Ayah saya adalah seorang kiai NU di sebuah kampung kecil di wilayah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tentu saja, pendidikan agama yang saya terima adalah Islam-NU. Pendidikan agama yang saya terima dari keluarga sangat bersahaja. Kerendahan hati dan keramahan pada orang lain adalah salah satu didikan yang terus-menerus diajarkan. Pernah suatu hari saya menyombongkan kemampuan saya dalam mengaji di depan anak-anak lain, saya langsung ditegur dengan keras oleh ibu saya hingga saya menangis seketika.
Sejak kecil saya tidak pernah dididik untuk untuk membenci kelompok lain, termasuk ke Muhammadiyah. Ayah pernah bercerita bahwa dia pernah ditantang berdebat secara terbuka oleh salah seorang tokoh Muhammadiyah lokal di masjid. Ayah merasa bahwa tantangan debat itu dilakukan untuk mempermalukan dan mendelegitimasinya sebagai seorang kiai di depan masyarakat. Sekalipun demikian, ayah berhubungan baik dengan tokoh Muhammadiyah di desa saya sekalipun jelas memiliki pandangan keislaman yang berbeda.
Keluarga yang Beragam
Saya sendiri sejak SD memiliki sahabat-sahabat dari keluarga Muhammadiyah. Jangankan ke Muhammadiyah, kepada orang Kristen pun orang tua saya sama sekali tidak menaruh perasan benci. Ayah dan ibu sangat hormat dengan salah seorang guru SD saya yang seorang Kristen karena guru saya itu sangat menyayangi kakak perempuan saya.
Di dalam keluarga besar saya, nyaris semua adalah anggota NU. Kakak-kakak perempuan saya banyak yang aktif di badan otonom NU. Tapi, kakak perempuan tertua saya aktif di Muhammadiyah. Bahkan keluarga kakak tertua saya bisa dikatakan adalah keluarga tokoh Muhammadiyah di desanya. Sekalipun tidak semua anaknya aktif di struktur kepengurusan Muhammadiyah, namun mereka secara kultural jelas lebih dekat ke Muhammadiyah daripada NU.
Sejak ayah wafat, kami bersaudara bersepakat untuk berkumpul pada hari ke-empat setelah lebaran. Ketika membuat keputusan itu, ada pertanyaan: jika Muhammadiyah dan NU membuat keputusan berbeda tentang tanggal lebaran, patokan apa yang dipakai untuk menentukan hari ke-empat itu? Kami tidak berdebat tentang dalil penentuan lebaran, apakah memakai ru’yah (NU) ataukah hisab (Muhammadiyah). Solusi diambil dengan sangat enteng: Kita mengikuti keputusan resmi pemerintah, tidak peduli apakah keputusan pemerintah itu condong ke NU atau Muhammadiyah.
Akhirnya, pertemuan keluarga di hari ke-empat pasca-Lebaran terjadi. Pertemuan dilakukan di rumah salah seorang saudara, di mana ibu tinggal. Sebelum pertemuan, saya mengutarakan niat untuk mengadakan tahlil kepada almarhum ayah, mumpung semua saudara berkumpul. Niat “baik” saya itu langsung disergah oleh kakak-kakak saya yang NU. Menurut mereka, hal itu mungkin akan menyakiti hati kakak pertama dan keluarganya. (Saya mengutarakan niat itu sebelum kehadiran kakak pertama saya dan keluarganya).
Tenggang Rasa untuk Muhammadiyah
Saya sangat kaget karena awalnya saya menduga usulan saya akan mendapat dukungan dari saudara-saudara yang mayoritas adalah NU. Penolakan itu tidak hanya membuat saya kaget, tapi juga malu. Saya yang mendapatkan pendidikan paling tinggi di keluarga tidak cukup memiliki kerendahan hati untuk menenggang keyakinan yang berbeda dari “kelompok minoritas” di keluarga saya. Ternyata, pendidikan tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan sikap toleran terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan.
Dengan sangat bijaksana, kakak-kakak saya yang NU mengusulkan untuk mengaji al-Qur’an bersama saja. Usulan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa baik NU maupun Muhammadiyah pasti meyakini bahwa membaca al-Qur’an adalah ibadah. Bagi saudara-saudara NU yang meyakini bahwa pahala membaca al-Qur’an akan sampai kepada si mayat, biarkan itu diniati sebagai berkirim doa kepada almarhum ayah. Bagi saudara saya Muhammadiyah yang tidak meyakini pahala membaca al-Qur’an sampai kepada si mayat, biarlah itu diniati sebagai ibadah saja.
Dari mana datangnya solusi yang sangat bijak ini? Sekali lagi, kami tak pernah berdebat tentang dalil dari keyakinan dan amalan-amalan kami. Solusi itu datang dari perasaan sayang. Kami semua saling menyayangi. Kami semua saling mencintai. Dengan cinta dan kasih sayang itulah kami menjaga keluarga kami. Bukankah Nabi pernah bersabda: irhamu man fi al-ardh, yarhamkum man fi al-sama’ (Kasihilah makhluk yang di bumi, niscaya engkau akan disayang Zat yang di langit)?
Kebenaran tidak bisa divoting. Keyakinan tak pernah bisa diputuskan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Keyakinan itu ada di dalam hati. Setiap keyakinan mungkin akan dipandang salah oleh pihak lain. Tapi keyakinan itu sepenuhnya dipegangi sebagai kebenaran oleh yang memeluknya. Itulah mengapa kita perlu toleran (menghargai, menenggang, menghormati) keyakinan orang lain yang berbeda dari kita.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ma’idah 48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah 48)
***
Keluarga kami bisa dikatakan miniatur dari Islam wasathiyah (Islam moderat) Indonesia. NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia. Sebagai Islam moderat, NU dan Muhammadiyah dididik untuk bersikap toleran kepada orang lain. NU dan Muhammadiyah mestinya menjadi contoh bagaimana toleransi itu dipraktikkan.
Ketika saat ini kita mendengar adanya penolakan yang kasar dengan bahasa sarkastik dari “Pemuda Muhammadiyah Yogyakarta” terhadap rencana peringatan harlah NU di Masjid Kauman Yogyakarta, saya sangat yakin itu adalah susupan dari kelompok Islam yang bukan berasal dari ideologi wastahiyah (moderat) Muhammadiyah.
Namun, jika konflik ini sungguh-sungguh melibatkan NU dan Muhammadiyah. Mungkin mereka perlu belajar bagaimana NU dan Muhammadiyah menjalin kasih sayang di dalam keluarga saya.