Ingatkah Anda, Victor Hugo (1802-1885)? Dia adalah pujangga, novelis, dan dramawan Prancis. Suatu ketika berucap: “Apakah sejarah itu? Pengulangan masa lalu di masa depan; Refleksi dari masa depan pada masa lalu.” Konkretnya: Et l’histoire se répète…seperti lirik penyanyi country Amerika, Buddy Starcher (1906-2001) dalam lagunya History Repeat Itself, mengisahkan peristiwa aneh tapi nyata. Lagu yang mengisahkan “Sejarah berulang dengan sendirinya.”
Sejatinya, sejarah wabah renik pandemik adalah Et l’histoire se répète. Sejak zaman sebelum masehi, zaman nabi dan rasul-rasul, hingga zaman merkantlisme dan phisiokrasi di Eropa, pun wabah itu sudah kerap bertebar. Artinya, sejarah wabah pandemik acapkali berdaur ulang. Bahkan, di zaman lebih moderen tatkala manusia memasuki revolusi industri, wabah itu selalu menggamit manusia.
Hampir setiap revolusi masif, dipuncaki oleh menyebarnya wabah renik pandemik. Pada saat revolusi industri di awal abad XVIII, yang dipicu adanya Revolusi Mesin Uap pada 1720-an di Inggris. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin.
Namun, dalam masa-masa revolusi itu, wabah Sampar melanda kota Marseille, Prancis. Wabah renik itu membunuh lebih dari seratus ribu manusia, teutama warga di dalam kota pelabuhan Prancis Selatan. Dampaknya cukup signifikan terasa di wilayah-wilayah jajahan seantero dunia.
Demikin juga pada saat Revolusi Industri Penemuan Tenaga Listrik pada 1820 an. Tenaga otot yang sudah tergantikan mesin uap, perlahan mulai tergantikan lagi oleh tenaga listrik. Tatakala itu, menjakit wabah Kolera. Pada 1820, episentranya berasal dari India kemudian menggamit manusia ke seluruh negara Asia termasuk Indonesia. Lebih dari 100.000 an orang tewas, termasuk banyak tentara Inggris.
***
Memasuki abad XX, saat revolusi Perang Dunia Pertama (1914-1918). Puncak revolusi itu, mewabah Flu Spanyol pada 1918-1920, yang kemudian bergulir menjadi the Great Depression hingga 1930-an. Michael Bernstein dalam The Great Depression: Delayed Recovery and Economic Change in America, 1929-1939 (1987), mendeskripsikan kondisi: “Jatuhnya pasar saham menyebabkan terpentalnya daya beli, menyusutnya investasi, turbulensi sektor industri, dan merebaknya pengangguran. Merebaknya pengangguran memicu kredit macet, dan penyitaan aset melonjak”.
Wabah Flu Spanyol ini menelan banyak korban jiwa dibanding Perang Dunia I itu sendiri. Flu ini telah mengalami mutasi genetikal sehingga jauh lebih berbahaya ketimbang virus flu biasa. Flu Spanyol menginfeksi lebih dari 500 juta orang di seluruh dunia, termasuk orang-orang di pulau-pulau Pasifik yang terpencil hingga sampai di Kutub Utara.
Bahkan, para ahli sejarah memperkirakan, kisaran 21,5 – 50 juta jiwa melayang di seantero dunia. Saat itu, di Hindia Belanda (Indonesia), seperti yang ditulis Colin Brown, sejarawan Belanda, menulis artikel: “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, setidaknya ada 1,5 juta orang tewas akibat pandemik yang terjadi dalam rentang Juli September 1918 – Oktober 1920.
Virus Flu Spanyol ini menyerang hingga ke kawasan Timur Hindia Belanda. Padahal virus ini awalnya terjangkit dari kawasan Labuhanratu, Suamtera Utara hingga Maluku dan Papua di Bagian Timur. Bahkan, yang menyeramkan munculnya pelbagai kerusuhan sosial yang berbau etnis, misalnya, terjadi di Solo dan Kudus.
Jatuhnya banyak korban tentu dipicu lambatnya pemerintah mengambil sikap, peralatan kesehatan yang tidak memadai, munculnya orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi, hingga munculnya pelbagai pengobatan irasional yang berkembang di masyarakat.
Bahkan, harga-harga melangit dan banyak dokter menaikkan tarif dan menjual obat yang tidak bisa dikendalikan lagi. Hingga akhirnya, pandemik itu berakhir setelah ada ketegasan sikap pemerintah Hindia Belanda, yang diorganisir secara rapi, sistematis, dan dikampanyekan secara masif.
***
Nah, bagaimana daur ulang sejarah wabah pandemi Corona Virus Disease-19 yang saat ini menjangkit di era Revolusi Industri 4.0? Cukup banyak goresan sejarah yang ditorehkan Tuhan dan dilakoni manusia.
Hanya kecerdasan manusia dan silaturahmi kesadaran kemanusiaanlah yang bisa menyelesaikan itu. Tapi yang jelas, ada pepatah: “Hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali”. Keledai itu binatang bodoh, tapi keras kepala. Wallahu a’lam bish-shawab.