Cara berpakaian muslimah dalam sejarah selalu mengundang perdebatan baik dari level para mufassir maupun di masyarakat. Perdebatan beragam baik dari segi warna, ukuran, model, bahan, dan juga memenuhi syar’i tidaknya. Selain itu, selembar kain yang menutupi tubuh perempuan ini juga berkaitan erat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan juga dominasi sebagai ekspresi patriarki yang tumbuh subur di masyarakat.
Dari berbagai macam perdebatan dan kepentingan tersebut, yang paling memengaruhi seseorang untuk menentukan keputusannya yang terkait dengan jenis dan model cara berpakaian adalah isu syar’i tidaknya. Hal ini menjadi elemen penting, karena kata syar’i akan dikaitkan dengan kehidupan transedent, surga, neraka, dan juga kenyamanan dalam beragama.
Apa itu Syar’i?
Arti syar’i adalah sesuatu yang dilakukan berdasarkan ketentuan syariah. Sedangkan syari’ah adalah aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya. Kata syari’ah berasal dari kata syar’a al-syari’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Secara luas, arti syariah adalah seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin atau kepercayaan maupun tingkah laku konkrit.
Secara spesifik, syariah berarti sistem legal yang kompleks yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Secara subtantif, isi syariah itu terdiri dari prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang mencakup kesetaraan, keadilan, tauhid, dan peghargaan akan kamunusiaan (karamah insaniyah).
Bagaimana Pakaian Syar’I itu?
Nah pertanyaanya adalah konsep pakaian Muslimah yang syar’i itu yang seperti apa?
Landasan normatif yang digunakan di saat membicarakan pakaian muslimah adalah QS An Nur ayat 30-31 dan Al Ahzab 59 serta Hadisnya Asma yang diminta untuk menutup tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.
Sebagian ulama dan masyarakat Muslim menafsirkan landasan normatif tersebut secara tekstual dengan kesimpulan bahwa pakaian syar’i bagi muslimah adalah pakaian yang tidak berwarna cerah, berbentuk baju kurung (jubah), tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, dan ditambah dengan jilbab yang menutup sampai pantat, bahkan ada yang mengatakan wajah pun harus ditutup (cadar).
Namun sebagian ulama dan masyarakat Muslim dengan pendekatan kontekstual menyimpulkan bahwa bahwa pakaian Muslimah yang syar’i itu yang sopan sesuai dengan waktu dan tempat, aman, nyaman, sehat, dan tidak ada paksaan. Kelompok kedua pendekatan kajiannya selain bayani juga menggunakan burhani dan irfani dengan menambahkan kajian antropologi, historis, geografis, dan juga politik identitis serta otonomi tubuh perempuan.
Dari landasan normatif, ada dua kata kunci saat membicarakan cara berpakaian muslimah yaitu menundukkan pandangan supaya tidak terjadi fitnah dan menggunakan pakaian supaya dapat dikenali identitasnya. Saat bicara fitnah, di sini sering dikaitkan dengan perintah cara bergaul yang sopan baik pada laki-laki dan perempuan sesuai dengan pinsip dasar syariah, sedangkan supaya dikenali identitas ada unsur budaya dan sosial di mana kita beraktvitas.
Secara antropologi, semakin tinggi kelasnya semakin tertutup pakaiannya, ini terjadi juga pada ayat tersebut. Budak (walaupun juga muslimah) kelas bawah bajunya tidak perlu tertutup seperti muslimah merdeka, pakaian para ratu di Eropa juga lebih tertutup, kadang topinya pun juga dikasih penutup yang transparan. Bajunya Raden Ajeng Kartini lebih tertutup daripada baju para emban (pengasuh) di keraton.
***
Dalam sejarah pakaian yang menutup tubuh dan longgar, tidak hanya untuk muslimah. Tetapi semua perempuan yang bergama samawi kebanyakan juga menggunakannya. Di Arab yang panas dan berdebu, dengan alasan georgrafis tidak hanya perempuan yang harus menutup kepalanya, tetapi para laki-lakinya juga menggunakan penutup kepala (surban), sehingga kalau ada badai pasir mereka segera dapat terlindungi.
Di Indonesia, berdasarkan catatan sejarah, hijab pertama kali dipakai oleh seorang muslimah bangasawan dari Makassar, Sulawesi Selatan pada abad 17. Cara berhijabnya lalu ditiru oleh perempuan Jawa pada awal 1900-an dan diikuti dengan berdirinya organisasi perempuan muslim ‘Aisyiyah.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jean Gelman Taylor, seorang professor di bidang sejarah dari Universitas New South Wales, menemukan bahwa tidak ada gambar hijab di foto-foto perempuan Aceh pada tahun 1880-an dan 1890-an. Sayang, beliau tidak menjelaskan alasan-alasannya. Hanya beberapa pahlawan perempuan Indonesia (muslimah) yang memakai hijab di masa lalu, banyak di antara mereka justru tidak memakainya.
Apa Ukuran Pakaian Syar’i dan Tidak?
Berdasarkan landasan normatif, hasil penelitian dan juga mempertimbangkan yang punya tubuh yaitu perempuan itu sendiri. Kriteria pakaian muslimah syar’i menurut saya tidak ditentukan oleh warna, bentuk, ukuran, dan juga bahannya. Syar’i menurut saya adalah yang sopan dan tidak menggoda sehingga mengakibatkan fitnah, nyaman, sehat, dan juga tidak terpaksa.
Untuk banyak Muslimah, ukuran kesopanan saat ini dapat berupa menggunakan jilbab biasa tanpa cadar. Hal ini terjadi karena sejak revolusi Iran, penggunaan jilbab di Indonesia menjadi booming. Namun bagi sebagian Muslimah lain, yang penting menggunakan pakaian yang sopan walaupun terkadang di acara tertentu tidak selalu ada sehelai kain di kepalnya.
Hal yang penting dan tidak dapat diubah tujuan syariahnya (maqasid syariah) adalah tidak menyebabkan fitnah dan mudah dikenali.
Sebagai negara yang beragam, supaya mudah dikenali, pilihan warna yang serasi antara pakaian dan jilbabnya dan tidak harus warna gelap, apalagi dengan menggunakan cadar. Serta menggunakan kain yang ramah dengan daerah tropis adalah pilihan yang indah dan sehat. Supaya mudah dikenali dan juga mudah mengenali manusia lain, wajah terbuka tanpa cadar adalah bagian dari ikhtiar untuk mewujudkan Islam rahmatal lil’alamin.