Tajdida

Pangeran Diponegoro “Hadir” di Kongres Muhammadiyah ke-20

2 Mins read

Setiap kali Muhammadiyah menyelenggarakan kongres atau muktamar, pasti dibuat logo atau simbol yang khas. Logo ini memiliki makna yang penting, karena setiap logo menandakan semangat zamannya.

Logo Muktamar Muhammadiyah ke-20 yang diselenggarakan pada tahun 1931 di Yogyakarta menggunakan foto atau lukisan Pangeran Diponegoro yang sedang menunjuk ke arah masjid. Di bagian bawah logo  terdapat tulisan Arab yang berasal dari tulisan Arab lafadz adzan yang berbunyi Khayya alal Fallah yang artinya “marilah menuju kemenenangan, kebahagiaan.”

Foto atau lukisan Pangeran Diponegoro yang mengenakan jubah putih dengan sebilah keris yang terselip di depan ini adalah ciri khas ketika sang Pangeran memimpin Perang Jawa 1825 – 1830. Penggunaan foto Pangeran Diponegoro yang ditambah potongan kalimat adzan sebagai logo kongres yang dilaksanakan sebelum Indonesia merdeka ini memiliki makna yang cukup penting bagi sejarah perjuangan republik.

Pertama, Diponegoro adalah tokoh yang menjadi simbol perlawanan rakyat Jawa melawan kompeni. Seperti kita tahu, Belanda dibuat kerepotan untuk memadamkan pemberontakan rakyat Jawa. Persyarikatan Muhammmadiyah membawa memori pahit pemerintah kolonial Belanda namun sebaliknya membangkitkan kenangan perlawanan rakyat.

Kedua, tahun 1931 adalah tahun di mana nasionalisme kebangsaan kita sedang berada di puncak. Cita-cita meraih kemerdekaan semakin menguat. Di posisi lain, Belanda sedang gencar melakukan upaya represif dengan mematahkan setiap upaya menuju kemerdekaan.

Dalam kondisi seperti itu Muhammadiyah menggunakan simbol perlawanan tersebut sebagai logo kongres. Persyarikatan Muhammadiyah “menghadirkan” Diponegoro dalam forum tertinggi di Muhammadiyah.

Diponegoro dan Gerakan yang Berpusat di Masjid

Mengapa foto atau lukisan Diponegoro pada logo Mukatamar Muhammadiyah ke-20 itu menunjuk arah masjid? Bagaimana posisi masjid bagi Sang Pangeran itu sendiri ? 

Baca Juga  Anti-Takhayyulisme Tinjauan Manhaj Tarjih

Di tempat-tempat pengasingan, Pangeran Diponegoro menulis sebuah catatan yang kemudian disebut Babat Diponegoro. Soal masjid sang pangeran menulis demikian: “Masjid selalu menyenangkan saya; orang tidak harus berdoa di dalamnya, tetapi mesjid mengarahkan hati pada ketulusan agama.”

Diponegoro jelas tumbuh dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan diskusi keagaamaan. Demikian Peter Carey (1980 :170) mencatatnya.

Setelah kepergian Ratu Ageng, nenek buyut yang mengasuhnya, Diponegoro mengembangkan Ndalem Tegalrejo menjadi pusat kajian keislaman. Banyak santri dan para kaum berkunjung ke Tegalrejo.

Jumlah yang berkunjung ke Tegalrejo mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Ini yang membuat Ndalem Tegalrejo terus diperluas sehingga bisa menampung santri yang datang ke pendopo Ageng Tegalrejo untuk mendiskusikan berbagai persoalan agama.

Di Tegalrejo aktif juga kelompok pengajian yang dikenal dengan nama Suranatan. Sebuah kelompok santri bersenjata yang tadinya bertempat di masjid Istana Kasunanan yang belakangan juga turut meramaikan Tegalrejo.

Kelompok yang terdiri dari alim ulama ini pada akhirnya menjadi lingkar utama Diponegoro dalam perang Jawa. Segala keputusan keputusan Sang Pangeran diambil dengan pertimbangan dari kelompok diskusi alim ulama ini.

Hadirnya sebuah logo muktamar bukan semata mata pelengkap perayaan muktamar. Namun di sana terdapat pesan yang bisa kita telisik maknanya.

Jika kita melakukan refleksi di hari ini, muncul sebuah pertanyaan pada diri kita sendiri. Mampukah kita menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian ilmu dan pusat pengembangan umat, pusat meraih kemenangan umat? Ini tantangan penting sepanjang zaman.

3 posts

About author
Penulis aktiv di Majlis Ekonomi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Solo
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds