Entah siapa yang mengajari jomblowan/jomblowati untuk selalu mengutuk malam minggu adalah malam yang sial. Tak lupa, jomblowan/jomblowati pun kerap melontarkan doa-doa agar malam minggu turun hujan.
Sehingga, aktivitas dating bisa sedikit digagalkan. Aktivitas malam minggu merupakan aktivitas yang tidak biasa-biasa saja. Walaupun diterpa banyak kesibukan, malam minggu seakan tidak terlewatkan. Kencan misalnya. Namun bagi sebagian orang, kencan tidak harus malam minggu.
Namun, malam minggu tidak jarang menimbulkan single shaming. Single shaming merupakan bentuk perkataan yang menjelekkan, menghina, dan semacamnya terhadap orang yang jomblo atau single.
Padahal, seharusnya tidak seperti itu. Bagi kebanyakan orang yang bodo amat, single shaming merupakan hal biasa dan hanya dianggap lelucon belaka. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mudah terbawa perasaan?
Single Shaming
Tak jarang, jomblo kerap dijadikan bahan pembicaraan yang membudaya. Berawal dari dunia realitas sekeliling kita. Jomblo jadi bahan pembicaraan di lingkungan rumahan, kantor, panggung hiburan hingga tak jarang di sosial media.
Single shaming pun tidak hanya dilakukan oleh kaum bucin saja. Bahkan mamah-mamah muda pun kerap melakukan single shaming. Anehnya, di Indonesia ini paling merakyat apalagi pada saat event-event kumpul keluarga.
Misalkan saja saat lebaran. Karena lama tidak bertemu dengan keluarga, biasanya hal yang ditanyakan adalah seputar romantisme dating atau pernikahan. Tak jarang kata-kata “kapan nikah?” muncul di berbagai sudut rumah.
Hal tersebut pun tidak hanya dilakukan saat acara kumpul keluarga saja. Acara-acara kumpul bersama teman-teman pun kerap menjadi bahan pembicaraan. Misalkan saja saat reuni sekolah, bertemu teman di jalan, pasar ataupun di tempat lain.
Lebih dari itu, yang menjadi subjek dari single shaming biasanya adalah perempuan. Perempuan distigmakan dalam masyarakat sebagai ‘perempuan tua’ apabila belum menikah pada jenjang umur lebih dari 25 tahun. Selain itu, perempuan juga dianggap gagal dan memalukan keluarga apabila tidak menikah.
Diskriminasi terhadap Jomblo
Padahal lain dari pada itu, berdasarkan riset singkat saya terhadap teman-teman saya yang jomblo. Bahwasannya jomblo merupakan pilihan. Jomblo bukan karena tidak laku. Kebanyakan jomblo karena belum siap membuka lembaran baru dengan orang lain, atau masih trauma dengan kekasih masa lalunya.
Jomblo di zaman sekarang seakan terlihat sebagai prestasi hebat. Namun sebenarnya jomblo didiskreditkan maknanya sebagai makhluk paling lemah dan sangat tidak beruntung hidupnya. Tak jarang jomblo di jadikan sebagai spot-spot foto di tempat wisata, sebagai nama taman bahkan nama akun di berbagai media sosial.
Kebetulan tidak sengaja saya membuka twitter, kemudian muncul artikel terkait single shaming. Saya cukup penasaran dengan artikel tersebut. Namun tidak saya baca tuntas, hanya beberapa baris dan judul.
Entah kenapa, saya langsung mengambil kesimpulan bahwa single shaming adalah hal yang kurang baik dan tidak cukup terhormat. Tiba-tiba bayangan yang muncul dalam benak saya adalah mamah-mamah muda yang suka ngata-ngatain atau nanyain kapan nikah, ada temen lamaran tanya kapan nyusul dan seolah jomblo manusia adalah paling hina.
Hal semacam ini tentu saja tidak hanya saya saja yang mendapatkan. Bentuk-bentuk single shaming semacam ini kerap muncul dipermukaan sekaligus diternak setiap saat. Jadi seolah-olah orang yang menikah telat adalah hal yang tidak wajar, tidak beruntung, sekaligus bernasib buruk.
Padahal, menikah atau tidak merupakan pilihan seseorang. Termasuk pacaran atau tidak. Pernikahan bukan satu-satunya cara untuk berbuat kebaikan. Pernikahan bukan satu-satunya cara untuk beribadah dan memperoleh surga secara murah.
Terkadang publik terlalu jauh masuk kedalam privat seseorang. seperti RUU yang sedang menjadi bahan gorengan media sosial saat ini, RUU Ketahanan Keluarga. para jomblowan/jomblowati cukup merasa resah dan menganggap hal tersebut kurang gawean. “Sory dech.. saya bukan dagangan” kata mereka.
Tips Menghadapi Single Shaming
Tetapi jomblo atau single itu banyak faktor penyebabnya. Ada yang bilang ini salah satu jalan hijrah, memantaskan diri, belum siap buka hati hingga persoalan yang tidak dapat dijelaskan kepada publik untuk diketahui. Bagi saya sendiri, jomblo bahagia itu prinsip daripada berdua tapi tersakiti. Ututututututut ?
Di sini ada beberapa tips dari sahabat jomblowan/jomblowati yang harus dilakukan ketika mendapatkan single shaming.
Yang pertama adalah bersikap bodo amat. Seperti yang ditulis oleh Mark Manson dalam bukunya seni bersikap bodo amat, “Hidup yang baik dan bahagia bisa dirasakan jika seseorang bisa bodo amat pada hal-hal yang memang sepantasnya diabaikan”.
Nah, apabila anda mendapatkan single shaming, sebaiknya anda abaikan saja dan tidak usah di anggap serius. Karena hal tersebut apabila terus dipikirkan dan dirasakan yakni akan merusak diri kita secara personal. Menjadi tidak pede, merasa kerdil dengan potensi diri hingga meyebabkan depresi.
Yang kedua, mengalihkan pembicaraan yang lebih bermutu. Misalkan saja membahas cita-cita dan harapan, tujuan hidup, pengalaman hidup dan juga kisah inspiratif atau ide-ide yang dapat menunjang perkembangan masa depan.
Yang ketiga, diketawai saja. Anggap saja single shaming yang dilontarkan adalah sebagai bentuk bahan lelucon walaupun leluconnya kelewatan.
Yang keempat, jadikan single shaming sebagai motivasi hidup. Yakinlah bahwa setiap orang akan menemui jodohnya masing-masing di saat waktu yang tepat dan tempat yang tepat. Buktikan bahwa kamu bisa jadi jomblo yang berkualitas dan tetap berjalan pada prinsip.
Surat Terbuka untuk Pelaku Single Shaming dari Jomblowan/wati
Yang terhormat bapak, ibu, mamah muda, papah muda dan bumil.
Sebelumnya terima kasih atas masukkan untuk mempercepat mencari pendamping hidup. Hal tersebut bukan merupakan hal yang tercela. Justru kami para jomblowan/jomblowati semakin waspada mengingat umur yang sudah cukup kelewatan untuk tidak segera menikah.
Namun, perlu bapak, ibu, mamah muda, papah muda dan bumil ketahui, bahwasannya kami masih punya hati. Jomblo bukan karena tidak laku ataupun tidak mau. Tetapi kami punya prinsip untuk menyelesaikan amanat yang tergolong cukup berat.
Amanah dari banyaknya kasus perceraian akibat faktor ekonomi. Oleh karena itu, kami memilih mengejar karir terlebih dahulu dan memperbaiki calon generasi bangsa melalui budaya menuntut ilmu.
Demikian yang dapat kami sampaikan, atas masukkan dan perhatiannya kami ucapkan banyak terima kasih.