Omnibus Law menjadi perbincangan yang hangat akhir-akhir ini. Tentu dengan akal sehat kita, baik di posisi manapun kita berada, akan lebih menolak yang namanya omnibus law.
Omnibus law ini dibuat untuk menggantikan aturan-aturan yang ada sebelumnya, yang mengatur banyak hal dalam satu undang-undang. Namun demikian, aturan yang disajikan dalam omnibus law terlalu menguntungkan bagi pemilik modal dan para pengusaha sebagai investor.
Rancangan undang-undang ini memang dibuat untuk menarik investor agar mau berinvesatsi di Indonesia sehingga dapat meningkatkan ekonomi. Yang disayangkan adalah, cara agar menarik investor. Yaitu dengan merugikan pekerja biasa.
Mulai dari peraturan ditambahkannya jam lembur, penekanan pesangon bagi pekerja yang di-PHK, dan aturan lain yang kesemuanya merujuk pada kerugian pekerja.
Penolakan Omnibus Law Secara Aksiologis
Tidak menutup kemungkinan, peraturan yang demikian mendapat kecaman dari pemikiran yang sejak berabad-abad lalu telah dipikirkan oleh para pemikir terdahulu. Dari sudut pandang filsafat, baik dan buruknya sesuatu dapat diukur.
Apalalgi oleh salah satu cabang filsafat yang membicarakan mengenai etika, estetika, dan logika. Omnibus law yang baru baru-baru ini dibuat, ternyata sejak ratusan tahun lalu telah mendapat penolakan.
Tentu saja penolakan ini bersandar dari tiga aspek yang memang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Cabang filsafat yang menolak adanya omnibus law ini ada aksiologi.
Dari sudut pandang aksiologi, ada tiga aspek yang harus dibenahi oleh pembuat undang-undang tersebut.
Yang pertama adalah etika. Negara Indonesia mempunyai jumlah rakyat yang banyak. Banyaknya rakyat dan penduduk ini, tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan. Dengan adanya peraturan yang membuat rakyat menjadi lebih menderita, maka hal ini tidak sesuai dengan etika.
Etika adalah ukuran kesopanan dan kesantunan. Apabila rakyat semakin menderita, apakah ini sudah menunjukkan sikap santun? Apabila banyak pekerja Indonesia yang semakin dirugikan pekerjaannya, apakah ini sudah menunjukkan sikap perikemanusiaan?
Etika mancakup nilai atau kualitas yang menjadi studi penilaian moral. Apakah dengan mempersempit kenyamanan dalam bekerja, sudah memenuhi standar moral yang baik? Tidak hanya dalam penyelenggaraan negara perihal ketenagakerjaan, hal yang membuat orang lain semakin menderita merupakan hal terluar dari moral standar yang sebaiknya dilakukan manusia.
Etika menjadi kebutuhan bagi setiap manusia. Mengingat hal-hal tersebut dapat memberikan kenyamanan bagi orang lain di sekitarnya. Tanpa etika, perseteruan dan perpecahan, kerap terjadi.
***
Kebutuhan akan kenyamanan ini ditujukan dengan etika melalui perilaku manusia. Dalam hal kenegaraan, ini termasuk dalam penyelenggaraan rancangan undang-undang omnibus law ini.
Etika sejatinya berasal dari kegiatan berpikir. Demikian juga dengan peraturan yang juga merupakan hasil kegiatan berpikir. Oleh karena itu, bentuk apapun yang dikeluarkan pemerintah, merupakan bagian dari etika yang sama-sama merupakan hasil dari kegiatan berpikir.
Dengan kata lain, apabila peraturan tersebut dibuat dan menjauhkan manusia dari kenyamanan, peraturan tersebut sudah jauh dari etika yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Sudut pandang kedua dari aksiologi mengenai omnibus law adalah estetika. Estetika membicarakan keindahan. Indahkah apabila semakin banyak orang miskin yang menderita?
Pengusaha dan investor asing semakin kaya, sementara rakyat kecil semakin menderita, dapatkah ini dikatakan indah? Meskipun pada awalnya nilai keindahan hanya tepat digunakan dalam bentuk fisik suatu karya, tetapi perubahan pola pikir masyarakat akan mempengaruhi penilaian terhadap keindahan.
Keindahan berkembang dengan penerimaan masyarakat mengenai suatu pemikiran. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan dengan peraturan yang dibuat oleh sang pembuat peraturan.
Sejatinya, sebuah peraturan adalah seni. Oleh karena itu, seni yang baik yaitu yang dapat diterima masyarakat, tidak memberatkan masyarakat, dan tidak pula merugikan masyarakat yang dinamis.
Peraturan sebagai seni menunjukkan, diharuskannya agar itu dapat diterima dan dirasakan sebagai bentuk keindahan oleh masyarakat sebagai “penikmat seni”. Apabila rakyat memandangnya, mereka tidak dirugikan.
Apabila mereka merasakannya, mereka tetap nyaman. Bahkan dengan keindahan tersebut, mereka akan “kenyang” dengan sendirinya. Dengan keindahan peraturan yang dibuat, masyarakat akan terbawa kepada kehidupan yang aman, nyaman, damai, dan bahagia menuju keindahan sejati.
***
Dengan kenyatan bahwa omnibus law ini semakin membuat rakyat menderita, maka nilai estetika ini tidak ada. Peraturan tersebut kosong akan nilai keindahan, sehingga aksiologi memandang bahwa peraturan ini tidak sesuai dengan hakikat manusia yang cinta akan keindahan.
Bahkan sejatinya, para pembuat peraturan ini juga tidak merasakan keindahan di dalamnya. Hanya saja, mereka tidak memperlihatkan rasa tidak indah tersebut di depan umum. Hal ini dikarenakan, mereka tidak merasakan adanya keadaan yang semakin menderita, yang hanya dirasakan oleh rakyat kecil biasa.
Sudut pandang ketiga dari aksiologi adalah logika. Logika dapat diartikan yaitu sesuai dengan akal sehat manusia. Tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan keadaan masyarakat yang adil dan makmur.
Sesuai dengan nilai kelima pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, maka seharusnya peraturan yang dibuat juga untuk memenuhi keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Dengan peraturan yang membuat rakyat menderita tersebut, apakah masih dapat diterima akal sehat manusia apabila dibandingkan dengan nilai pancasila? Adanya pernyataan tertulis di samping burung garuda yang biasa terpampang di belakang kelas ini, hanya menjadi hiasan.
Akal sehat mana yang merasa baik-baik saja melihat orang lain di sekitar mengalami kesengsaraan? Maka, omnibus law ini tidak dapat diterima akal sehat dan sekali lagi tidak sesuai dengan nilai logika yang dipandang oleh aksiologi sejak ratusan tahun lalu.
Dari ketiga sudut pandang aksiologi yang terpapar di atas, tidak satupun nilai yang menerimanya sebagai peraturan tetap yang menciptakan kesejahteraan.
Tidak ada nilai aksiologi yang rela menerapkannya di negara yang cukup keberagamannya ini. Sudah jelas penolakan omnibus law ini sejak ditemukannya pemikiran, sejak ditemukannya peradaban.