Pada jaman dahulu kala, jauh sebelum pandemi corona, tepatnya saat musim panas 1665 di London, Inggris, seketika berubah menjadi musim yang paling menakutkan dan mematikan. Puluhan ribu warga London mati mengenaskan dengan kulit menghitam dan melepuh.
Bencana berawal ketika 43 orang meninggal secara misterius di pinggiran London, tepatnya di dekat paroki St. Giles-in-the-Field pada Mei 1665. Jumlahnya meningkat sebanyak 6.137 di bulan Juni dan makin berlipat ganda sebulan berikutnya (17.036) hingga mencapai 31.159 di bulan Agustus. Wabah ini dikenal dengan sebutan Great Plague of London.
Kisah dari London 1665
Dalam 18 bulan sejak Mei itu, diperkirakan 100.000 dari total populasi 460.000 warga London tewas. Encyclopaedia Britannica menyebutkan, jumlah korban tertinggi datang dari daerah pinggiran kota yang padat nan kumuh seperti di Stepney, Shoreditch, Clerkenwell, Cripplegate, dan Westminster.
Kulit orang-orang yang tewas ini tampak melepuh dan menghitam. Mereka juga mengalami demam selama beberapa hari sebelum akhirnya tewas. Tiap malam, para kuli mengangkut mayat untuk dimakamkan di sebuah lubang besar yang sengaja digali. Kematian yang serba mendadak itu memunculkan desas-desus bahwa sebagian orang yang berduka dan sakit sengaja loncat ke lubang.
Raja Charles II dan kalangan istana melarikan diri ke Oxford. Sebagian besar dokter, pengacara, pedagang, dan kaum kaya pada umumnya berbondong-bondong meninggalkan Inggris. Penduduk miskin terpaksa bertahan sambil menyaksikan wabah mematikan itu menggerogoti orang-orang terdekat mereka.
Hanya dalam beberapa bulan, London berubah jadi kota yang nyaris mati. Aktivitas ekonomi lumpuh. Ribuan orang tiba-tiba menganggur karena lalu lintas perdagangan dengan kota-kota di luar London terputus.
Para penduduk menggunakan lintah untuk menyedot keluar darah kotor dari tubuh. Sebagian lagi memakai spons yang dibasahi dengan cuka, menaruh jimat, dan melakukan berbagai macam tindakan untuk bertahan dari penyakit. Hasilnya nihil.
Tersangka Wabah Pes
Warga London akhirnya mulai mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas kematian massal ini. Mereka mulai mengaitkan wabah mematikan tersebut dengan Perang Sipil Inggris (1642-1651) hingga melintasnya komet di langit London pada Desember 1664.
Sumber masalahnya ternyata ada di sekeliling mereka: fasilitas sanitasi yang jadi sarang tikus got untuk berkembang biak dan berkeliaran. Sialnya, tikus itu membawa kutu yang ditunggangi bakteri Pestis yersinia. Akibat gigitan kutu pada manusia inilah penyakit pes bubo atau sampar menjadi wabah mematikan.
Tapi sebelum mengkambing-hitamkan tikus sebagai sumber penyakit, kita menilik dahulu keadaan London saat itu. Buku The Plague and the Fire (1962) karya James Leaseor menjabarkan, London sekitar tahun 1660-an adalah kota padat penduduk dengan tingkat ketimpangan sosial yang tinggi.
Kala itu, di dekat sungai Thames masih berdiri tembok kota peninggalan Romawi. Beberapa wilayah di luar tembok kota sangat kumuh. Bau kotoran dan air kencing hewan tercium di mana-mana. Saluran air tempat membuang segala air kotor dibiarkan terbuka dan mengundang lalat. Rumah-rumah belum dilengkapi talang air sehingga air hujan mengalir deras ke jalanan, bercampur dengan kotoran hewan.
Singkatnya, sanitasi dan drainase sangat buruk di pinggiran London. Kepulan asap hitam pekat keluar dari cerobong pabrik dan rumah-rumah. Sebagian penduduk masih mengandalkan batu bara untuk memasak di dapur.
Akhir Wabah dan Hikmahnya
Wabah berhenti setelah terjadi kebakaran hebat pada 2 September 1666. Api dari toko roti milik Thomas Farriner di Pudding Lane menjalar ke seantero kota. Didukung angin kencang dari timur dan iklim London yang kala itu kering setelah musim panas yang panjang, api cepat merembet dari satu rumah ke rumah lainnya, khususnya di daerah padat.
Dalam lima hari, sepertiga London habis dilalap si jago merah. Kehidupan warga kembali hancur untuk kedua kalinya. Sekitar 100.000 orang kehilangan rumah dan terpaksa menggelandang. yang paling menderita adalah golongan miskin, sedangkan orang-orang kaya meninggalkan kota dengan harta bendanya.
Wabah pes 1665 di London merupakan wabah besar terakhir yang menyerang Inggris dan merupakan gelombang kedua dari wabah serupa yang pernah melanda seantero Eropa pada abad ke-14. Dikenal dengan peristiwa Maut Hitam (Black Death), antara 1347-1351, wabah pes menjadi salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia dengan korban 75 juta hingga 200 juta jiwa.
Hancurnya London akibat kebakaran besar dan berakhirnya wabah, mendorong pembangunan kembali kota dan dikuatkan oleh aturan Rebuilding of London Act 1666. Â Jalan-jalan diperlebar, trotoar dibuat, selokan terbuka dihapuskan, bangunan kayu dan jembatan gantung yang dilarang, dan desain serta konstruksi bangunan dikontrol. Penggunaan batu bata atau batu menjadi wajib, hasilnya banyak bangunan indah dibangun (salah satu bangunan yang bisa dilihat hingga saat ini adalah Gereja Ketedral Santo Paulus).
Selain itu, kebutuhan akan lingkungan yang bersih dan sehat menjadi wajib. Warga London memiliki rasa kebersamaan yang lebih besar setelah mereka mengatasi kesulitan besar pada tahun 1665 dan 1666. Di bidang keilmuan dan seni juga sangat berkembang pesat, Raja Charles II mendukung pembangunan Royal Observatory serta keberadaan Royal Society. Bahkan Isaac Newton menemukan hukum gravitasi saat ia pulang ke kampung halamannya akibat wabah yang melanda London. (Bersambung)
Editor: Nabhan