Perspektif

Covid-19 Adalah Cermin Kita

4 Mins read

Covid-19 adalah pandemic, yakni wabah, pagebluk, virus yang menyebar ke seluruh dunia. Hal ini yang dipahami manusia terhadap realitas yang menurutnya datang dari luar dirinya. Dari beberapa momen sejarah, wabah terjadi. Misalnya momen Black Death, virus flu Spanyol yang menjadi pandemik saat itu, cacar, ebola, dan seterusnya. Virus-virus ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Sampai kapan pun, manusia akan bertemu dengan virus. Bagi manusia, virus adalah ancaman bagi ras/spesies manusia.

Covid-19: “Good and Evil”

Kisah “manusia” dan “virus” adalah kisah “good and evil” yang harus dilampaui manusia itu sendiri. “Mengapa?” Pemahaman totalistik tentang apa itu “good” dan apa itu “evil” membahayakan hubungan antar manusia. Pemahaman hitam-putih seperti ini membuat hati manusia menjadi rusak dan gelap dari cahaya “Kebenaran” (sejati).

Saya tidak membaca karya Nietzsche “Good and Evil”. Saya tidak tahu apakah cerita ini akan sama persis dengan apa yang ditulis dalam aforisme-aforisme-nya Nietzsche atau tidak, hal itu bukan urusan saya.

Menurut saya “Good and Evil” sejak lahir keduanya sudah ada dan saling menghadirkan satu dengan yang lain. Karena keber-ada-anya selalu bersamaan dan saling melegitimasi/membenarkan/menguatkan. Maka good bukanlah good di dalam dirinya sendiri dan good secara esensial belum tentu “good”.

“Good” bisa jadi evil itu sendiri. Demikin pula sebaliknya. “Evil” bisa jadi good dan seterusnya. Keduanya adalah relasi yang kompleks. Artinya kita tidak serta merta totalistik mendukung salah satunya atau membuang salah satunya.

Metode Reflektif: Melampaui “Good and Evil”

Allah bertanya secara retorik dengan maksud mengajarkan manusia untuk berpikir reflektif: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad: 22).

Allah memberi “tanda” (ayat) kepada umat manusia untuk reflektif. Allah memberi tanda kepada kita jika seorang manusia berkuasa, apakah akan merusak dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Merusak dan memutuskan hubungan kekeluargaan mempunyai sifat “evil” sedangkan “manusia berkuasa” bisa jadi “good” atau “evil”. Pertanyaan reflektif ini (harusnya) membuat manusia berpikir (jika mau berpikir).

Baca Juga  Perempuan dalam Dialog Antaragama dan Perdamaian

Beragama dengan ‘benar’ adalah suatu proses pencarian “Kebenaran” sampai ajal menjemput. Jadi orang beragama atau menjadi alim bukanlah menjadi seorang moralis. Allah lebih banyak mengajak kita untuk reflektif sehingga manusia tidaklah secara esensial baik atau menjadi baik, tetapi terus menerus mempertanyakan dirinya yang bisa jadi “evil”, selalu menghitung “evil” nya agar menjadi lebih baik (“better”) – “to feel good”; bisa merasa baik (“good”) padahal semua perlakuannya jahat (“evil”) .

Namun biasanya, normalnya, pada umumnya, beragama itu moralis, telah menjadi alim dan baik, bukan? Beragama bukan menjadi baik (“good”) dan membuang, membinasakan, meniadakan yang “evil” tetapi harus melampauinya atau mengatasinya atau men-dialektika-kannya dalam perjalanan menuju “Kebenaran”.

Di sini Allah memberikan metode reflektif seperti yang difirmankan di QS Muhammad: 22. Allah tidak ingin kita membuang “evil” dan menjadi “good” apalagi sebaliknya. Namun Allah mengajari kita berpikir reflektif dalam menjalani kehidupan. Sebab dari semua yang baik, belum tentu baik dan sebaliknya.

Covid-19 bisa saja “good” dan bisa saja “evil” karena manusia mempunyai metode reflektif. Bagi saya yang tidak percaya pada teori konspirasi, pertanyaan tentang apakah Covid-19 itu senjata biologis yang sengaja dibuat Amerika atau China tidaklah penting. Yang penting adalah bagaimana manusia melewati fase Covid-19 dengan terus mencari kebaikan bagi ras manusia dan saudaranya (alam).

***

Bagi pribadi-pribadi kita, kita tahulah kita sebagai manusia merasa takut, sedih, dan marah jika orang-orang terdekat kita juga akan terinfeksi dan sudah terinfeksi, bahkan meninggal karena Covid-19. Hal itu sudah pasti. Hal itu sangat manusiawi. Hal itu adalah tragedi manusia. Hal semacam ini sudah inheren dalam diri manusia.

Baca Juga  Pembela Sunnah, Pembela Kedokteran

Namun manusia juga tidak bisa sepenuhnya melihat Covid-19 sebagai sesuatu yang hanya “evil” saja, tapi selalu bisa dimaknai sebagai “good”.“Good” untuk lingkungan yang dapat disegarkan kembali. “Good” untuk kita tetap dapat merasa harus lebih baik lagi dari sebelumnya dalam memperlakukan alam.

Kita juga bisa observasi sejauh mana pabrik, tambang, dan kerakusan para pemodal di dunia merusak lingkungan dan bumi ini tanpa memikirkan keberlanjutannya. “Good” karena kita juga berpikir bahwa selama ini, jika sakit saja kita baru ingat bahwa sehat begitu penting.  Sehingga bersyukur diberi kesehatan kepada Allah menjadi penting sekali dan seterusnya. Semua hal itu terjadi karena keberadaan Covid-19 yang diklaim “evil” ternyata ada baiknya (good).

Selain itu, keberadaan Covid-19 tidak terlepas dari diri manusia. Covid-19 bisa jadi dimaknai “evil” ketika manusia berpikir “evil”. Pikiran itu muncul sebagai refleksi dirinya. Covid-19 bisa jadi “good” ketika manusia berpikir positif (good”) dari dalam dirinya juga. Di sini, Covid-19 adalah cermin manusia. Oleh sebab itu manusia selalu harus reflektif antara good and evil sebagai metode melampui keduanya.

Manusia menciptakan definisi “evil” pada Covid-19 karena Covid-19 melukai dirinya, karena Covid-19 mengancam dirinya, karena Covid-19 menyakitinya, menghancurkan hidupnya, dan karena Covid-19 dirinya menjadi ‘merasa’ “good” dan sebagainya. Di sini lagi-lagi manusia memusatkan dirinya sebagai yang baik (good) atau ingin merasa baik (good) dengan menyalahkan, mengasingkan, memisahkan dirinya dari Covid-19 yang buruk/jahat (evil).

***

Selain itu, dengan mendefinisikan Covid-19, subjek manusia secara tidak langsung mendefinisikan dirinya sebagai “evil”. Apakah penaklukkan Covid-19 yang melemahkan diri manusia dengan cara mendefinisikan Covid-19 sebagai sebuah kejahatan (“evil”) membuatnya diri manusia baik? Apakah mendefinisikan Covid-19 secara sepihak sebagai sesuatu yang “evil” adalah tindakan yang baik (good)?

Baca Juga  Mata Pelajaran Agama dan PPKn Hendak Digabung?

Jadi apakah Covid-19 itu “good” or “evil” tergantung pada diri manusia memaknai Covid-19. Covid-19 adalah cermin dari diri kita sendiri pada akhirnya. Keberadaan Covid-19 diharapkan akan segera berlalu. Setelah itu manusia secara umum sebaiknya reflektif. Sejauh mana manusia menggunakan kuasanya dalam memperlakukan alam? Mensyukuri kesehatannya?

Refleksi atas Covid-19 memberikan manusia menjadi pribadi (individu) yang mencari Kebenaran (“sejati”). Kebenaran (“sejati”) adalah sesuatu proses pencarian diri manusia tanpa akhir. Di mana dirinya tidak merasa sudah berbuat banyak tentang kebaikan (good). Tapi merasa ada keburukan (evil) di dalam dirinya yang hal itu membuatnya terus memperbanyak ingat kepada Allah (dzikir). Untuk secara berkelanjutan meminta maaf kepada Allah dan bersyukur kepada Allah atas kesehatan kita, keselamatan kita, serta kasih sayangNya kepada kita.

Editor: Yahya FR
5 posts

About author
Dosen Universitas Pembangunan Nasional "Veteran"Jakarta dan Co Founder JIB POST
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds