolah dan murid sudah demikian renggang. Yang lebih miris, saat kejadian berlangsung, 6 pembina pramuka justru tidak ikut susur sungai.

Hubungan relasional antara pembina pramuka bukan hanya berjarak, tetapi sudah tidak memperhatikan filosofi kekelurgaan yang ada di pramuka. Saat murid-murid memanggil Pembina mereka dengan sebutan “Kakak”, sebenarnya menegaskan bahwa hubungan antara pembina dan adik-adik pramuka adalah keluarga.

Baca Juga  Dulu Jihad Berperang Sekarang Jihad Berdamai

Jarak itu makin merenggang tatkala kakak pembina cenderung militeristik dan penuh keangkuhan. Mereka lebih menampilkan pramuka sebagai organisasi penggojlogan kepada yunior mereka.

Memang kasus di SMPN 1 Turi Sleman tidak bisa digeneralisir kalau pramuka di seluruh Indonesia adalah  seteledor itu. Kasus di SMPN 1 Turi Sleman menunjukkan betapa hubungan antara sekolah dengan guru, guru dengan murid, murid dengan kakak pembina ada masalah.

Nyawa anak-anak yang menjadi korban kegiatan pramuka. Saat susur sungai Sempor, membuka mata hati kita betapa nyawa begitu murah di Indonesia. Kita tidak bisa membayangkan tangis orangtua yang tumpah saat menyaksikan mayat anak mereka terkapar meninggal dunia karena kegiatan sekolah.

Duka Pendidikan Kita

Ada sistem sekolah yang perlu dibenahi, ada kurikulum kepramukaan yang mesti diluruskan. Mencintai alam tidak harus dilakukan dengan melawan gejolak dan tanda-tanda alam. Memaksa anak tak bisa berenang untuk menyusuri sungai yang dalam bukanlah wujud cinta alam, melainkan bunuh diri yang justru mengoroti alam.

Apa yang terjadi di SMPN 1 Turi Sleman, menjadi pelajaran bersama bahwa hubungan antara guru dan murid sudah kian pupus. Ia bukan lagi dimaknai hubungan kekeluargaan yang penuh kasih. Tetapi sudah mulai merenggang dan terlampau formalistik.

Kejadian ini sekaligus menjadi momentum untuk mengevaluasi bersama bahwa kegiatan pramuka adalah kegiatan yang mendidik, bukan kegiatan yang penuh ego senioritas dan militeristik. Anak-anak perlu dididik keterampilan diri dan sosial secara baik, serta mendidik kemandirian mereka dengan cara-cara yang wajar dan aman. Mereka anak-anak kita wajib merasa aman dalam berkegiatan dan mendapatkan hak mereka saat mereka sakit.

Duka di SMPN 1 Turi Sleman menjadi cermin, bahwa dunia pendidikan kita sedang bermasalah. Ada baiknya kita mengevaluasi kembali sistem di pendidikan kita. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penuh dengan asah, asih , asuh, mulai pudar.

Baca Juga  Rencana Konser Ambyar dan Sosok Lord Didi dalam Ingatan Pengetahuan

Kita kehilangan sensitifitas rasa antara guru dan murid. Guru tidak lagi merasakan bahwa para murid adalah anak-anak yang sejatinya anak-anak mereka di sekolah yang tidak hanya perlu dididik tetapi berhak mendapatkan kasih sayang yang penuh.

Air mata orangtua korban susur sungai adalah air mata kita semua. Duka SMPN 1 Turi Sleman adalah duka dunia pendidikan kita.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds