Pulang dari Korea mampir ke Wuhan
Tapi tidak jadi karena corona
Jika ingin menstabilkan perekonomian
Maka Perppu adalah jalan satu-satunya
Ya, semenjak virus corona atau yang biasa kita sebut sebagai covid-19 dijadikan pandemi global oleh WHO, masing-masing negara di dunia membunyikan alarm merah tanda bahaya negara. Dari corona kita dapat belajar, tidak perlu menjadi kaya untuk mempecundangi dunia, tidak perlu menjadi besar untuk menguasai dunia, tidak perlu menampakkan diri untuk menakuti dunia.
Cukup menjadi diri sendiri, kecil, tak terlihat dan menyentuh semua kalangan. Tapi di sini saya tidak akan membahas hikmah apa yang bisa kita dapat darinya. Namun bagaimana negara-negara di dunia, terkhusus di Indonesia dalam melawan makhluk kecil tak kasat mata bernama corona.
Sebelum masuk ke intinya, saya ingin membawa pembaca untuk bernostalgia bagaimana virus ini dengan cepat menginvasi Indonesia. Dimulai dari penyepelean pemerintah terhadap penyebaran virus karena belum ada kasus. Lalu masyarakat ikut terlena dan boom! Dalam waktu sebulan, virus bukan hanya menyerang kesehatan, namun juga perekonomian. Oke, jangan lagi diulang, persiapan bahkan sebelum ada kasus itu sangat diperlukan.
Sepanjang Maret 2020 hingga 1 April 2020, setidaknya telah dikonfirmasi oleh jubir pemerintah penanganan covid-19 terdapat 1.677 kasus postif di Indonesia. Maka untuk mengurangi penularan, pemerintah memberlakukan berbagai macam kebijakan, dimulai dari social distancing 14 hari, phisical distancing, hingga pembatasan sosial berskala besar yang sedang berlaku sekarang.
Kebijakan dan Konsekuensi yang Harus Diterima
Namun bagai dua sisi mata uang, ketika kebijakan tersebut diterapkan, ada konsekuensi yang harus ditelan. Masyarakat semakin panik, bukan karena virusnya, tapi lebih pada takut jika kelaparan menjangkiti keluarganya. Bagaimana tidak, menurut data BPS, 57,36% angkatan kerja Indonesia adalah pekerja sektor informal (UMKM), yang memerlukan interaksi sosial dalam pekerjannya.
Bayangkan jika pelarangan berkumpul diterapkan, sudah jelas UMKM lah yang akan pertama kali terkena dampaknya. Jika dulu pada tahun 1998 dan 2008 UMKM menjadi pertahanan terakhir Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan, bagaimana nasib Indonesia sekarang ? Sedangkan dari IMF mengatakan tahun 2020 dunia akan mengalami resesi, pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai nilai negatif.
Maka dengan alasan tersebut, desakan pun terjadi di mana-mana. Pemerintah harus bertindak, sebelum perekonomian semakin sesak. Untuk itu dengan beberapa pertimbangan akhirnya dikeluarkanlah sebuah PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Kenapa harus PERPPU ? Apa hasil konkrit dari adanya PERPPU? Saya akan jawab satu-satu.
Dalam ketentuan hukum pasal 22 ayat (1) UUD 1945, meurujuk dari pada putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/2009, PERPPU hanya boleh dikeluarkan pemerintah dalam keadaan (1) genting dan memaksa, (2) belum ada UU yang mengatur tentang hukum penyelesaian masalah tersebut, (3) dibutuhkan secara cepat. Dan secara konkrit hasil dari PERPPU ini adalah pemerintah akan menambah belanja negara senilai 405 T dalam APBN 2020. Dengan kata lain defisit anggaran akan melebar dan mencapai 5.07% dari PDB. Padahal, aturan besaran defisit anggaran dalam UU No.17 Tahun 2003 maksimal adalah 3% dari PDB. Apa ini menyalahi aturan ? Ya, tentu saja, karena itu pemerintah perlu membuat payung hukum untuk menaungi kebijakannya.
Jadi, Utang Negara Kita Akan Bertambah?
Sabar-sabar, tenang, jangan panik. Berdasarkan hasil Press Conference Menteri Keuangan tanggal 1 April 2020 lalu, jika dibandingkan dengan negara terdampak virus lainnya, rasio defisit anggaran Indonesia tergolong lebih rendah. Di mana negara seperti Australia memiliki rasio 9,7%, Kanada 6,7%, Amerika Serikat 10,5%, dan Singapore 11%.
Indonesia dikatakan masih beruntung karena Italia sebagai negara yang terdampak cukup besar setelah Tiongkok, malah tidak bisa melebarkan anggaran defisitnya karena sudah maksimal. Ya, Extraordinary issue needs extraordinary policy and extraordinary action. Jadi kebijakan pelebaran defisit anggaran ini adalah kebijakan yang perlu ditempuh negara terdampak virus dalam rangka bertahan dan melakukan pemulihan.
Dari total pelebaran defisit anggaran senilai 405 T, 74 T dialokasikan untuk pembiayaan insentif petugas medis dan belanja peralatan kesehatan, 110 T tambahan jaringan pengaman sosial atau social safety nett, 70,1 T untuk dukungan industri yaitu subsidi pajak dan bea masuk, lalu 150 T untuk pembiayaan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional.
Sumber Defisit Anggaran yang Diperlebar
Tentu uang sebanyak itu tidak jatuh begitu saja dari langit. Ada harga yang harus dibayar untuk itu. Setidaknya sumber dana tersebut didapat pemerintah dari; (1) Sisa Anggaran Lebih tahun sebelumnya, (2) Realokasi dari dana Kementerian/Lembaga lain, dan BUMN, (3) Penjualan Surat Utang Negara/Surat Berharga Syariah Negara, dan (3) Pinjaman Dalam dan Luar Negeri dan sumber lain yang di atur dalam undang-undang.
Untuk sisa anggaran lebih tahun sebelumnya, pemerintah memiliki 46,5 T. Lalu untuk realokasi anggaran, yang jelas Kemendikbud tidak akan terdampak, karena pemerintah tetap mempertahakan mandat konstitusi, bahwa alokasi anggaran untuk pendidikan adalah 20% dari APBN. Menurut Presiden Jokowi, kementerian harus merealokasikan anggaran perjalanan dinas untuk melawan pandemi ini. Kemudian penerbitan SUN dan SBSN akan diperbanyak. Jika masih tidak cukup, kemungkinan pemerintah akan melakukan pinjaman luar negeri seperti ke Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia.
Apakah Skenario Defisit Cukup Aman ?
Ketika kita berbicara soal defisit, kita juga akan berbicara soal utang. Dan utang selalu menjadi momok mengerikan bagi setiap negara. kebijakan utang yang tidak cermat, hanya akan membuat Indonesia jatuh pada lubang resesi selanjutnya. Bukannya apa, menurut data dari Kemenkeu jumlah utang pemerintah per Januari 2020 adalah sebesar 4,817 T. Belum lagi dengan beban pembiayaan bunga utang di tahun 2020 sebesar 295 T. Tentu ini bukan kabar baik bagi Indonesia yang diperkirakan tahun 2020 akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Menurut hemat penulis, daripada memperlebar utang, lebih baik memaksimalkan realokasi dana dari kementerian seperti menggunakan dana pembangunan infrastruktur dari kementerian PUPR, atau bahkan jika perlu menggunakan anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan ibukota baru. Hal ini sejalan dengan pendapat Rizal Ramli, ekonom senior yang mengatakan Indonesia sudah terlalu berat terbebani utang dan terancam gagal bayar. Untuk itu, pemerintah harus segera memberhentikan proyek-proyek infrastruktur besar.
Jadi, untuk aman atau tidaknya kebijakan ini, tentu tergantung dari strategi yang ditempuh pemerintah. Yang jelas penanganan secara cepat dan tepat harus segera dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Kita tentu tidak ingin,Indonesia porak-poranda hanya karena salah urus corona.