Falsafah

Machiavelli, Sang Guru Politik Modern

4 Mins read

Pada kesempatan kali ini, kita akan sedikit mendiskusikan tentang Niccolo Maciavelli. Seorang filsuf Italia, salah satu filsuf modern awal, tokoh renaisans, dan ahli politik modern. Itu ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan seorang Machiavelli. Hidup sekitar tahun 1469 hingga 1527.

Kejeniusannya dalam membuat analisis politik tidak diragukan lagi. Guru politik para praktisi politik di seluruh dunia. Mempelajari politik tidak lengkap tanpa Machiavelli. Gagasan-gagasannya menjadi praktik politik modern di banyak negara.

Dia adalah anak seorang seorang
pengacara Italia. Sempat mengenyam pendidikan tinggi. Kemudian menjadi
penasehat politik di Floren, salah satu kota Italia.

Setelah Floren runtuh, Dia
mendekam dalam penjara selama kurang lebih 5 tahun. Setelah bebas. Dia mengasingkan diri dan menulis bukunya yang fenomenal, yakni Il Principe (Sang Pangeran) tertahun 1532 dan Discorsi Sopra la Prima Decade di Tito Livio (Diskursus Tentang
Sepuluh Buku Pertama Titus Livius) tertahun 1531.

Filsafat
Politik Machiavelli

Tentang relasi agama dan
negara. Menurut Maciavelli, agama harus tunduk berada di bawah negara. Ini jelas Dia katakan. Ini suatu hal yang kontras dengan iklim abad pertengahan. Di mana, di abad pertengahan negara diatur oleh agama. Agama yang berada dalam kendali
negara ini yang kemudian menjadi praktik dalam negara-negara modern. Hingga sekarang.

Agama bukan tidak penting.
Tapi justru punya fungsi untuk mempersatukan negara. Karena itu, negara harus memanfaatkan agama sebagai alat pemersatu. Tidak lebih.

Dalam hal ini, Velli tidak mempersoalkan eksistensi agama. Tapi, Dia hanya melihat agama sebatas fungsinya dalam politik. Karena itu, seorang penguasa atau juga politisi harus pandai memainkan agama.

Tentang moralitas dalam
politik. Menurutnya, penguasa harus bisa membentuk opini untuk mengatur warganya. Ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkokoh kekuasannya. Dalam upaya ini, kadang harus mengesampingkan pertimbangan moral.

Baca Juga  Hasan Hanafi: Tiga Agenda Besar Oksidentalisme

Moralitas hanyalah sebagai
alat untuk memperkokoh kekuasaan. Jika diperlukan, seorang penguasa harus bertindak sangat moralis. Begitu pula sebaliknya. Jika kondisi menuntut, penguasa harus sama sekali mengesampingkan moralitas.

Dalam berbagai perjanjian, seorang penguasa tidak perlu mutlak mematuhinya. Jika menguntungkan, maka patuhi. Jika lebih menguntungkan dengan tidak mematuhi, maka tidak perlu mematuhi.

Dalam perang juga demikian. Selain
harus bisa mengukur kekuatan, juga harus bisa memihak siapa yang paling
menguntungkan. Siapa yang akan menang. Mungkin, penghianatan-penghianatan tidak menjadi persoalan jika diperlukan.

Dalam mengelola kekuasaan,
penguasa harus menyingkirkan orang-orang yang berpotensi menjadi pesaingnya. Kemudian menempatkan orang-orang yang patuh padanya.

Tentang militer dan patriotisme. Menurutnya, militer adalah penopang kekuasaan yang baik. Dalam membangun kekuasaan, militer adalah bahan bangunan utama. Militer adalah fondasi kekuasaan. Dilihat dari fungsinya, militer bukan hanya untuk mempertahankan kekuasan
dari serangan luar, namun juga serangan dari dalam kekuasaan.

Dalam konteks militer, seorang penguasa harus mengerti betul-betul tentang strategi perang. Ilmu
perang harus menjadi konsumsi utamanya tiap pagi. Bukan sebagai menu sampingan. Karena ini satu-satunya kemampuan yang dibutuhkan bagi penguasa untuk
mempertahankan kekuasaannya. Kemampuan memimpin perang ini seklaigus yang membuat penguasa disegani.

Kekuatan militer juga memastikan kelanggengan negara atau kekuasaan tersebut. Banyak
kerajaan-kerajaan runtuh karena lemah militernya. Lebih konkritnya, nasib
kekuasaan ditentukan oleh kekuasan itu sendiri.

Militer sangat berkaitan dengan
patriotisme. Patriotisme adalah kedok yang sangat baik untuk membetulkan semua  tindakan penguasa. Karena itu, seorang penguasa juga harus pandai-pandai memainkan isu patriotisme.

Seorang penguasa boleh saja
menghabisi lawan politiknya atas nama patriotisme. Begitu pula menghabisi siapa saja yang tidak patuh dengan kedok patriotisme. Patriotisme pada praktinya cukup ampuh sebagai kedok untuk menipu rakyat. 

Baca Juga  Kompetensi Spiritualitas Manusia dalam Beragama

Singkat kata, Velli membenarkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Inilah ajaran dari seorang maha guru politik modern.

Refleksi atas Machiavelli: Menyelami Intrik Politik Lebih Dalam

Dengan membaca Il Principe lebih dalam, kita akan temukan argumentasi logis dari seorang Machiavelli. Dari situ pula tampak kejeniusan dan
kapasitasnya sebagai seorang ahli strategi politik.

Misalnya, dalam Il Principe
dia mengatan, “Raja hendaknya, jika mungkin, menghindari tindakan-tindakan tidak terpuji yang tidak berbahaya; tetapi kalau tidak mungkin, ia tidak perlu khawatir karenanya. Namun ia tidak boleh takut sedikit pun menghadapi tuduhan
melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dilakukan demi keselamatan negara.”

Dia menegaskan, “….beberapa
hal yang nampaknya baik, jika dilakukan, akan membawanya ke kehancuran, sedangkan beberapa hal yang nampaknya jahat akan mendatangkan keamanan dan
kemakmuran.”

Velli membedakan antara
fakta politik dan ide politik. Apa yang disampaikan Velli di atas adalah fakta
politik. Bukan ide. Dia selalu menganjurkan untuk melihat fakta politik. Karena jurang antara fakta politik dan ide poitik selalu jauh.

Lebih baik dicintai atau ditakuti? Pada level ide politik, jawabannya jelas sangat baik jika seorang penguasa dicintai. Tapi pada level realitas, upaya itu sangat susah.

Karena itu, menurut Velli, jika tidak bisa dicitai maka tidak mengapa ditakuti. Argumen ini juga berangkat dari pertimbangan logis yang jenius. Bukan pertimbangan gampangan. Sederhana. Jika seorang penguasa tidak bisa dicintai oleh rakyatnya, maka harus ditakuti.

Kekejaman atau welas asih?
Jika welas asih justru membahayakan kekuasaannya, maka kekejaman yang harus diutamakan. Ini juga bekerja pada level realitas. Bukan ide. Karena pada level ide, jelas welas asih yang harus ditunjukkan. Tapi itu cenderung susah.

Baca Juga  Filsafat Bahasa Biasa: Menulis itu Biasa Saja!

Berjuang dengan jalan hukum
atau dengan kekerasan? Dengan cara hukum adalah cara manusia. Kekerasan adalah cara binatang. Pada level ide, cara pertama yang harus dilakukan. Namun, cara  pertama sering kali tidak memadai. Maka cara kedua harus digunakan. Seorang  penguasa harus tau kapan cara manusia digunaan, dan kapan cara binatang digunakan.

Bagaimana mengatasi subversi?
Caranya dengan membuat kelompok subversif itu dibenci oleh rakyat. Entah dengan memainkan isu nasionalisme atau yang lainnya. Karena kelompok subversif akan berpikir ulang untuk melakukannya, jika itu membuat rakyat marah.

Rakyat adalah benteng terbaik.
Jika sebagian dari mereka dipersenjatai, bisa menjadi benteng paling ampuh
untuk menopang kekuasaan. Sebaliknya, melucuti senjata rakyat kana membuat mereka marah. Karena itu, hindari tindakan ini.

Dalam memimpin bawahan (para
menteri), pastikan mereka yang beruang untuk kepentingan raja. Bukan
kepentingan mereka sendiri. Cakap dan setia adalah kriteria menteri yang baik. Bukan penjilat. Tentang penjilat, harus disingkirkan dari kekuasaan. Para penjilat ini yang membuat kekuasaan tampak buruk di mata rakyatnya.   

Ingat, Velli selalu menganjurkan
untuk melihat politik pada level realitas, bukan pada level ide. Pada level realitas, penguasa cenderung dihadapkan dengan pilihan-pilihan sulit. Maka, pilihan yang harus diambil adalah pilihan yang menegaskan kekuasaan, bukan justru melemahkan. Apakah pilihan yang diambil itu sarat akan moral atau tidak. 

Di akhir ulasan ini, terlepas dari semua itu, Il Principe adalah manivestasi kejeniusan dari sorang filsuf politik. Tidak diragukan lagi. Namun, bagi saya, masih menjadi misteri. Apakah pikiran-pikiran Velli itu sebagai sebuah strategi yang dipersembahkan untuk dunia politik modern. Atau sebagai bentuk peringatan bagi iklim politik dunia modern, jika bukan sindirian.

Editor: Yahya FR

4 posts

About author
M. Khusnul Khuluq. Human Right Defender, Pegiat filsafat, Kader Muda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds