Tajdida

Mengamalkan Stoicism dalam Ber-Muhammadiyah

3 Mins read

Sebagaimana diketahui, menjadi seorang Muhammadiyah bisa dikatakan susah-susah gampang. Mungkin, akan banyak yang beranggapan menjadi seorang Muhammadiyah tidaklah harus duduk dalam struktural pimpinan atau menjadi bagian dari proses perkaderan di berbagai level pimpinan. Cukup dengan rutin mengikuti kajian Muhammadiyah, mengikuti penetapan hasil hisab Muhammadiyah dalam penentuan hari-hari besar Islam, hingga menggunakan HPT dalam hidup keseharian dan bermasyarakat.

Namun siapa sangka, bila hari ini masih banyak ditemukan perdebatan dalam tubuh Muhammadiyah itu sendiri? Dari masalah fiqh hingga tataran politik kekuasaan. Pun, Muhammadiyah sendiri sudah jelas-jelas menghimpun keduanya dalam Putusan Tarjih dan Khittah . Memang, heterogenitas adalah hal wajar dalam Muhammadiyah. Malahan, akan terkesan sepi dan jauh dari makna dinamis kalau organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini hanya diisi oleh orang-orang itu saja dan pada manut semua.

Juga, perlu dipahami, yang namanya ber-Muhammadiyah, lebih- lebih sudah berani men-cap dirinya sebagai kader, haruslah dibarengi dengan tingginya ilmu dan anggunnya akhlaq. Seperti sebuah nasihat Ayahanda Haedar Nashir dalam kesempatan yang lalu bahwa, “Islam mengajarkan ihsan, yakni menebar kebajikan melintas batas tanpa diskriminasi.”

Dari penuturan beliau-yang bisa dibilang representasi dari Muhammadiyah sendiri saja sudah sangat jelas bila menjadi seorang Muhammadiyah itu harus sadar akan realitas yang lebih kompleks, tidak hanya dalam tubuh persyarikatan saja. Lebih-lebih hanya disibukkan akan perdebatan saol rokok dan doa qunut dalam sholat. Sudah selayaknya menjadi seorang Muhammadiyah itu penuh dengan sikap tepo sliro dan  nrimo kalau masyarakat Jawa bilang.

Terlepas dari segala perkara dalam Muhammadiyah, ada saat ketika beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke sebuah toko buku dan menemukan sebuah buku self improvement dengan judul Filosofi Teras. Sebuah filsafat Yunani-Romawi kuno yang dipopulerkan oleh Zeno-yang dalam awalnya mengajarkan ilmu ini di teras-teras berpilar di Yunani kepada para pengikutnya, yang sering disapa dengan kaum Stoa.

Baca Juga  Dakwah Muhammadiyah: Proaktif, Bukan Provokatif

Hal yang membuat ketertarikan adalah adanya sebuah kalimat pada front cover buku tersebut dengan tulisan “Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini.” Bagi saya, hari ini memang manusia dituntut untuk bermental tangguh. Lebih-lebih dalam ber-Muhammadiyah. Seperti diketahui bersama, banyak dijumpai sebuah nasihat mendalam dari mendiang Jendral Soedirman, bahwa “Ber-Muhammadiyah itu berat, bila ragu, lebih baik pulang saja” begitu kurang lebih.

Tidak perlu waktu panjang untuk sekadar memahami isi dari buku tersebut. Berkat kepiawaian Henry Manampiring yang kerap disapa dengan Om Piring tersebut dalam mengemas sejarah, perjalanan, hinggan kiat-kiat dalam mempraktikkan Filsafat Stoa tersebut di dalam hidup keseharian. Pembaca dibuat seperti masuk ke dalam kisah-kisah dongeng dalam Filsafat Stoa.

