Feature

Muhammadiyah dan NU: Saudara Seiman yang Kadang Bertengkar

5 Mins read

Saya pernah berada dalam jebakan krisis hubungan NU-Muhammadiyah, bahkan sejak saya balita. Ketika bapak yang berasal dari keluarga besar yang sebagian besar pengikut Nadhatul Ulama mendirikan Pimpinan Ranting Muhammadiyah di sebuah kampung yang memang Nadhatul Ulama-nya mayoritas.

Ketegangan, hingga menyeret keterlibatan aparat negara untuk menjaga stabilitas beberapa kali terjadi. Setelah saya masuk SD saya mulai merasakan ketidaknyamanan itu. Seakan keluarga kami adalah alien atau “orang aneh” di kampung ini. Ketika saya bermain dengan teman – teman sebaya, ada beberapa momen yang membekas hingga sekarang.

“Lis itu Muhammadiyah, beda sama kamu” begitu ungkapan salah satu orang tua disuatu saat. Hal yang tentu saja sulit dimengerti bagi anak SD, kesannya kami semacam beda agama saja dengan agama teman-temanku itu. (Nama saya Arif Nur Kholis, panggilan masa kecil saya “Lis”).

Muhammadiyah di Lingkungan NU

Bapak dan Ibu yang ketua PRM dan PRA di kampung selalu melibatkan saya dalam banyak kegiatan Muhammadiyah. Waktu itu memang Muhammadiyah melakukan banyak inovasi praktek sosial-keagamaan yang berbeda. Seperti membuat lembaga zakat, membagi zakat dalam bentuk alat pertanian dan modal usaha, juga pengelolaan kurban yang kolektif. Waktu itu di kalangan NU belum melakukan.

Salah satu yang menjadi sangat membekas tentu saja adalah tugas saya sebagai “takmir” salat Jumat khusus untuk warga Muhammadiyah di desa. Karena Jumatan itu dilakukan di rumah bapak, dan saya bagian menggelar karpet dan tikar. Saya lupa persisnya kegiatan itu berlangsung, mungkin selama 5-7 tahunan. Hal yang sama juga dilakukan untuk jamaah tarawih di bulan Ramadan.

Setelah saya lulus SD, saya “dimohon” khusus oleh bapak ibu untuk masuk SMP Muhammadiyah, di mana ibu saya mengajar di situ dan ibu sudah menjadi ketua PC Aisyiyah. Tidak sederhana untuk menerima “permohonan” itu, karena saya lulus SD dengan rata-rata NEM sembilan koma sekian, yang artinya bebas memilih sekolah manapun. Apalagi sekolah negeri favorit di kampung. Sementara SMP Muhammadiyah saat itu adalah sekolah yang jauh dari favorit, bahkan saat itu tidak punya NEM saja bisa diterima.

Baca Juga  Obituari: Agus Edy Santoso dari Teplok Press hingga LazisMu

Kenapa saya sebut itu permohonan, karena bapak ibu tidak memaksa saya, tapi hanya meminta dengan sangat. Kalaupun waktu itu saya menolak dan memilih masuk SMP Negeri saya yakin beliau berdua akan sangat mengerti. Apalagi wajar bagi anak sekolah yang sudah berjuang menjadi nilai kelulusan tertinggi, hadiah terbesar bagi mereka adalah sekolah favorit.

Di SMP itu saya kemudian menjadi Ketua IPM dua periode. Saat itu saya mulai berdiskusi dengan bapak-ibu, kenapa kita harus melalui jalan ini, aneh-aneh mendirikan Muhammadiyah. Menjadikan saya tumbuh “tidak normal” seperti teman-teman saya, dan berbagai hal lain. Intinya saat itu saya menggugat. Apalagi di SMP itu saya kemudian tahu, bahwa anak-anak guru SMP Muhammadiyah dan tokoh Muhammadiyah di kampung saya juga nggak banyak yang menyekolahkan anaknya ke SMP Muhammadiyah sebagai wujud komitmen ber-Muhammadiyahnya.

Gara-gara Pemula

Setelah berbagi kisah dan cerita dengan bapak ibu akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa inisiatif bapak ibu mendirikan Muhammadiyah bukan untuk memisahkan diri dari keluarga dan warga desa yang bukan Muhammadiyah. Namun, sebagai bentuk mengorganisasikan cara berjuang yang berbeda saja dengan saudara saudara yang NU. Ada beberapa prinsip yang berbeda antara Muhammadiyah dan NU yang kemudian saya fahami sebagai hal – hal yang khilafiah, dan banyak juga yang berada di wilayah ijtihad.

Menurut bapak, tantangan beratnya bukan saja memahamkan orang-orang NU terkait ijtihad bapak dan teman-temannya untuk mengorganisasi gerakan dalam wadah Muhammadiyah sebagai varian gerakan Islam, namun juga tidak kalah sulitnya adalah mengendalikan teman – temannya yang kadang salah berkomunikasi dengan warga NU. Saat SMP itu saya juga baru tahu bahwa insiden yang membuat kami harus menggelar jumatan di rumah, bukan bersama warga yang lain di masjid kampung, juga hanya karena adanya kesalah-fahaman antara personil di Muhammadiyah dan NU. Bukan desain dan kebijakan organisasi.

Di situlah saya mendapatkan ilmu kepemimpinan dari bapak bahwa memimpin orang-orang itu tidak mudah. Kadang banyak yang berinisiatif bergerak sendiri, tapi malah mengacaukan strategi.

Alhamdulillah sekarang ketengangan itu sudah berakhir. Bapak dan warga Muhammadiyah di kampung saya sudah tidak ada lagi masalah dengan warga NU. Anak-anak muda NU banyak belajar ke bapak yang memang senang mengorganisasi anak muda di kampung. NU di kampung saya sekarang menjadi NU yang modern dengan pengelolaan sekolah, zakat, dan kurban yang terorganisasikan dengan baik.

Baca Juga  Irfani: Basis Akhlak Mulia Berorganisasi

Muhammadiyah juga terus bergerak tanpa halangan. Karena ada kesadaran baru, yaitu bersama-sama memajukan kampung. Kalau ada ketegangan lagi ya… biasa… mungkin dilakukan para pemula, dan selesai dengan cepat. Tokoh NU di kampung juga sepupu-sepupu bapak.

Kisah Penyusup di IRM

Menariknya, di saat SMP itulah saya direkrut sebuah organisasi yang “menyusup” ke IRM (saat itu IPM berubah jadi IRM) di wilayah Kendal. Personil yang menyusup itu secara formal memang pimpinan IRM Cabang tertentu, namun ternyata mereka juga memiliki organisasi lain dalam bentuk pecinta alam. Mereka merekrut saya dengan undangan IRM, bahkan langsung meminta ijin kepada bapak ibu saya untuk ikut pelatihan. Setelah di lokasi saya baru tahu kalau pelatihan itu bukanlah pelatihan IRM.

Pelatihannya menarik, peserta hanya 7 atau 9 orang gitu (saya lupa persisnya), namun instruktur dan panitianya puluhan. Semua peserta anak SMP dari keluarga Muhammadiyah. Pelatihannya setiap hari berpindah-pindah, dari pelatihan di rumah orang, pindah ke rumah orang berikutnya, hingga berakhir di tenda di pinggir sungai.

Di pinggir sungai itulah kami diminta teriak-teriak takbir di sesi-sesi yang kami lakukan, dan materinya : negara Indonesia ini sudah mengingkari Piagam Jakarta, menolak Pancasila sebagai azas tunggal, ada banyak agen-agen Yahudi di antara umat Islam. Keberadaan NU dan Muhammadiyah mengacaukan umat, seharusnya Islam ya Islam saja.

Selama 7 hari kami diajar dengan doktrin-doktrin itu. Beberapa kali kami dilatih survival untuk bertahan hidup di alam bebas. Beberapa kali kami juga disetting dalam sebuah skenario penculikan seseorang yang katanya adalah agen yang mengawasi pelatihan kami. Kami berkelahi, kontak fisik. Walaupun kemudian diklarifikasi kalau itu hanya skenario menguji militansi kami.

Setelah pelatihan 7 hari itu kami pulang setelah berbaiat di tengah malam. Masa liburan sekolah saya terasa sangat berarti saat itu, disaat anak-anak yang lain sedang memikirkan kesenangan dunia, kami disulap menjadi power ranger syariah begitu. Mungkin inilah yang dirasakan teman-teman yang sekarang katanya ikut gerakan “hijrah” . Mungkin… saya nggak ikut soalnya.

Baca Juga  Merefleksikan Wasiat Sunan Gunung Jati di Tengah Politisasi Identitas

Setelah itu saya kembali sekolah, dan kembali ke dalam IRM. Saya merasa tidak puas dengan IRM yang perkaderannya biasa-biasa saja, tidak “sekeren” yang saya ikuti bersama para penyusup IRM itu. Di situlah kemudian saya menjalani proses “penculikan” berikutnya oleh senior di PD IRM Kendal.

Saya diajak kegiatan di tingkat provinsi, saya ikut dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan, dan saya tidak dijadikan peserta, tapi langsung jadi panitia yang kadang – kadang juga ngisi materi. Sepertinya mereka tahu kalau saya perlu diselamatkan dari para penyusup itu. Karena saat itu saya mendengar bahwa PC IRM yang disusupi itu kemudian dibekukan.

***

Bagaimana reaksi bapak-ibu saya? Bapak-ibu saya melarang saya berinteraksi lagi dengan kakak-kakak penyusup di IRM itu. Dan menariknya saya ngikut saja, kemudian fokus sekolah lagi karena bapak saya menjanjikan untuk SMA saya boleh memilih sekolah manapun, tidak seperti ketika masuk SMP. Tentu saya bersemangat dan kemudian saya SMA di Jogja. SMA Muhammadiyah juga yang saya pilih, karena NEM-nya nggak cukup masuk SMA Negeri di Jogja. 🙂

Hikmahnya, pengalaman di atas, Muhammadiyah dan NU itu sejatinya saudara sedarah dan seiman. Yang namanya saudara kadang memang bersaing, bertengkar, bahkan mungkin sampai saling ejek, atau mungkin malah diam-diaman. Tapi kalau diselesaikan dengan ketulusan hati semua akan selesai.

Sebagai organisasi Muhammadiyah memang longgar dalam menerima orang yang mau bergabung, sehingga penyusup yang memanfaatkan Muhammadiyah itu selalu saja ada. Kemampuan pimpinan organisasi memahami ideologi dan strategi gerakan menjadi penting.

Menjadi pimpinan Muhammadiyah tidak boleh polos, mengerti masalah yang terjadi dan mengerti peta pelaku yang melakukannya. Yang penting adalah menjaga barisan dari narasi organisasi lain, komando organisasi lain, bahkan personil yang menjadi agen ganda dari ideologi dan kepentingan lain.

Mungkin bukan hanya Muhammadiyah, NU juga mengalami hal yang sama.

Editor: Nabhan

Avatar
5 posts

About author
Sekretaris Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds