FeatureTajdida

Islam Berkemajuan versi Warung Kopi

3 Mins read

Hujan deras sudah semakin reda. Tapi dinginnya kota Malang, masih menusuk tulang. Membuat “aras-arasen” beranjak dari kursi panjang warung kopi di samping masjid. Kami tetap bertahan.

Sahabat kami, Mas Boy, masih menikmati pisang goreng lezat yang disuguhkan Mak Ro (nama lengkapnya Munawaroh). Di sampingnya adalah Cak Sidiq, Kang Nur Subeki dan saya sendiri, menikmati teh, kopi dan STMJ.

***

Cak Sidiq yang orang Gresik itu, membuka perbincangan. “Memangnya ada tho, cara gampang memahami Islam berkemajuan?”

Jawab Kang Nur, “Yo mesti ono tho (Ya pasti ada dong. red). Bahkan, tukang becak bisa mengerti dengan mudah perkara ini.”

“Betul, Kang.” Tambah Mas Boy.

“Kalau boleh saya cerita, sebenarnya Islam Berkemajuan itu berasal dari dua kata. Islam dan Berkemajuan. Kalau Islam, agama. Berkemajuan adalah sifatnya. Jadi, Islam itu ya memang seharusnya berkemajuan,” lanjutnya.

“Contohnya, Mas?” Saya penasaran dengan penjelasannya.

“Begini. Kewajiban seorang Muslim itu, ya syahadat, salat, puasa, zakat dan naik haji apabila mampu. Itulah Muslim. Lalu kalau mau berkemajuan, ya mesti berlaku baik. Jujur, hatinya bersih, fikirannya positif, kata-katanya benar, santun dan menyenangkan. Lalu perilakunya juga bagus terhadap sesama,” ungkap Mas Boy.

“Apa ya benar begitu, Mas?” Saya kurang puas.

“Islam itu sebenarnya artinya selamat, jalan keselamatan dan agama yang menyelamatkan. Jadi, orang yang rajin shalat, lalu mengerjakan yang sunnah, rajin Senin-Kamis, berbuat baik pada siapa saja, maka insya Allah layak disebut sebagai Muslim. Artinya, orang yang terselamatkan,” Mas Boy menjelaskan.

“Lalu Berkemajuannya?” Cak Sidiq memotong.

“Nah, bayangkan ketika perilaku baik ini, diamalkan oleh pejabat-pejabat negara. Kebijakan negara juga bisa jadi baik. Mereka ini kan orang terpandang. Yang diamati oleh banyak orang. Maka tentu akan menjadi suri tauladan. Korupsi teratasi, kemiskinan berkurang, pendidikan semakin berkualitas dan yang paling penting, banjir di Jakarta, mungkin saja kalau pejabatnya kompak, bisa reda,” kata Mas Boy panjang lebar.

Baca Juga  Kaffah Lahiriah dan Batiniah

“Bahkan virus corona bisa dibereskan ya? Kan kalau kita bersatu-padu, bareng-bareng menemukan anti-virusnya, mungkin juga bisa selesai masalah pandemik ini,” Kang Nur menimpali.

***

“Tapi kan kenyataannya tidak begitu. Lihat saja pembangunan pemerintah. Masih sering merugikan rakyat kecil. Bahkan tambang-tambang yang ada, merusak lingkungan. Di Sumatera, hutan dibakar. Di Banyuwangi, sumber air ratusan desa rusak. Di Papua, wah, jangan ditanya. Parah,” Cak Sidiq nimbrung.

“Itulah, maka, Islam Berkemajuan adalah Islam yang menyelesaikan masalah. Seperti Kanjeng Nabi Muhammad, beliau problem-solver. Hanya saja, siapa aktornya? Siapa sing purun nderek Kanjeng Nabi? Nah, ini harus dipastikan dulu. Kalau kita, apakah siap dan mampu memberikan yang terbaik? Beramar makruf nahi munkar?” Mas Boy menjawab, lalu menyeruput kopi pahitnya.

“Sementara kita ini kan sesama Muhammadiyah saja sering bertengkar. Sama saudara kita Nahdliyyin, juga sering bergesekan. Sama pemerintah juga begitu. Maksud saya, kapan ya kira-kira, kita bisa bergotong-royong menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang serius?” Kang Nur berkata-kata sambil sorot matanya menatap jauh ke langit yang gelap.

“Kalau mau jadi pejabat, ya harus punya uang. Harus kaya. Lewat partai politik yang fungsinya sama seperti makelar tanah. Sulit diajak berbuat baik, alot, dan menjengkelkan. Uangnya tidak hanya untuk kampanye. Tapi juga jual-beli suara. Sedihnya, rakyat di bawah juga dagangan suaranya masing-masing,” Mas Boy menjelaskan.

“Lalu setelah jadi pejabat, cari proyekan yang menguntungkan kantongnya sendiri. Semua ingin diambil, dikuasai, dimiliki. Serakah. Nah, kalau sudah begini, apa mereka masih memperhatikan orang miskin, lingkungan dan menyelesaikan masalah umat?” Tambahnya.

“Oh… Saya jadi ngerti Mas. Jadi Islam Berkemajuan itu yang cepat tanggap menghadapi penderitaan rakyat ya Mas?” Tanya Cak Sidiq.

Baca Juga  Muhammadiyah Pasca Pilpres: Akomodasi atau Oposisi?

“Betul. Penderitaan sesama. Mau menolong dan berkorban untuk kemanusiaan. Ya seperti Kyai Ahmad Dahlan lah pokoknya,” Mas Boy menjawab cepat.

“Kalau pejabat kita tidak Berkemajuan, ya perlu kita rebut kekuasaannya. Tapi apa ada jaminan, kalau kita berkuasa, bakal kuat menahan diri dari godaan duniawi yang fana ini?” Tanya Kang Nur dengan nada rendah.

“Ya bukan hanya itu. Sekolah-sekolah kita harus jadi sekolah juara. Bukan hanya juara kecamatan atau kabupaten. Tapi juara nasional dan bahkan juara dunia. Universitas-universitas kita juga begitu. Kuantitasnya sudah banyak. Tapi soal kualitas, kita harus membangun satu, yang mampu mengungguli universitas-universitas maju di Amerika, seperti Harvard, MIT, Columbia, Chicago, Stanford dan seterusnya,” Mas Boy bersemangat.

***

“Jadi, Islam Berkemajuan itu sederhana, tapi luas ya maksud dan tujuannya.” Saya menyimpulkan sendiri.

“Lha ya itu maksud saya.” Mas Boy menyetujuinya.

Malam semakin larut dan hujan benar-benar reda. Kopi di cangkir sudah habis. Pisang gorengnya juga laris manis.

Islam Berkemajuan adalah pekerjaan rumah semua orang. Mungkin, bukan hanya untuk warga Muhammadiyah. Tapi juga semua kaum Muslim di dunia.

Editor: Nabhan

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds