Perspektif

Corona, Pangan, dan Lockdown Indonesia

3 Mins read

Pembahasan Corona tentunya bukan hal asing, entah telah berapa ribu artikel dan pemberitaan membahas tentangnya. Media massa, hingga media sosial cukup ramai dibuatnya. Kasus ini menjadi kasus dunia, di mana virus ini telah menyerang lebih dari 100 negara di dunia.

Per tanggal 22 Maret 2020 di Indonesia terdapat 514 kasus pasien positif covid-19 dan 48 kasus meninggal dunia. Hingga-hingga berbagai desakan menuntut untuk segera lockdown Indonesia demi memperlambat penyebaran infeksi virus tersebut.

Kepercayaan publik luntur, pemerintah dianggap lalai dan terlalu santai dalam pencegahan dan penanganan. Berbagai produk kebijakan dianggap tak menjawab persoalan. Bahkan di antara kepanikan dunia dan kota-kota Indonesia, desa menjadi entitas yang seakan kelas dua. Corona, pangan, dan lockdown Indonesia, apakah tepat?

Hal pertama yang menjadi sorotan penulis adalah respon masyarakat atas ‘bencana’ yang melanda ini. Informasi yang rasanya begitu masif disebarkan ternyata tidak sepenuhnya sampai pada tiap lapisan masyarakat kita. Bahkan kesadaran akan kondisi hanya menjadi kemewahan sebagain lapisan sosial saja.

Suasana desa begitu tenang dan aktivitas tak banyak berubah, selain sekolah-sekolah diliburkan. Diliburkan karena Corona katanya. Cukup di sana, dan tidak sampai pada pertanyaan selanjutnya, seperti apa bahaya Corona sampai-sampai sekolah diliburkan? Televisi menyala dari pagi hingga malam, berita pagi, siang, dan malam didengarkan. Tapi lagi-lagi, tempat kejadian begitu jauh di sana, di sini baik-baik saja.

Membangun kesadaran publik memang bukanlah kerja mudah, terlebih dengan berbagai latar belakang beda kota dan desa. Tugas influencer dalam sosialisasi perihal virus corona menjadi hal yang kurang bahkan tidak efektif. Akan lebih mungkin ketika semua perangkat pemerintahan yang digerakkan, khususnya untuk desa, peran tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi sangat penting.

Baca Juga  Desentralisasi Islam, dari Timur Tengah Menuju Indonesia

Kondisi sosial-ekonomi menjadi poin kritis lainnya, di mana pemenuhan kebutuhan sehari-hari hanya bisa didapatkan harian. Mata pencaharian dan ‘isi perut’ menjadi hal utama, baru setelahnya himbauan pemerintah. Toh, tidak ada jaminan pemerintah akan menanggung kebutuhan dasar kan? Sehingga jelas bahwa dalam kondisi kritis seperti ini, yang paling rentan adalah desa.

Edukasi dan penyadaran menjadi tugas bersama, tetapi dalam kehidupan bernegara, keamanan dan keselamatan seluruh rakyat adalah amanat konstitusi. “Slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya, pulaunya, lautnya semuanya. Majulah negrinya, majulah pandunya, untuk Indonesia Raya”. Bagaimana kemudian strategi kebijakan yang ditetapkan menyampaikan informasi dan pemaknaan atas kondisi kepada setiap warga negara, kota hingga desa menjadi tugas pemerintah.

Lockdown Indonesia menjadi jawaban sederhana demi kesehatan dan stabilitas ekonomi kita. Namun begitu, jika ditinjau lebih lanjut, siapkah kita benar-benar lockdown Indonesia? Mengingat entitas paling rentan adalah desa, dengan predikat sebagai kantong-kantong kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang sekadar untuk tahan saja, Indonesia masih ketergantungan pada impor.

Jika dilihat dari indeks ketahanan pangan yang disusun berdasarkan aspek keterjangkauan, ketersediaan, dan pemanfaatan pangan, Indonesia memiliki 81 kabupaten dengan skor IKP terendah. Kemudian, indeks kemiskinan beberapa daerah terdampak Corona pun tinggi, misalnya di Jakarta 3.57% dan di Jawa Barat 7.45%.

Selain itu, dikutip dari Badan Pusat Statistik, per September 2019, indeks gini Indonesia menyentuh 0.38. Asumsi sederhana penulis adalah bahwa ketika kebijakan lockdown ditetapkan tanpa kontrol ketat dan jaminan pemerintah, setidaknya sebanyak 62% penduduk Indonesia akan kesusahan akses pangan dan rentan kelaparan. Dalam kondisi kritis seperti ini, jurang kaya-miskin akan semakin tampak.

Harga pangan menjadi faktor utama untuk menjamin stabilitas politik Indonesia. Analisis ekonomi sederhana, ketika permintaan naik dan penawaran tetap atau bahkan turun akibat lockdown yang tidak memungkinkan impor, maka harga komoditi pangan akan melonjak naik, barang pun menjadi langka. Belum lagi perkiraan puncak wabah virus corona di Indonesia adalah pada bulan April-Mei, bertepatan dengan bulan Ramadhan di mana tren harga bahan pangan melejit tinggi. 

Baca Juga  Now You Can Have Your GAME Done Safely

Lagi-lagi, siapakah yang dapat mengaksesnya? Oleh karena itu, stok pangan untuk semua warga negara harus disiapkan dengan maksimal. Berbagai regulasi dengan ragam pendekatan harus diciptakan untuk mencegah ‘bencana’ turunan seperti kerusuhan dan penjarahan.

Dalam aspek pemenuhan pangan, setidaknya terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Utamanya adalah data pangan yang valid dan sesuai dengan fakta lapangan, keselarasan data antar lembaga menjadi kunci regulasi dasar dalam rangka memastikan ketersediaan pangan nasional. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan penyerapan hasil tani lokal sebelum mengeluarkan keputusan impor bahan pangan.

Masalah suplai dan distribusi komoditi juga harus jelas mekanismenya. Terakhir, harus ada jaminan harga yang stabil dan regulasi yang mengatur batas pembelian pangan. Jaminan stabilitas harga ini berkaitan dengan penetapan harga terendah untuk melindungi petani atau produsen dan penetapan harga tertinggi untuk melindungi konsumen.

Jangan sampai penduduk Indonesia saling ‘mematikan’. Penanganan kondisi kritis ini harus dilakukan dengan pendekatan kritis melalui  analisis kelas. Sebab kita tidak dapat mengabaikan fakta-fakta sosial-ekonomi masyarakat kita yang timpang.

Lockdown Indonesia sama artinya dengan menapaki jalan berdikari. Kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi akan memicu kericuhan hingga kehancuran negara. Jadi, siapkah lockdown Indonesia?

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Sekretaris Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Institut Pertanian Bogor 2020.
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *