Perspektif

Yang Berbahaya dalam Menangani Covid-19

2 Mins read

Kalau individu melakukan mobilisasi kampanye pendanaan untuk menerangi Covid-19, saya tidak masalah. Justru, saya harus bercermin, sudahkah saya sepertinya? Apa yang dilakukan oleh mba admin Ihya Ienas Tsuroiya dan Gus Ulil Abshar Abdalla yang harus melelang barang pribadi kesayangannya serta kemudian melibatkan banyak orang terlibat sehingga menghasilkan uang sebesar 90-an juta adalah contoh tersebut.

Di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU sebagai dua ormas besar dalam memerangi virus ini dengan kerja-kerja kerelaan sekaligus juga membuka donasi adalah tindakan lain yang patut diapresiasi.

Namun, jika bekerja dalam lingkaran elit terdekat pemerintahan Jokowi, digaji bulanan melebihi gaji Profesor di kampus yang telah mengabdi puluhan tahun, lalu harus terlibat untuk menangani kasus pandemik, hal itu merupakan kewajiban. Tidak perlu untuk menepuk dada atas kerja keras yang kamu lakukan. Apalagi mencibir orang yang di luar pemerintahan karena mengkritik. Tapi, tipikal orang semacam ini masih bisa diterima. Setidaknya, ia sedang merasa terancam dengan kritikan tersebut.

Dibandingkan tipikal itu, ada orang yang sangat menjengkelkan; sudah digaji oleh negara, dekat dengan kekuasaan, masih muda, lalu memanfaatkan jabatan tersebut untuk melakukan intervensi atas dana yang didapatkan oleh negara.  Orang itu bernama Andi Taufani, Staf Khusus Milenial Jokowi.

Ia menyurati seluruh camat di Indonesia dengan menggunakan corps KSP meminta setiap camat membantu organisasi Amartya yang dimilikinya untuk membantu memerangi Covid- 19. Organisasinya sendiri mendapatkan dana dari Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Meskipun atas nama kebaikan, yang berbahaya dari tindakan itu adalah: pertama, ia melampui wewenangnya sebagai penasehat presiden. Kedua, ada pusaran kepentingan, antara dirinya sebagai pejabat publik dan perusahaannya yang didanai olehn negara. Ketiga, ia masih muda dan karier politiknya sangat panjang. Namun, ia melakukan politik busuk secara terbuka dan telanjang untuk mendapatkan keuntungan pribadi di tengah wabah pandemik yang menyusahkan banyak orang ini.

Baca Juga  Serius Tangani Kesehatan Siswa, Pesantren Sains Sragen Laksanakan Vaksinasi Covd-19

Yang harus diingat orang seperti ini merupakan petualang politik baru, jadi amisnya cepat tercium. Bagaimana jika kelas kakap dan sudah bapuk duduk di pemerintahan sekian lama? Belajar mengenai politik kepentingan tidak perlu mengambil mata kuliah di kampus sampai 3 SKS.

Membaca hal ini cukup menonton drakor Vacabond sampai tuntas untuk mengetahui bagaimana semesta kepentingan dan relasi kuasa itu hadir untuk mendapatkan akumulasi kapital. Setiap faksi masing-masing memperebutkan kue yang seharusnya turun langsung ke bawah. Tapi melalui lobi politik, mereka memotongnya untuk kepentingan mereka dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia.

Di sisi lain, tenaga medis di rumah sakit merasa kewalahan di tengah keterbatasan infrastruktur dan alat yang mereka miliki. Hal ini berakibat tidak hanya mereka yang menjadi korban, melainkan juga masyarakat kebanyakan karena tidak adanya penanganan serius melalui kebijakan pemerintah yang benar-benar berpihak kepada mereka.

Mau tidak mau, kondisi ini membuat individu masyarakat menyelamatkan dirinya sendiri. Tentu saja, yang berpeluang bertahan dari virus ini, mereka yang secara kapital ekonomi, khususnya kelas menengah yang bisa lebih bertahan ketimbang kelas bawah.

Jika membaca Indonesia dalam persoalan yang kecil semacam ini, kita bisa mengerti bagaimana pandemik ini ditangani secara tidak profesional, krasak-krusuk. Namun, di hadapan publik kita diminta untuk percaya kepada mereka?

Memang orang semacam ini bisa kita sebut anonim melalui kata oknum, tapi ada berapa predator politik yang tidak kita ketahui melakukan hal yang sama? Karena itu, kritik terhadap penanganan pandemik ini penting dan harus terus disuarakan agar masyarakat tahu bahwasanya yang bebal dan bodoh itu bukan mereka, melainkan orang-orang yang menguatkan akumulasi kapital di tengah wabah.

Baca Juga  Pandemi Covid-19 Telah Mengevaluasi Cara Beragama Kita

Jika mengkritik dianggap sebagai kadrun, tidak move on, dan anti-Jokowi itu merupakan kesalahan besar. Ini karena, ketidaksiapan dalam melakukan tindakan preventif tidak hanya berimbas kepada orang-orang yang memiliki politik yang berbeda melainkan juga kelompoknya sendiri dan bahkan orangtua mereka.

Sekali lagi, kita sedang berperang melawan virus yang sangat kecil, bukan menghadapi Pilpres 2019, apalagi 2024. Sementara predator politik yang tamak selalu ada dalam setiap periode pemerintahan. Ironisnya, mereka ini tidak mengenal kategori politik apapun, kecuali kepentingan yang berbuah ekonomi untuk diri dan kelompoknya.

Editor: Arif

Avatar
83 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *