Perspektif

Mengapa Para Mujtahid Berbeda Pendapat?

2 Mins read

Dalam realitas sehari-hari, berulang kali ditemukan disonansi dalam masyarakat pada polemik yang terkait dengan hukum-hukum Islam. Lazimnya, iklim seperti ini timbul dalam ruang masyarakat yang belum mampu memisahkan hukum Islam dalam pengertian syari’ah dan hukum Islam dalam pengertian fikih.

Secara sederhana, hukum dapat dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah SWT atau ditetapkan pokok-pokoknya untuk mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta (Toha Andiko, 2013:1).

Perbedaan Syari’ah dan Fikih  

Berbicara masalah hukum artinya berembuk pada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari. Berkenaan dengan hukum syari’ah dan hukum fikih, secara umum keduanya memiliki spesifikasi yang berbeda. Hukum syari’ah berlaku tetap, pasti dan komprehensif.

Sedangkan hukum fikih berwatak sebaliknya. Hukum fikih bisa saja berubah, sebab epistimologinya dibangun diatas dugaan kuat dan bersifat kontekstual.

Apa itu Ijtihad?

Kendati hukum Islam bersumber melalui nubuat dengan perantara Nabi Muhammad SAW. Sebagian hukum Islam tidak serta merta teridentifikasikan secara langsung dalam kitab suci.

Hukum Islam yang bersifat manshus atau ditegaskan secara langsung lewat dalil Al-Qur’an dan sunah disebut dengan terma hukum syari’ah.

Sementara hukum yang tidak diisyaratkan secara langsung yaitu semata-mata dapat diketahui bilamana dikaji terlebih dahulu. Hukum inilah yang mafhum dengan istilah fikih dan prosesnya disebut dengan ijtihad.

Mengapa Mujtahid Berbeda Pendapat?

Tidak jarang para mujtahid silang pendapat terhadap hasil ijtihad yang mereka tetapkan. Bahkan lebih jauh lagi, pendapat para mujtahid bisa kontradiktif antara satu dengan yang lain.

Diversifikasi tersebut berpangkal pada metode ber-ijtihad para mujtahid yang berbeda-beda. Proses Ijtihad itu sendiri merupakan usaha maksimum dari para mujtahid dalam mendeteksi taksiran valid mengenai hukum Allah SWT. Lantaran ijtihad amat bergantung pada kapabilitas dan kualitas para mujtahid.

Sebagai contoh Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Marzuban (699 M-767 M) dengan metode ijtihad yang menggunakan Al-Qur’an, sunah, qaul sahabah, qiyas, istihsan dan ‘urf.

Hal ini berbeda dengan Imam Malik bin Anas bin Malik bin ‘Amr al-Asbahi (711 M-795 M) yang disamping menggunakan Al-Qur’an, sunah, qaul sahabah, dan qiyas. Imam Malik juga mempertimbangkan praktek penduduk madinah, istinbath hukum serta al-Maslahah al-Mursalah.

Disimilaritas metode tersebut, secara eksplisit memanifestasikan hasil final yang berbeda.

Baca Juga  Sikap ke Palestina: Biden & Trump Sama Saja?

Kebebasan Memilih Pendapat Mujtahid

Hampir semua mujtahid memberi limitasi dalam teritori ijtihad yang hanya terkait dengan ihwal hukum syara‘ yang bersifat praktis atau amaliyah.

Nilai kebenaran hasil ijtihad yang bersifat zhanni, relatif dan tidak absolut membebaskan masyarakat untuk menyeleksi fatwa mana yang sinkron dengan konteks dan kemaslahatan pribadinya.

Biasanya hasil ijtihad bisa bersifat mengikat ketika hal itu menjadi ijma‘ dari para ulama. Dengan kata lain, hasil ijtihad para mujtahid hanya bersifat mengikat kecuali terhadap dirinya sendiri sebagai seorang mujtahid.

Perbedaan adalah Niscaya

Sebelum tradisi fikih mengembangkan ruang bagi perbedaan pendapat dikalangan masyarakat. Rasulullah SAW telah memverifikasi sebelumnya bahwa “Perbedaan pendapat di kalangan umat-ku (ulama) adalah rahmat.” Sehingga masyarakat hanya perlu kedewasaan berpikir dalam melihat perbedaan pendapat ulama yang menjadi keniscayaan dari fikih itu sendiri.

Meskipun, sebagian ulama juga mempertimbangkan keseragaman praktik amaliyah yang tidak kalah penting sebagai sarana rangkaian kekuatan pemersatu masyarakat (unifying force). Lantaran keseragaman praktik amaliyah berkedudukan meminimalisir friksi dikalangan masyarakat.

Editor: Yahya FR

Avatar
7 posts

About author
Mahasiswa program studi S1, STIT DDI Pasangkayu
Articles
Related posts
Perspektif

Hisab ma’a al-Jami’iyyin: Tanggung Jawab Akademisi Muslim Menurut Al-Faruqi

4 Mins read
Prof. Dr. Ismail Raji Al-Faruqi merupakan guru besar studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Beliau dikenal sebagai cendekiawan muslim dengan ide-idenya…
Perspektif

Rashdul Kiblat Global, Momentum Meluruskan Arah Kiblat

2 Mins read
Menghadap kiblat merupakan salah satu sarat sah salat. Tentu, hal ini berlaku dalam keadaan normal. Karena terdapat keadaan di mana menghadap kiblat…
Perspektif

Salahkah Jika Non Muslim Ikut Berburu Takjil?

3 Mins read
Seluruh umat Muslim di seluruh dunia beramai-ramai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan tidak jarang dari mereka yang melakukan tradisi ngabuburit…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *