Menyikapi adanya pemberitaan terkait Covid-19 (Virus Corona), menimbulkan respon yang beragam. Sebagai orang yang beriman dan beragama Islam, mengharuskan adanya keterpaduaan antara iman dan akal. Iman mewujud dalam tawakal, sedangkan akal mewujud dalam ikhtiar (usaha).
Diantara bentuk keterpaduan itulah kemudian Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa No. 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 yang ditetapkan di Jakarta, 21 Rajab 1441 H/ 16 Maret 2020 M ditandatangani oleh Komisi Fatwa MUI. Dimana di dalam fatwa tersebut terdiri dari beberapa bagian, yakni bagian Ketentuan Hukum, bagian Rekomendasi, dan bagian Ketentuan Penutup.
Dalam tulisan ini, penulis terfokus pada Ketentuan Hukum pada fatwa tersebut poin ke-8 yang dinyatakan:
8. Umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (doa daf’u al-bala’), khususnya dari wabah COVID-19.
Poin di atas berkenaan dengan anjuran secara umum terhadap umat Islam untuk meningkatkan kualitas beribadah kepada Allah Swt disaat menghadapi ujian Pandemi Covid-19, dan bukan malah melakukan tindakan sebaliknya. Anjuran tersebut bersifat kolektif dan selektif, yang dalam praktiknya nanti pun akan dijumpai keberagaman. Apalagi berbicara mengenai Islam Indonesia yang memiliki corak beragam. Tentu semuanya harus dalam bingkai beribadah dan taqorrub ilallah.
Bagaimana Kesunnahan Qunut Nazilah ?
Dalam buku, “Shalat Sesuai Tuntunan Nabi Saw. (Mengupas kontroversi hadis sekitar shalat)” edisi ke-2 karya Ust. Syakir Jamaludidin, M.A. mengategorikan qunut dalam perkara sunnah yang diperselisihkan oleh para ulama. Perselisihan tersebut selain disebabkan oleh sumber hadis yang beragam, termasuk kualitasnya yang bermacam-macam, pun pengertian qunut sendiri yang memiliki banyak makna.
Qunut secara bahasa diartikan sebagai taat, berdiri lama, shalat, berdoa, tenang/diam, dan khusyu’. Sedangkan secara istilah qunut dipahami sebagai berdiri lama dalam shalat untuk membaca ayat atau berdoa dengan tenang dan khusyu’, baik sebelum ruku’ maupun setelah ruku’ terakhir. [Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, Juz 2, hlm. 73]
Beberapa hadis shahih dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik ra. Menjelaskan bahwa Rasulullah Saw qunut setelah ruku’ terakhir kemudian berdoa untuk keselamatn sahabat-sahabatnya yang syahid dalam perang melawan kaum musyrik Qurasy, padahal telah ada perjanjian damai. [HR. Bukhari, Juz 1, hlm. 227, no: 771] Dalam riwayat lain beliau melakukan setiap shalat fardhu, namun ada yang menyebut shalat shubuh saja, atau shalat shubuh dan maghrib saja. [HR. Muslim, Juz 2, hlm. 137, no: 1587] Adapula yang menyebut pada saat shalat witir sepuluh hari terakhir Ramadhan, sekalipun hadisnya dhaif. [HR. Abu Dawud, Juz 1, hlm. 538, no: 1430, lihat komentar kualitasnya]
Dalam klarifikasi sahabat Anas bin Malik ra. kepada ‘Ashim al-Ahwal mengenai qunutnya Rasulullah Saw pun dijumpai keterangan bahwa qunut nabi dilakukan sebelum ruku’, dan nabi pernah satu bulan melakukan qunut setelah ruku’ untuk mendoakan sahabat yang wafat. [Muttafaqun ‘alaih, Bukhari, Juz 1, hlm. 340, no: 957; Muslim, Juz 1, hlm. 468, no: 677] Sementara hadis yang bersumber dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa Abu Hurairah menyampaikan dulu nabi qunut setelah ruku’ terakhir hanya sebentar, yakni selama 1 bulan atau dalam riwayat lain disebutkan 40 hari. Tetapi Allah Swt telah menurunkan QS. Ali ‘Imran ayat 128:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذَّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ﴿١٢٨﴾
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu (Muhammad) dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.”
Setelah turun ayat diatas maka beliau pun meninggalkan qunut setelah ruku’, meskipun sesungguhnya tetap terjadi pendzaliman terhadap kaum muslimin. Untuk perbuatan dan ujian yang secara terang benderang adalah musibah atau kedzaliman, maka Allah Swt itu adalah Sang Maha Adil, tanpa perlu diminta sekalipun Allah Swt akan memberikan ganjaran yang seadil-adilnya. Dan masih banyak riwayat lain mengenai qunut dengan berbagai jalur periwayatan maupun kualitas hadisnya.
Sikap yang Perlu Diketengahkan
Dalam uraian nash terbatas diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, Pertama amaliah qunut setelah ruku’ terakhir memang pernah dilakukan nabi selama 1 bulan berisi doa keselamatan bagi sahabat dan laknat bagi orang kafir, namun telah dihapus hukum pelaksanaannya melalui QS. Ali ‘Imran ayat 128. Sehingga Nabi Saw dan para sahabat meninggalkannya sampai beliau wafat.
Kedua, qunut dalam artian berdiri lama dalam shalat, tenang, dan khusyu’ tetap disyariatkan sebagaimana disebutkan bahwa amaliah tersebut adalah sesuatu yang dicintai nabi dan sebaik-baiknya shalat.
Ketiga, qunut secara terus menerus tanpa adanya sebab tertentu, meski dilaksanakan pada saat shalat Shubuh, Maghrib, atau Witir saja, sama sekali tidak didasarkan pada dalil nash yang kuat dan kredibel. Akan tetapi qunut dengan sebab tertentu (re: qunut nazilah ) seperti adanya pendzaliman yang menimpa umat Islam, atau saat ini sedang ada wabah Covid-19, atau yang semisal dengan keduanya, masih dapat dipahami sebagai amaliah yang dapat dilakukan berdasarkan dalil yang shahih. Dengan konsekuensi menafikan hadis yang menyebutkan Nabi Saw meninggalkan qunut setelah turun QS. Ali ‘Imran ayat 128. Wallahu a’lam bishshowab
Perhatian !
Dari sekian banyak hadis tentang qunut setelah ruku’, secara terang dapat kita jumpai bahwa tidak ada hadis Nabi Saw yang secara tegas memerintahkan ataupun melarang untuk melakukan qunut, sehingga hukum qunut tidaklah wajib dalam shalat, pun tidak berpengaruh sama sekali dengan keabsahan shalat seseorang. Nabi Saw hanya pernah melakukannya, namun tidak memerintahkannya lalu kemudian beliau meninggalkannya akan tetapi tidak kemudian melarangnya. Itulah sebab tidak ada satu imam madzhab pun yang mewajibkannya.
Sekalipun Imam Syafi’i dan Imam Malik melakukan qunut Shubuh, sedangkan Imam Ahmad melakukannya disaat terjadi musibah di kalangan umat Islam. Yang harus diutamakan dan WAJIB hukumnya dilakukan adalah menjaga Ukhuwah Islamiyah saling bahu membahu gotong royong meningkatan kualitas ibadah serta memaksimalkan ikhtiar untuk menjaga kesehatan diri dari Covid-19. Yang paling aman dan maslahat adalah menjadi makmum yang taat terhadap imamnya, serta imam yang dicintai makmumnya.
Wallahul musta’an
Salam corona ! ???
Omah Ledok: Jum’at, 25 Rajab 1441 H/ 20 Maret 2020 M