HOTS dan Masalah Kuliah Online di Kampus
Beberapa hari ini dalam masa self quarantine, #dikosaja, saya melakukan mini research seputar masalah Covid-19 dan pendidikan di Malang. Responden penelitian ini merupakan mahasiswa dekat kos dan beberapa adik tingkat di kampus yang saya kontak via daring. Kepada mereka saya bertanya, bagaimana pelaksanaan perkuliahan di kampus di tengah wabah corona ini?, dan beberapa pertanyaan lanjutan.
Dari pertanyaan itu, saya mendapat beragam jawaban. Namun dari sekian informasi yang meraka sampaikan, ada satu kesamaan masalah yang saya kira menjadi momok di dunia pendidikan tinggi kita hari ini. Sebagian besar mahasiswa mengeluh terkait kelas online yang sebetulnya hanyalah tugas online, tidak lebih. Dari lima belas total responden, dua belas di antaranya mengonfirmasi hal yang sama.
Rafli Tamauni misalnya, mahasiswa strata satu jurusan Hubungan Internasional di salah satu kampus swasta menyebut “sekarang hampir setiap hari ada tugas yang diberikan oleh dosen via medsos. Waktu pengerjaannya pun mepet, rata-rata hanya berjarak satu hari. Kami kebingungan mau menyelesaikan mana tinggal mana, baru penjelasan detail terkait materi dan tugas kuliah kurang diberikan oleh dosen”.
***
Dari sampel kasus ini saya memiliki beberapa analisa di antaranya; pertama, rata-rata perguruan tinggi di Malang gagal dalam menerapkan kebijakan kelas online. Sebab, tidak ada prosedur atau semacam panduan yang jelas mengenai pelaksanaan kelas online tersebut. Kedua, para dosen tidak memiliki kecakapan yang mumpuni untuk mendayagunakan perangkat teknologi untuk menyampaikan materi perkuliahan kepada mahasiswa.
Akibatnya, alih-alih mengunakan ragam aplikasi digital seperti; Zoom, Google Hangout, Google Classroom, Edmodo, dan masih banyak lagi yang canggih-canggih itu untuk menunjang keberhasilan kelas online. Namun yang terjadi hanyalah Tugas Online via WhatsApp Group (WAG) yang kaku, terbatas, dan minum fitur dan penjelasan. Walaupun WAG sudah lumayan canggih sebetulnya, tapi lagi-lagi para dosen masih gaptek dan malas tahu. Beberapa implikasi buruk lainnya pasti terjadi, mahasiswalah korban dari semua kekacauan ini.
Di Malang, seluruh kampus meniadakan kelas reguler tatap muka di tengah wabah Covid-19 semua diganti dengan kelas online hingga masa darurat selesai. Ini langkah yang tepat untuk menekan laju penyebaran yang membahayakan tersebut. Di samping itu, ini merupakan momentum untuk menguji kualitas penyelenggaran pendidikan kita apakah dapat beradaptasi dengan perubahan zaman atau sebaliknya.
Urgensi HOTS
Higher-order Thinking Skills (HOTS) sudah cukup dikenal di dunia pendidikan Indonesia. Sebab, walaupun sudah menjadi ide lama, namun masih relevan dengan hari ini dan dikembangkan. Perancangan kurikulum 2013 dan beberapa perubahan kurikulum nasional berikutnya, konsep Benjamin S. Bloom, dkk tersebut yang dirancang sejak tahun 1956 dalam buku Taxonomy of Educational Objectives itu kerap digunakan. HOTS yang terdiri dari menganalisa, mengevalusi dan mencipta mememiliki tahapan awal yang dikenal dengan Lower-order Thinking Skills (LOTS). LOTS, sebagaimana merujuk pada Bloom, dkk, memiliki tiga tahapan kognisi yaitu menghafal, memahami, dan mengaplikasikan.
Pada versi terbaru, Anderson dan Krathwohl mengembangakan teori Bloom, dkk tersebut dalam Bloom’s Digital Taxonomy Verb. Dalam edisi revisi itu Anderson dan Krathwohl menjelaskan tentang penggunaan teknologi dan perangkat digital untuk memfasilitasi proses pembelajaran mulai dari menghafal hingga yang terakhir dapat mencipta/mengkaryakan sesuatu yang baru. Dengan berbagai istilah digital yang ada, Anderson menjembatani bagaimana proses blajar sampai pada tingkatan HOTS dalam secara maksimal dimengerti oleh generasi digital.
Konsep ini, saya kira walaupun agak berjauhan dengan masalah Covid-19, dapat dikontekskan dalam hal bagaimana dosen berpikir, mendesain metode sebagai upaya mentransformasi pengetahuan kepada mahasiswa. Jangan sampai, perguruan tinggi dan dosen terjerembab dalam pola pikir rendahan atau LOTS. Sebaliknya mereka harus ada dalam frekuensi berpikir tingkat tinggi atau HOTS.
Bagaimana mungkin, mahasiswa diharapkan sampai pada kompetensi HOTS sementara perguruan tinggi dan para dosen masih ada dalam kompetensi LOTS. Seharusnya, penyelenggara pendidikan terlebih dahulu Menganalisa, mengevaluasi dan menciptakan sistem perkuliahan yang jelas, sesuai dengan konteks kekinian. Apabila konteks sekarang rata-rata mahasiswa adalah generasi milenial dan dunia sedang digoncang wabah Covid-19, maka perguruan tinggi dan dosen harus bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut.
***
Sebaliknya tidak sekedar menghafal, menjelaskan kejadian, memahami seadanya, dan menerapkan metode yang sama sekali tidak akrab dengan mahasiswa milenial. Para dosen seharusnya tidak sekedar memberi tugas via medsos yang bejibun tidak karuan. Mahasiswa harus diberi akses seluas-luasnya untuk mendapatkan penjelasan serta resource lain dalam kuliah online tersebut.
Semoga pendidikan di Indonesia, khususnya pada perguruan tinggi sampai pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Juga, saya kira semua berharap bahwa, masalah di Malang seperti yang diuraikan di atas tidak terjadi di daerah-daerah lain. Sebab kita perlu kuatir, bagaimana dengan dengan penyelengggaran pendidikan di daerah pelosok misalnya, bagaimana mereka dapat survive di tengah wabah penyakit yang melumpuhkan segala sektor ini?. Tentu penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menjawab semua pertanyaan berat itu. Wassalam.