Perspektif

Model Keluarga Ideal Bukan Milik Negara

3 Mins read

Pada beberapa bulan terakhir ini perbincangan tentang ketahanan keluarga kembali menyeruak dengan hadirnya RUU Ketahanan Keluarga yang diusung oleh salah satu komisi di DPR RI. Cita mewujudkan keluarga yang tahan dan tangguh menghadapi berbagai tantangan tentu diamini oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Tetapi bagaimana ketahanan dan ketangguhan keluarga itu diwujudkan, merupakan hal lain, yang tidak semua orang memiliki pandangan yang sama.

Kehidupan perkawinan dan keluarga banyak mengandung misteri yang kadang sulit dimengerti, mungkin semisteri ‘jodoh’ itu sendiri yang sering tidak cocok dengan asumsi-asumsi kognitif kita. Namun semisterius apa pun, upaya untuk membuat keluarga kita tahan dan tangguh mesti tetap dilakukan, apalagi pada saat masyarakat Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang sangat berat. Misalnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan kepercayaan terhadap lembaga penegakan hukum.

Satu Model untuk Semuanya?

Setiap masyarakat budaya dan agama memiliki konsep khayali (imaginary) tentang keluarga yang ideal dengan nilai-nilai etis yang dipromosikannya. Pandangan Qur’ani tentang perkawinan adalah ia sebagai perjanjian/ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalidza), dimana relasi pasangan berdasarkan kebaikan yang penuh kebijaksanaan (ma’ruf), sehingga mereka mendapatkan ketenangan, ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).

Namun demikian, implementasi secara sosial empirik dari konsep khayali dan nilai etis perkawinan tersebut diatas tidak pernah tunggal. Bahkan model kehidupan perkawinan dan berkeluarga Rasulullah Muhammad SAW berbeda dari waktu ke waktu. Bagaimana dengan masyarakat kita yang telah sekian abad berjarak dengan Rasulullah? Pandangan etik Qur’an tidak berubah, tetapi interpretasi untuk implementasi praxis secara sosiologis tentu mengalami perubahan karena situasi dan kondisi setiap individu, serta konteks sosial dimana kita hidup juga tidak sama.

Baca Juga  Asap dan Kabut Pekat Ijon Politik

Tawaran satu model struktur keluarga dengan ayah sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai pengatur rumah tangga, dengan kewajiban dan hak masing-masing yang ditentukan secara terinci untuk mereka semua yang membangun keluarga seperti digagas dalam RUU Ketahanan Keluarga menurut hemat penulis kurang bijak.

Pada senyatanya, model-model pembagian peran pada masyarakat Muslim sangat beragam. Bahkan peran-peran yang dibakukan dan semula disepakati itu sangat mungkin berubah dalam perjalanan perkawinan karena perubahan situasi. Misalnya sang ayah karena satu dan lain hal tidak dapat bekerja untuk menafkahi keluarga; atau ibu karena alasan tertentu tidak dapat merampungkan pekerjaan rumah tangga.

Berkeluarga adalah Proses yang Dinamis

Upacara perkawinan adalah gerbang menuju jalan panjang kehidupan berkeluarga. Suami dan isteri, seperti manusia yang lain, selalu berubah dalam rangka memenuhi kepentingan, kebutuhan hidup mereka atau merespon situasi dan kondisi yang dihadapinya. Pasangan yang baru menikah, misalnya, yang semula masing-masing tidak pernah menabung, karena ingin dapat segera memiliki rumah, maka mereka akan melakukan pengaturan keuangan secara lebih ketat. Ketika anak-anak lahir dan penghasilan suami tidak mencukupi, sangat mungkin isteri langsung ikut berperan mencari penghasilan.

Pada perkawinan yang berlangsung lebih lama, perubahan dan proses adaptasi yang dihadapi tentu semakin beragam. Suami dan/atau isteri yang semula memulai karir sebagai resepsionis misalnya, karena ketekunan dan kecerdasannya setelah sekian tahun berhasil menjadi manajer. Lingkungan sosial dan tuntutan kerja mereka pun berubah, sehingga berimbas pada pasangan dan anak-anak. Anak-anak yang bertumbuh dari bayi menjadi remaja dan anak dewasa, juga berpengaruh pada pola relasi antar keluarga. Jadi, kehidupan perkawinan dan keluarga bukanlah sesuatu yang statis, mandeg; sebaliknya, adalah kehidupan yang selalu dinamis, a never-ending process.

Ekosistem untuk Keluarga Tangguh

Keluarga yang tangguh tidak dapat diwujudkan hanya melalui pendekatan legal formal. Hanya dengan penerbitan Undang-undang. Apalagi dengan mengacu hanya pada satu model struktur relasi keluarga. Masing-masing individu dalam keluarga selalu berproses, mengalami perubahan, paling tidak dari variabel usia, dari muda menjadi lebih tua. Banyak sekali variable pada individu dan keluarga yang berubahan sangat cepat dan dinamis, misalnya status kesehatan, penghasilan, rumah tinggal, pendidikan, penambahan atau pengurangan anggota keluarga, dan hubungan sexual.

Menurut hemat saya yang lebih mungkin dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran bahwa kehidupan keluarga adalah penting, dan selalu berproses. Masing-masing anggota keluarga memiliki rasa hormat atas perubahan tersebut. Peran, hak dan kewajiban antar anggota keluarga dapat disepakati bersama, dan kesepakatan tersebut bersifat tentative sehingga memungkinkan terjadi perubahan dan pergantian peran bila situasi menghendaki tanpa membuat anggota keluarga merasa terancam dan terabaikan.

Baca Juga  Membongkar Strategi hingga Mitos Politik di Indonesia

Ekosistem keluarga yang Qur’ani yang bercirikan mu’asyarah bil ma’ruf, sakinah, mawaddah dan rahmah diwujudkan dalam karakter, etika, dan pengalaman kebajikan relasi antar anggota keluarga, kesepakatan -kesepakatan peran, bukan dalam perwujudan satu model pembagian peran.

Negara tidak perlu ikut menentukan model pembagian peran keluarga dalam mewujudkan ekosistem Qur’ani tersebut. Biarkan hal itu dirumuskan dan disepakati oleh mereka yang terlibat, tetapi Negara perlu menciptakan infrastruktur untuk keadaban publik, sehingga beragam model pembagian peran keluarga yang berbeda-beda tetap mendapatkan respek dari seluruh warga negara.

Avatar
2 posts

About author
Dosen di UIN Sunan Kalijaga I LPPA Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds