Perspektif

Menakar Efektivitas Perubahan Batas Usia Minimal Perkawinan

3 Mins read

Batas minimal usia perkawinan beberapa waktu yang lalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Perubahan batas minimal usia perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni dari 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki diubah menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adanya perubahan batas minimal usia perkawinan tersebut membuat beberapa orang dapat bernafas lega melihat atas adanya kesetaraan gender guna mengurangi resiko berlebih terhadap perempuan yang menikah dengan usia yang terlalu dini. Namun, beberapa orang berpikir seberapa efektifkah perubahan batas usia minimal perkawinan ini?

Dilihat dari kenyataan, sebelum undang-undang tersebut diubah, angka permohonan dispensasi kawin di Indonesia sangatlah tinggi. Apalagi, setelah undang-undang ini diubah dengan usia perempuan yang lebih tinggi, akan lebih besar kemungkinan meningkatnya angka dispensasi kawin yang secara tidak langsung juga akan lebih tinggi angka pernikahan dini di Indonesia.

Perubahan Minimal Usia Perkawinan

Usaha perubahan batas minimal usia perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yang isinya mengatur tentang batas usia minimal perkawinan bukan hanya sekali. Pertama, pada tahun 2014 beberapa orang telah mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) mengenai batasan minimal usia perkawinan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan  tersebut terregistrasi dengan nomor 30 dan 74 PUU-XII/2014, namun MK menolak permohonan Pemohon dalam perkara tersebut. Disebutkan dalam putusan tersebut adanya Disenting Opinion pendapat berbeda yang diutarakan oleh Hakim Anggota Maria Farida Indrati.

Kedua, pada tahun 2017 lalu, ada 3 orang yang mengaku korban perkawinan anak menggugat kembali Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) tersebut dan teregistrasi dengan nomor 22/PUU-XV/2017. Adapun perkara yang digugat para pemohon adalah permohonan judicial review Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mengenai batas usia minimal perkawinan. Para pemohon berharap batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan sama, yakni usia 19 tahun. Gugatan tersebut diadili dan dikabulkan dalam sidang pleno terbuka di gedung MK, Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu tanggal 13 Desember 2018.

Baca Juga  Humanisme Islam ala Gus Dur

Batasan usia minimal perkawinan dalam pasal 7 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 telah direvisi dan diatur di dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019. Batasan minimal usia perkawinan menjadi sama rata, yakni batasan usia minimal bagi laki-laki adalah 19 tahun, begitu juga batasan usia minimal bagi perempuan ialah 19 tahun. Perubahan tersebut disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna pada tanggal 16 September 2019.

Dispensasi Pernikahan Meningkat

Melihat salah satu berita yang diterbitkan oleh Radar Semarang menunjukkan perubahan batas usia minimal perkawinan mengakibatkan angka pernikahan dini melalui dispensasi kawin sedikit meningkat, meskipun ada beberapa perkara yang sudah ditolak. Contohnya di Pengadilan Agama Semarang pada bulan November lalu ada 30 perkara permohonan dispensasi kawin dan bulan Desember ada 19 perkara permohonan dispensasi kawin.

Padahal bulan-bulan sebelumnya, hanya 6-7 perkara permohonan dispensasi kawin. Alasan terbanyak dikabulkannya permohonan dispensasi kawin tersebut ialah hamil di luar nikah. Rata-rata yang mengajukan ialah usia 14 tahun. Sedangkan setelah adanya perubahan Undang-undang tersebut rata-rata yang mengajukan ialah yang berusia 17 tahun.

Dalam 3 bulan setelah disahkan undang-undang tersebut, perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama Kendal juga meningkat tajam. Setidaknya ada 99 perkara permohonan dispensasi kawin pada saat itu. Rata-rata orang tua yang mengajukan permohonan dispensasi kawin tersebut masih mengacu pada Undang-undang yang lama, yakni perempuan 16 tahun dan 19 tahun bagi laki-laki. Sedangkan beberapa perkara lain juga disebabkan hamil di luar nikah.

Melihat dari beberapa perkara tersebut, Undang-undang ini belum disosialisasikan dengan baik, sehingga masih banyak orang tua di luar sana yang beranggapan batasan usia minimal perkawinan masih 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

Baca Juga  Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Islam

Perlindungan Anak

Masih di dalam berita yang sama, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Kendal, Ali Martin mengatakan, jika undang-undang tersebut sebenarnya telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, di mana usia anak adalah sampai 18 tahun. Sehingga Komnas PA merasa sudah tepat jika usia minimal perkawinan adalah 19 tahun. Sebab, jika usia 18 tahun atau di bawah 18 tahun, maka bisa dikenakan pelanggaran UU Perlindungan Anak. Komnas PA Kendal maupun Pengadilan Agama Kendal akan dengan senang hati mensosialisasikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.

Sedangkan di Kabupaten Demak, pada tahun 2019 perkara dispensasi kawin menempati posisi perkara tertinggi nomor 3 dengan jumlah perkara, yakni 104 perkara. Terdapat berbagai macam alasan mengajukan permohonan dispensasi kawin, antara lain: sudah lama pacaran, sudah dilamar atau sudah melalui proses lamaran, hamil di luar nikah maupun dijodohkan. Usia paling muda yang mengajukan permohonan dispensasi kawin di Kabupaten Demak adalah 14 tahun. Sedangkan rata-rata yang dapat dispensasi usia 15 tahun.

Perubahan Batas Minimal Kurang Efektif

Dari berita tersebut dapat dilihat, perubahan batas usia minimal perkawinan hanya melindungi hak dan kewajiban seorang anak di bawah usia 18 tahun, sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, perubahan tersebut memberi dampak meningkatnya angka pernikahan dini dan perkara dispensasi kawin di Pengadilan Agama di beberapa kota seperti Semarang, Kendal, dan Demak seperti yang sudah disebutkan di atas.

Dapat disimpulkan bahwa perubahan batas usia minimal perkawinan tersebut kurang efektif dalam mengurangi angka pernikahan dini di Indonesia. Meskipun di sisi lain, perubahan batas usia minimal perkawinan tersebut dapat melindungi hak-hak anak yang seharusnya diterima di usia anak yang sudah tertera dalam Undang-undang.

Baca Juga  Kongres Umat Islam Indonesia VII: Arah Perjuangan Pendidikan

Editor: Arif

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds