Perspektif

WNI Menikahi WNA: Apa Dampaknya?

3 Mins read

Dewasa ini, perkembangan zaman membuat pola pikir masyarakat semakin berkembang. Perkembangan zaman juga mempermudah masyarakat mendapatkan informasi baik dari luar maupun dalam negeri. Ketika kedua aspek ini bersatu dan berkembang, maka melahirkan masyarakat yang  modern.

Masyarakat modern mengalami transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan persepsi masyarakat terhadap perkwinan semakin maju. Beberapa faktor membuat pandangan masyarakat Indonesia terhadap perkawinan campuran menjadi lebih terbuka.

Menikahi Warga Negara Asing (WNA), atau yang biasanya di sebut “Bule”, sudah menjadi hal yang umum bagi masyarakat. Dengan keinginan memperbaiki keturunan ataupun alasan lainnya. Melalui proses perkenalan di dunia maya maupun proses lainnya, Warga Negara Indonesia (WNI) menikahi WNA menjadi sebuah tren di kalangan masyarakat.

Pernikahan campuran yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan, beberapa waktu ini menjadi ramai diperbincangkan. Perkawinan antar bangsa ini mulai meningkat dan menjadi tren. Bukan hanya di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia. Hal ini didukung dengan diaturnya ketentuan perkawinan campuran di Indonesia dalam Pasal 57 dan 160, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Indonesia sendiri terhadap status personal warga negaranya menganut asas nasionalitas yang sesuai dengan asas keperdataan internasional. Di mana, hukum nasional seseorang tetap berlaku dan mengikuti kemanapun orang itu pergi. Asas nasionalitas tersebut sesuai dengan syarat perkawinan campuran yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Yakni harus sesuai dengan hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.

Setiap orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat mengakibatkan seseorang kehilangan kewarganegaraannya atau mendapatkan kewarganegaraan dari suami/istrinya. Cara-caranya diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Apabila seorang WNA belum atau tidak memperoleh kewargaanegaraan Indonesia, ia dapat memperoleh izin tinggal tetap dengan dasar perkawinan campuran. Kemudian seorang WNI tidak akan bisa memiliki hak atas tanah untuk pemisahan harta  gono-gini, tanpa perjanjian perkawinan.

Baca Juga  Membuka Jalan Bagi Perempuan di Era Digitalisasi
***

Tidak berbeda dari perkawinan pada umumnya, dalam perkawinan campuran juga dilakukan pencatatan perkawinan. Pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat yang berwenang jika telah memenuhi syarat-syarat yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan.

Terkait dengan perkawinan campuran ini, selain berdampak pada pasangan suami istri, juga dirasakan atau memberikan pengaruh terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran. Dampak tersebut, yakni terkait kewarganegaraan anak.

Kewarganegaraan ini menentukan hukum perdata dan hukum publik yang berlaku bagi anak. Seorang anak hasil perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ganda, hingga anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin. Karena anak yang diangkat secara sah oleh WNA dalam undang-undang berdasarkan penetapan pengadilan, tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

Setelah berusia 18 tahun, ia harus menyatakan untuk memilih salah satu kewarganegaraannya dengan mengajukan pernyataan tertulis yang disampaikan kepada pejabat berwenang dan melampirkan dokumen sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan paling lambat tiga tahun setelahnya.

Perubahan kewarganegaraan anak sebagai akibat dari perkawinan atau putusnya perkawinan campuran, dapat dikaji berdasarkan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan pasal 25 UU No. 12 Tahun 2006 yang didasarkan pada kewarganegaraan orang tuanya yakni ayah dan ibunya yang perubahannya diatur dalam pasal 26 ayat 1 dan 2.

Dalam hal ini, menyatakan bahwa kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah/ibu dalam pernikahan campuran tidak dengan sendirinya berlaku bagi anaknya yang mempunyai hubungan hukum dengan ayah/ibunya hingga anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin.

Hal ini menyebabkan seorang anak berkewarganegaraan ganda hingga ia berumur 18 tahun dan memilih kewarganegaraan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas terkait pasal 6 Undang-Undang Kewarganegaraan.

Jika setelah berumur 18 tahun atau sudah kawin anak hasil perkawinan campuran tersebut memilih untuk menjadi Warga Negara Asing (WNA), maka hal tersebut harus dilaporkan atau disampaikan kepada pihak berwenang yaitu pejabat atau perwakilan Indonesia yang mewilayahi tempat tinggal anak tersebut.

Baca Juga  Ulama, Bukan Juru Bicara Tuhan
***

Apabila sebelumnya anak tersebut telah mendapatkan paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut oleh pejabat yang menerima pernyataannya untuk memilih kewarganegaraannya sebagai WNA. Kemudian pejabat menyampaikan hal tersebut kepada Direktorat Jendral Imigrasi. Petugas Dirjen Imigrasi akan memperbarui data yang ada pada sistem informasi keimigrasian anak tersebut.

Akibat perkawinan campuran terhadap hukum kekeluargaan yang berlaku menyangkut norma hukum dan penegakan. Apabila pasangan perkawinan campuran mempunyai masalah yang harus diselesaikan ke pengadilan, yang berwenang memeriksa perkara dalam hal sengketa adalah tergantung pada hukum cara perlangsungan perkawinan.

Kalau perkawinan dilangsungkan menurut hukum Islam, maka perkara perkawinan ditangani oleh Pengadilan Agama. Kalau perlangsungan perkawinan menurut agama selain Islam, maka perkaranya ditangani oleh Pengadilan Negeri.

Untuk memudahkannya, dalam praktik hal tersebut berkembang menjadi tergantung pada kantor tempat pelaksanaan perkawinan dan surat kutipan akta nikah yang ada.

Berdasarkan dampak-dampak perkawinan campuran yang dipaparkan di atas, tidak tampak banyak permasalahan yang cukup intens dan menyebabkan pada banyak masalah lainnya. Namun memang memberikan dampak hukum yang cukup signifikan bagi beberapa pihak yang terlibat di dalamnya.

Terkait dengan kewarganegaraan ganda merupakan terobosan yang positif bagi anak hasil perkawinan campuran. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi anak warga negaranya dan juga berkewajiban untuk menjamin pendidikan, dan hak-hak anak lainnya karena setiap anak berhak atas kewarganegaraan mereka.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *