Perspektif

Pertanyaan Tentang Tuhan

3 Mins read

Tuhan dan Berbagai Macam Pertanyaan Tentangnya

Pertanyaan tentang Tuhan adalah pertanyaan paling eksistensial dalam hidup ini. Banyak filosof, serta para nabi sekalipun memiliki gagasan serupa tentang Yang Maha Kuasa.

Sebab pertanyaan tentang Tuhan inilah yang menjadi  landasan agama pula. Pada buku Memahami Islam (1983) terbitan Penerbit Pustaka F. Schoun memberikan penjelasan yang tegas beda islam memaknai Tuhan, dengan Kristen atau Katolik.

Ia menegaskan : “Perbedaan yang fundamental di antara Kristen dengan Islam jelas terlihat di dalam hal-hal yang dibenci oleh kedua belah pihak. Seorang Kristen pertama sekali membenci penyangkalan terhadap sifat ketuhanan dari Kristus dan gereja.

Setelah itu yang dibencinya adalah moral-moral, yang jika dibandingkan dengan Kristen, kurang memuliakan hidup pertapaan. Apalagi moral-moral yang lemah dan lalai.

Tetapi seorang muslim membenci penyangkalan terhadap Allah dan Islam. Sebab yang Maha Esa, bagi kemutlakan dan transendensi-Nya, adalah kenyataan yang sangat jelas dan luhur. Islam sebagai hukum adalah kehendak Allah dan emanasi logis dari Yang Esa secara seimbang. Kehendak Allah—di sini terlihat dengan jelas segala perbedaan antara Islam dengan Kristen—tidak perlu meminta pengorbanan.

Sejarah Pertanyaan Tentang Tuhan

Sejarah pertanyaan tentang Tuhan sebenarnya sudah bermula semenjak Ibrahim. Ibrahim yang menggunakan nalarnya untuk melakukan pencarian dan menemukan Tuhan.

Nabi Musa sendiri pun pernah meminta untuk melihat Dzat-Nya. Akan tetapi ia tidak mampu saat diminta datang ke atas gunung. Ketika terpapar cahaya-Nya, Musa pun pingsan.

Lalu bagaimana dengan Rasulullah Muhammad SAW sendiri? Muhammad adalah nabi yang mendapatkan keistimewaan memperoleh kenikmatan yang tiada tara ini. Para sufi menggambarkan tidak ada kenikmatan lain kecuali melihat wajah-Nya. Bahkan surga sekalipun kalah dibanding kenikmatan melihat Tuhan.

Baca Juga  Fatwa yang Tak Dirindukan

Manusia sudah semenjak dulu memiliki rasa penasaran, menyimpan, memendam pertanyaan tentang Dzat-Nya. Nabi Muhammad sendiri pun pernah melihat betapa agungnya Allah.

Melalui Isra’ dan Mi’raj itulah, turun perintah salat. Karena itu, perumpamaan salat dianggap sebagai medium untuk menjumpai dan bercinta antara hamba dengan Tuhan.

Saya terkesima saat membaca buku Sayyed Hossein Nasr di bukunya Kekasih Allah, Muhammad, kedalaman spiritaual dan Arti Batiniah berbagai episode kehidupannya (1997).

Nasr mengutip al-Suyuti dalam karyanya La’ali al Masnuah : “ Jadi ketika aku menyelubungi mataku, maka Allah menggeserkan penglihatanku (dari mataku) ke hatiku, maka dengan demikian aku mulai melihat dengan hatiku pada yang tadinya kulihat dengan mata. Yang kulihat adalah cahaya yang begitu terangnya, sehingga aku tidak mempunyai harapan untuk menceritakannya kepadamu apa yang telah kulihat dari keagungan-Nya.”

Peristiwa bertemunya Nabi dengan Allah adalah penggambaran bahwa manusia sejatinya bisa menjangkau “Yang di atas” bila ia dalam keadaan bersih. Jiwa yang bersih itulah yang tidak ada tirai, yang membatasi antara hamba dengan Tuhannya.

Robert Frager, Ph.D menulis dalam bukunya Secawan Anggur Cinta (2016): “Aku tidak termuat oleh bumi dan langit-Ku, tetapi yang mampu memuat-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman” (Hadist Qudsi).

Artinya, meski menjadi sesuatu yang rahasi, mistis, kajian tentang keberadaan-Nya tetaplah perlu dan bisa dipelajari bagi yang hendak mencari dan menempuh jalan menuju pada-Nya.

Pertanyaan Tentang Sifat Tuhan Adalah Hal yang Lumrah

Sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani dalam bukunya  Surat-Surat Cinta Sang Kekasih (2015) beliau menasihatkan : “Celakalah kalian! Kalian mengaku cinta Allah, tetapi kalian membuka hati kalian untuk yang lain!

Lihatlah Majnun, yang tulus mencintai Layla. Ia tidak membuka sedikit pun  hatinya untuk yang lain. Suatu hari ia melintasi kerumunan orang dan mereka bertanya, ‘Darimanakah engkau?’

Baca Juga  Perlukah BPIP Gelar Kompetisi Hari Santri Nasional?

Majnun menjawab, ‘Dari Layla.’ Mereka bertanya lagi, ‘Kemana kau hendak pergi?. ‘Kepada Layla.’ Kepasrahan sering disebut dalam Islam sebagai sebuah tanda cinta seorang hamba dengan Tuhan. Bila hamba sudah pasrah dan mengikuti Tuhannya, maka ia akan dituntun sampai kepada Dzat-Nya.

Maka tidaklah heran, para sufi itu justru memberikan satu pelajaran penting tentang pencarian dan pertanyaan tentang Allah. “Membicarakan sifat-sifat Tuhan adalah hal biasa dalam tasawuf. Pada akhirnya sang Sufi mencapai tahap penyerahan diri sepenuhnya, pertanyaan-pertanyaannya akan selesai.”

Artinya, sebenarnya mempertanyakan tentang Tuhan adalah boleh, absah, dan sah bagi proses pencarian Iman yang hakiki.

Dengan “bertanya” dan berusaha mencari “jawaban” tentang Tuhan, kita makin bertambah kuat keyakinan, serta lebih memantabkan hati kita kepada-Nya.

Sebaliknya, bila kita hanya sekadar ikut-ikutan, tidak belajar dan mencari tahu Tuhan kita, lalu dimanakah sejatinya iman kita?.

Terlebih saat anak-anak saat ini bertanya “Nak, semut itu yang menciptakan Allah”. Lalu puteri kecilku bertanya “ Allah itu apa?” Pertanyaan seperti ini barangkali juga pernah diajukan anak-anak kita pula.

Akan teramat sayang, bila kita tidak mengerti, tidak memiliki bekal (pengetahuan) yang cukup untuk menjawab pertanyaan paling eksistensial dalam hidup ini.

Inilah bagian dari pengetahuan yang konon disebut ustaz-ustazah sebagai pelajaran paling utama yakni tentang akidah. Saat pelajaran ini tidak diberikan atau ditekankan, maka anak cenderung tidak atau abai terhadap pendidikan agama dalam aspek-aspek yang lain.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds