Salah satu akad yang diatur secara detail dalam Islam secara agama dan hukum ialah perkawinan. Mengapa begitu? Karena semua orang akan mengalaminya, semua orang pasti menginginkan keturunan untuk melanjutkan generasi lebih baik dari sebelumnya yang dimana jalan terbaiknya ialah dengan menikah.
Akad yang satu ini tak seperti akad-akad yang lain yang mungkin hanya sebagian orang yang akan mengalami, contohnya seperti sewa-menyewa, kerja sama dan lain lain. Islam memandang perkawinan begitu penting sehingga ada banyak sekali ayat-ayat dan hadis-hadis yang menjelaskan tentang akad ini. Karena perkawinan dalam Islam bukan hanya sekedar kontrak sosial. Namun perkawinan juga dalam rangka nilai ibadah kepada Sang Pencipta.
Nikah Siri
Pernikahan bukan melulu tentang segala sesuatu yang menyenangkan namun ada banyak sekali permasalahan yang timbul terkait dengan pernikahan. Salah satu istilah yang populer mengenai permasalahan dalam pekawinan ialah nikah siri atau nikah di bawah tangan. Pernikahan jenis ini bisa juga diartikan sebagai nikah rahasia, karena dalam bahasa arab sirr berarti rahasia, sembunyi-sembunyi.
Nikah siri sebenarnya bukan baru saja terjadi dewasa ini, tetapi nikah siri sudah terjadi jauh sebelumnya. Bahkan pada masa Rasulullah juga terjadi, akan tetapi permasalahannya sedikit berbeda. Pada zaman Rasulullah yang dinamakan nikah siri ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah.
Begitu pula sekarang, ada banyak praktik nikah di bawah tangan. Seperti kebiasan masyarakat yang melangsungkan pernikahannya hanya dengan seorang kiai, tengku, ulama, tuan guru, dan semacamnya sebagai wali tanpa sepengetahuan wali yang sah. Ataupun pernikahan yang dilakukan secara siri dengan berbagai alasan, antara lain faktor ekonomi, keagamaan, hingga tradisi. Lalu apakah nikah siri sah di mata agama dan hukum?
Apakah Nikah Siri Sah?
Ada berbagai macam pendapat mengenai nikah siri ini. Ada pendapat yang mengatakan nikah siri ialah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa wali dan saksi. Ini adalah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya al ‘Umm. Dalam kategori ini semua ulama sepakat pernikahan menjadi batal atau tidak sah menurut hukum Islam apabila pernikahan tersebut dilangsungkan tanpa adanya wali dan saksi.
H. Wildan Suyuti Mustofa membedakan nikah siri menjadi dua. Pertama, akad nikah yang dilakukan oleh seorang pria dan laki-laki dan perempuan tanpa ada wali. Yang menjadi wali ialah guru atau ulama yang menikahkannya padahal dalam hukum Islam mereka tidak berwenang.
Kedua, akad nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah seperti wali dan saksi namun pernikahan tersebut tidak dicatatkan sesuai dengan UU Perkawinan di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan pada pasal 2 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
KHI (Kompilasi hukum islam) juga menekankan tentang pencatatan perkawinan sebagaimana di sebutkan dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi: “perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Namun perkawinan yang tidak dicatakan sebenarnya tidaklah mengganggu keabsahan suatu perkawinan asalkan perkawinan tersebut telah sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
Sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 yang berbunyi “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaan itu”. Akan tetapi pemerintah mempunyai intervensi dalam perkawinan itu sendiri. Di mana apabila pencatatan perkawinan tersebut tidak dilakukan jika terjadi permasalahan atau sengketa akibat perkawinan tersebut di masa yang akan datang maka pemerintah tidak dapat membantunya. Sebab perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Pandangan Agama dan Hukum
Indonesia sendiri menggunakan qiyas dalam masalah pencatatan pernikahan sebagaimana telah diatur dalam Al Quran Q.S. Al-Baqarah: 282 mengenai hutang piutang yang seharusnya ditulis. Demikian berarti apabila akad hutang piutang saja harus dituliskan, maka begitupula dengan perkawinan. Karena perkawainan dianggap sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan galiza) dan untuk waktu yang langgeng.
Selain itu, perkawinan harus dituliskan dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Meskipun hanya berbentuk administratif, pencatatan pekawinan berperan sangat penting untuk melindungi keluarga tersebut apabila terjadi sengketa. Seperti perceraian, hak asuh anak, harta bersama dan lain-lain. Pengadilan pun tidak akan menerima perkara yang datang dari seseorang yang tidak taat pada aturan Negara.
Jika ditinjau dari aspek politis dan sosiologis dampak dari tidak dicatatkannya sebuah perkawinan ialah:
- Masyarakat Indonesia akan dipandang tidak taat pada aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya pelaksanaan ajaran iIlam tidak melibatkan Negara kemudian mengusung pandangan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan bernegara yang dikenal dengan istilah sekularisme.
- Akan meningkatnya pernikahan di bawah tangan yang hanya peduli pada unsur agama saja.
- Apabila terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka peluang untuk putusnya perkawinan akan semakin banyak sehingga hampir semua kasus akan berdampak pada wanita/istri dan anak.
Dengan demikian pernikahan tidak lagi hanya dijalankan sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh agama. Melainkan juga melibatkan Negara dalam menjamin hak-hak pihak yang berkaitan, demi terciptanya tujuan pernikahan yaitu sakinah mawaddah wa rahmah.
***
Pernikahan yang sempurna ialah pernikahan yang telah memenuhi keabsahan pada beberapa aspek. Pertama, aspek agama melalui rukun dan syarat yang ada. Kedua, Negara melalui pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang.
Editor: Nabhan