Perspektif

Jonathan Benthall: Film Dokumenter Muhammadiyah untuk Audiens dari Barat

2 Mins read

Untuk kesekian kalinya,  saya bertemu dan berdialog dengan Jonathan Benthall, antropolog senior yang karya-karyanya di bidang studi Filantropi Islam sangat dikenal di dunia. Ia adalah peneliti senior di University College London (UCL). Saya banyak mendapatkan inspirasi dan pembelajaran dari tulisan-tulisannya tentang Islamic Charities. Bagi mereka yang berada dalam  ‘lapak studi’  Filantropi Islam, hampir tidak mungkin menulis artikel tanpa mengutip karya Benthall ini.

Saya anggap Jonathan Benthall adalah guru saya secara tidak langsung. Dulu, sebelum bertemu pakar Filantropi Islam ini,  saya pernah kirim artikel untuk mendapat masukan dan komentar darinya. Ternyata, komentarnya “sama” dengan komentar guru saya, Martin van Bruinessen. Padahal, artikel dikirim secara terpisah. Kesimpulan saya: keduanya punya pisau analisis yang sama.

Pada tahun 2011, setelah selesai menulis disertasi, saya berdiskusi dengan Martin van Bruinessen, tentang siapa yang akan menjadi penguji dan pembaca kelayakan disertasi saya.  Pak Martin van Bruinessen menyebut dan mengusulkan salah satunya nama Jonathan Benthall. Saya langsung bilang kepada Pak Martin, “Saya tidak pede naskah saya dibaca Benthall.” Tapi, Pak Martin bilang, “Bukankah akan lebih kuat dan legitimate doktormu bila naskahmu dibaca orang yang dikenal sangat ahli di bidangnya?” Akhirnya, Jonathan Benthall yang tinggal di London ini menjadi pembaca dan penguji disertasi saya.  Namun sayang sekali,  ketika oral defense pada tahun 2012, Jonathan Benthall berhalangan hadir. Sekalipun demikian, dia memberikan penilaian secara tertulis.

Saya sudah pernah bertemu lima kali dengan Benthall.  Pertemuan pertama di Leiden University dalam sebuah konferensi tentang Humaniter (saat itu saya sebagai mahasiswa Ph.D., tentunya hanya menjadi pendengar saja, hehe). Pertemua kedua di Malang dalam acara konferensi tentang Seabad Muhammadiyah. Pertemuan ketiga di Istanbul, juga dalam sebuah konferensi.  Pertemuan keempat di London, sewaktu saya berkunjung ke kantor Jonathan Benthall di UCL. Perlu dicatat, selama empat kali pertemuan, tidak pernah sekalipun saya minta berfoto bersamanya, hehe.

Nah, pertemuan kelima barusan di Amerika Serikat. Tepatnya, dalam sebuah simposium tentang Islamic Philanthropy and Civil Society di Indiana University. Setelah duduk berdampingan berkali-kali, selesai acara, akhirnya saya putuskan meminta berfoto dengannya. Saya pikir, “buat kenang-kenangan.”

Baca Juga  Sa’ad Abdul Wahid: Mufasir Ayat-Ayat Tematik dari Muhammadiyah

Memang  saya akui, saya jarang minta berfoto meskipun ada orang terkenal dan saya kagumi. Bahkan, dengan professor pembimbing saya, Martin van Bruinessen, baru terlaksana berfoto dengannya di tahun keempat. Itupun dilakukan dalam sebuah konferensi dan banyak mahasiswa (program master asal Indonesia) yang minta berfoto dengan pembimbing saya. Malah saya yang jadi juru foto pada waktu itu. Lalu, saya bilang kepada para mahasiswa, “Kalian ini pintar cari kesempatan ya! Saya saja anak bimbingannya hampir empat tahun tidak pernah minta berfoto dengan Pak Martin van Bruinessen.”

Rupanya, para mahasiswa mendengar komentar saya itu. Mereka lalu bilang, “Pak Martin! Ini Mas Hilman belum pernah berfoto, katanya.” Pak Martin pun tersenyum lalu bilang, “Oh iya, Hilman! Ternyata, kita belum pernah berfoto selama ini.” Saya pun mengangguk sambil tersenyum dan langsung berdiri di sampingnya. Dan, “Jepret!” Saya pun akhirnya berfoto dengan Martin van Bruinessen (Tapi maaf, saya masih cari-cari foto pertama dengan Pak Martin ini!).

Anyway,  Jonathan Benthall minta agar ada film documentary tentang Muhammadiyah untuk audiences dari Barat. Tujuannya agar lebih banyak orang mengenal gerakan Islam Indonesia ini. Ia juga sering bertanya tentang peran Aisyiyah, apa saja dan sampai mana saat ini?

Kebetulan pula, tiga tahun lalu, saya membeli buku terbaru Jonathan Benthall di London. Judulnya, Islamic Charities and Humanism in Troubled Times. Ada yang unik dari desain cover buku ini. Selain sangat sederhana, keunikan desain cover buku ini hanya terselip berupa gambar Perangko Muhammadiyah zaman Hindia Belanda.

Sampul buku sederhana, hanya memuat Perangko Muhammadiyah. Sumber: IBTimes.ID

Akhirnya, semoga guru-guru saya yang sudah mulai pensiun, namun masih produktif berkarya ini, diberikan kesehatan. Amien!

Baca Juga  Covid-19, Tawakal dan Sikap Keras Kepala

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds