Sebelumnya telah dijelaskan tentang wabah yang menghancurkan London jauh sebelum pandemi corona. Namun, cerita mengenai wabah mengerikan tidak hanya datang dari luar negeri. Di Indonesia sendiri sudah banyak catatan sejarah mengenai keberadaan wabah yang menelan banyak korban. Pada abad ke-19 di Jawa, beberapa epidemi penyakit lebih banyak yang menyebar dalam cakupan lokal dan regional serta sedikit supralokal. Penyakit-penyakit ini adalah kolera, malaria, dan cacar.
Epidemi penyakit yang utama pada masa ini adalah demam tifus. Sementara pada abad ke-20 beberapa penyakit tersebut menjadi penyakit yang kurang penting karena hanya terjadi per-kasus saja. Pada awal abad ini, justru beberapa penyakit baru muncul dan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat Jawa, yaitu epidemi influenza yang terjadi pada tahun 1918 dan epidemi pes yang mulai diketahui keberadaannya pada tahun 1911.
Wabah Awal Abad 20
Keberadaan penyakit-penyakit mematikan pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20, membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda cukup khawatir jika sampai menyerang orang-orang kulit putih. Trauma akan penyakit mematikan di Eropa abad pertengahan (black death) mendorong pemerintah Belanda memberi pelatihan kepada rakyat pribumi untuk menjadi tenaga kesehatan dan bertugas dilapangan.
Pembentukan sekolah dokter pribumi STOVIA pada 1902 adalah contoh kebijakan pemerintah Belanda agar rakyat pribumi sendirilah yang menangani penyakit-penyakit yang mewabah di masyarakat.
Peran sangat nyata para tenaga kesehatan pribumi yaitu saat terjadi wabah pes pada penghujung tahun 1910. Penyakit pes itu memakan banyak korban di Malang dan meluas hampir di seluruh wilayah di Pulau Jawa. Rakyat pribumi dilatih untuk menjadi tenaga kesehatan diantaranya menjadi mantri pes yang bertugas langsung di lapangan membantu dokter-dokter pribumi yang telah terjun lebih dulu.
Kebijakan lain dari pemerintah Belanda dalam menghadapi wabah pes di Jawa yaitu menyuruh penduduk desa yang terkena wabah meninggalkan rumah-rumah mereka dan dipondokkan di barak-barak sementara, dan kompleks penampungan. Tikus-tikus dibasmi. Menggiatkan pusat-pusat pelayanan kesehatan seperti karantina, perbaikan gizi, meningkatkan jumlah dokter, vaksinasi, dan manajemen rumah sakit. Rumah-rumah yang terbuat dari bambu dan menjadi sarang tikus dirubuhkan dan dibangun kembali dari bata.
Beragam upaya dilakukan oleh pemerintah Belanda dan birokrasi lokal membendung penyebaran wabah yang telah menelan sedikitnya 215.020 orang korban meninggal hingga tahun 1939. Namun tidak semua program pemerintah Belanda disenangi penduduk bumiputra.
Di antara protes disampaikan oleh dua anggota Insulinde cabang Solo, Haji Misbah dan Dr. Tjipto Mangukusumo. Protes yang disampaikan berkaitan dengan penanganan dalam memberantas pes yang dinilai memberatkan penduduk yang terkena wabah. Penduduk yang rumahnya dihancurkan dan dibangun kembali dengan biaya pinjaman pemerintah Belanda diwajibkan mengembalikan pinjamannya tersebut. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Wabah pes yang terjadi di Jawa selain membawa dampak mengerikan, juga memberi angin segar bagi perkembangan kesehatan bagi penduduk bumiputera. Tahun 1920-an program makanan bergizi diperkenalkan secara masif kepada masyarakat.
Makin banyaknya tenaga kesehatan yaitu mantri dan dokter dari kalangan bumiputera, di sisi lain juga menggeser posisi para dukun yang pada era sebelumnya menjadi tumpuan masyarakat dalam mengobati segala macam penyakit.
Heboh Corona 2020
Kisah ini masih terjadi dan berjalan hingga detik ini. Penulis tidak akan menceritakan kehebohan penyakit ini secara detail karena hampir semua orang di negeri ini sekarang menjadi pakar penyakit. Penulis hanya memberi pandangan lain dari wabah yang melanda era modern ini.
Saat ini bisa digambarkan sebagai masa sulit, titik rendah, krisis tepatnya. Namun kalau boleh mengutip salah satu ajaran agama yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Atau menggunakan istilah lain kalau alergi dengan yang berbau agama, misalnya berbau aseng (China), penulis menemukan istilah Weiji dalam filsafat China, yang berarti krisis (crisis). Jika dibuat terpisah maka akan mempunyai makna; Wei berarti bahaya dan Ji berarti peluang/kesempatan.
Jika Weiji tersusun atas dua komponen/morfem wei dan ji, maka Weiji di Indonesia-kan maknanya menjadi Krisis = bahaya + kesempatan. Artinya pada kondisi kritis maka ada potensial bahaya yang terjadi sekaligus peluang atau kesempatan untuk mendapatkan kebaikan.
Kebaikan apa yang dapat kita lihat dari ancaman kematian dan kepanikan akibat pandemi corona saat ini? Di China ketika wabah menyebar, mereka bersatu dan bahu-membahu untuk membendung penyebaran wabah dan terbukti berhasil. Selain itu efek ke lingkungan sangat nyata, polusi berkurang drastis. Hal yang sama terjadi di Italia, walau dianggap terlambat dalam menangani penyebaran virus corona, namun polusi menjadi jauh berkurang.
Bahaya dan Peluang Corona
Di Indonesia, yang terjadi adalah semua orang mencari kambing hitam untuk disalahkan, beberapa lagi menjadi pakar penyakit dadakan. Para elit politik saling cari panggung, orang-orang kaya berebut menimbun kebutuhan pokok tanpa melihat lagi orang-orang miskin yang hanya melongo melihat nasib tragis hidupnya di tengah wabah.
Sebagian lagi mencari keuntungan dengan menjual tinggi alat kesehatan, saling berebut otoritas menyebarkan “ketakutan” wabah. Juga saling menjelekkan tindakan kelompok lain yang “tidak taat aturan”, berita bohong dan misinformasi merajalela….(cukuplah menggambarkan ke-latah-an orang Indonesia dalam menghadapi krisis ini), gambaran orang Indonesia tersebut dalam menghadapi krisis memperlihatkan bahwa kekuatan besar bangsa yaitu gotong-royong yang tercermin dalam Pancasila telah sirna.
Tapi tak semua berisi keburukan dengan apa yang dilakukan oleh orang Indonesia dalam menghadapi krisis ini. Kebijakan kerja di rumah atau diam di rumah sangat menurunkan angka polusi di ibukota atau dengan kata lain alam memulihkan diri. Beberapa artis dan tokoh mulai bergerak menggalang dana merapatkan solidaritas kemanusiaan.
Para pekerja yang biasa berangkat gelap pulang gelap bisa mengintimkan hubungan keluarga. Menyadarkan kalau beberapa bidang pekerjaan dapat dilakukan di rumah tanpa harus ke kantor. Beberapa manusia menyadari kembali pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat untuk digiatkan kembali.
Selain kebaikan, ada peluang yang mesti kita pikirkan dan lakukan agar peristiwa serupa dapat diatasi dengan baik. Di antaranya perbaikan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan di negeri ini.
Mulai berfikir untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri tanpa terus bergantung pada impor. Menggiatkan pendidikan perilaku hidup sehat dan bersih di seluruh lapisan masyarakat. Memperbaiki koordinasi antar lembaga pemerintah. Perbaikan menyeluruh pagar pengaman ekonomi sosial masyarakat yang telah koyak akibat kesenjangan yang sangat lebar di Indonesia. Dan pada akhirnya, semua peluang dan kebaikan tersebut tidak dapat dicapai tanpa gotong royong seluruh elemen bangsa.
Setelah menceritakan kisah dari masa lalu, hingga masa kini, semoga dapat memetik hikmahnya, amin.
Editor: Nabhan