Dalam sudut pandang Filsafat Stoa atau kerap disebut dengan stoicism, ada seorang tokoh pengusung stoicism yang senantiasa melakukan permenungan diri atas apa saja yang telah diperbuat dan dilakukan dalam hidupnya. Beliau, merupakan filsuf yang juga menulis buku yang hingga saat ini masih banyak dibaca dan direnungkan dengan Eis Heaution, For Himself, atau sering diterjemahkan dengan meditations. Barangkali, dalam keyakinan umat Islam sendiri juga sudah dijelaskan dalam konsep muhasabbah. Pemaknaan sepadan dalam sebuah peradaban yang berbeda.

Beranjak dari konsep meditation milik Marcus Aurelius, dimana dalam konsep pemikiran tersebut manusia diharuskan untuk sesering mungkin berdiri di depan cermin dan kembali lagi menanyakan tentang segala sesuatu yang telah dilakukan dalam hidup ini. Juga, dalam konsep stoicism terdapat konsep yang diusung oleh filsuf bernama Epictetus, yang mana beliau memiliki anggapan bahwa segala sesuatu itu bukan dan tidak sepenuhnya dalam koridor kendali kita. Konsep yang sering disebut dengan “dikotomi kendali” tersebut berupaya mengantarkan manusia kepada perbuatan yang lebih bijak, arif, dan tahu arah akan segala sesuatu dalam menghadapi permasalahan.

Baca Juga  Mengejar Ketertinggalan Dakwah Virtual Muhammadiyah

Berangkat dari beberapa konsep stoicism di atas, dan masih banyak lagi konsep-konsep stoicism yang juga akan mengantarkan manusia menuju kepada sebuah kebaikan, ada baiknya-mungkin akan lebih disarankan untuk setidaknya mengamalkan stoicism dalam ber-Muhammadiyah. Kenapa? Pentingkah? Bagi saya melihat dari sisi objektif keberadaan manusia, tak terlepas para warga, kader, pimpinan, cepat atau lambat akan mengalami berbagai permasalahan pelik atas hidup ini.

Ya, semoga saja tidak terjadi. Tapi, apa salahnya bila kita bersiap (bagi yang belum) dan mencoba mengamalkan (bagi yang sedang) berhadapan dengan permasalahan, apapun itu, dengan konsep tersebut dalam hidup keseharian dan bermasyarakat? Tentu, bagi kalian segenap warga dan kader dalam ber-Muhammadiyah.

Harus diakui, betapa beratnya ketika nantinya kita gagap lebih lagi tidak siap menghadapi berbagai persoalan umat, persyarikatan, dan bangsa-yang dimana kiranya akhir-akhir ini perlu amunisi dan bekal yang cukup dan persiapan diri yang matang. Ditambah lagi, dalam hadirnya peradaban manusia baru banyak orang bilang dengan dunia siber. Kebenaran seolah menjadi suatu perkara yang sangat bias.

Lebih lanjut, di tahun 2020 ini, Muhammadiyah sedang akan menggelar hajat akbar, yaitu Muktamar Muhammadiyah ke-48. Hajat 5 tahunan sekali itu kiranya harus menjadi representasi peradaban Muhammadiyah di Indonesia, yang sudah tak muda lagi ini. Ya, Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad.

Menjadi Muhammadiyah dan ber-Muhammadiyah dirasa tidak boleh lepas dari konsep-konsep ihsan dan modern. Tentunya, akan lebih afdol ketika kita mengamalkan stoicism tersebut di dalamnya. Setidaknya, dalam menjadi bagian dari salah satu organisasi Islam terbesar di dunia ini, tidak menjadikan kita gagap dan jauh dari makna mental tangguh. Hal tersebut semata-mata untuk merawat warisan peradaban Muhammadiyah itu sendiri.

Baca Juga  Islam Wasathiyyah Menurut 3 Ulama: Quraish Shihab, Gus Mus, dan Said Aqil Siroj
1 posts

About author
Mahasiswa aktif yang sedang menempuh dan menuju ke semester akhir.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds