Perspektif

Masjid sebagai Pusat Perlawanan, Bukan Penularan

2 Mins read

Sebagian masyarakat sepertinya melihat masjid masih sebagai tempat ibadah ritual semata, hanya jadi tempat salat, tadarusan dan ngaji. Padahal sebagaimana dicontohkan Nabi dan para sahabat, masjid merupakan ajang berkreasi, berkoordinasi, latihan perang, dan memikirkan solusi atas persoalan yang terjadi di masyarakat.

Karena masjid diposisikan hanya sebagai tempat ibadah ritual, maka di masa pandemi ini terjadi benturan antara protokol penanganan covid dan aktivitas masjid, di mana protokol penanganan covid mewajibkan physical distancing sementara masjid jadi tempat berkumpulnya masyarakat untuk menjalankan ritual. Apalagi masih banyak pengurus masjid yang memegang prinsip “tidak takut corona tapi takut Allah”. Di sini, masjid justru berpotensi menjadi kantong-kantong penularan covid.

Akan jadi lain bila kita melihat masjid secara lebih substantif, yaitu sebagai jaringan jamaah atau umat sekaligus wahana untuk memberi solusi atas persoalan yang ada. Dengan demikian, alangkah bagus kalau institusi masjid jadi pusat perlawanan terhadap covid, misalnya pusat edukasi kesehatan masyarakat, pusat jaringan pengamanan ekonomi bagi masyarakat yang ekonominya terdampak parah dan lain sebagainya. Bukankah ini juga bentuk ibadah juga?

Takmir dan jamaah bisa saling berbagi panduan secara online, ataupun menfotokopi selebaran mengenai bagaimana melindungi diri dari covid lalu menyebarkannya ke jamaah yang tidak punya akses media online. Takmir dan jamaah bisa terhubung secara online untuk saling berbagi dukungan moral, saling ta’awun untuk menjaga keselamatan bersama, berbagi doa, saling mengingatkan kepada yang baru mudik dari luar kota dan lain sebagainya.

Masjid menjadi jejaring yang bisa menjadi sumber informasi covid bagi setiap jamaah. Tentu semua itu sangat bisa dilakukan dengan tetap mengindahkan prosedur keselamatan bersama, setidaknya tidak melakukan pertemuan secara fisik.

Baca Juga  Mengapa Ada Pelarangan Cadar?
***

Masjid sebagai jaringan jamaah bisa digunakan untuk berbagi informasi mengenai siapa saja jamaah yang sangat tertekan secara ekonomi. Sangat sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan yang sampai mempertaruhkan jiwa dengan bekerja di luar rumah. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan aktifitas infak jamaah masjid untuk membantu yang mengalami kesulitan.

Apakah masjid hanya bermanfaat untuk jamaahnya? Tentu masjid bisa memberi manfaat bagi siapa saja, termasuk masyarakat yang tidak rutin berjamaah di masjid tersebut. Barokah masjid bisa meluas ke mana saja, tanpa disekat ruang dan tembok bangunan. Inilah masjid yang substantif.

Aktivitas ritual kemasjidan masih bisa terus berjalan. Kalau yang tahlil, bisa tahlil online. Atau bisa juga tadarusan online. Kuliah keagamaan semacam kultum bisa pakai Zoom atau sarana lain, tetap dalam lingkup jamaah masjid itu. Hal jelas sudah dilaksanakan kantong-kantong masyarakat seperti kampus dan sekolah yang menyelenggarakan kuliah online. Tentu masjid juga bisa. Saya tidak punya kapasitas ilmu keagamaan untuk mewacanakan salat berjamaah online, misalnya Jum’atan online seperti dibuka oleh Ust. Wawan Gunawan Abdul Wahid, seorang anggota Divisi Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Namun kalau kajian agama online dan tadarus online tentu tidak ada hambatan dari sisi keagamaan.

***

Ringkasnya, kita perlu mengembalikan cara pandang kita terhadap masjid kembali ke cara pandang yang luas, yaitu memandang masjid tidak hanya sebagai bangunan dan tempat yang disekat oleh tembok. Tapi memandang masjid sebagai jejaring jamaah atau kantong komunitas dan budaya yang sangat fungsional untuk menyelesaikan persoalan masyarakat, termasuk menjadi pusat-pusat perlawanan terhadap covid.

Memakmurkan masjid bukan hanya dibatasi pada salat jumat dan kegiatan berkumpul lainnya, karena hal ini justru membahayakan jamaah, tapi memakmurkan masjid dengan menjalankan fungsinya sebagai jejaring jamaah dan beribadah dalam cara yang luas. Dengan demikian, kita tetap memakmurkan masjid di tengah deraan covid dengan cara yang lebih fungsional dan tidak mengundang kemudharatan.

Baca Juga  Hanya Orang Islam Kolot yang Anggap Syiah itu Bahaya

Jadikan masjid sebagai ajang mendapat solusi, bukan sebagai wahana menularkan infeksi.

Editor: Yahya FR
Avatar
17 posts

About author
Santri Nogotirto. Dokter Spesialis Anestesi
Articles
Related posts
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…
Perspektif

Begini Kira-Kira Jika Buya Hamka Berbicara tentang Bola

3 Mins read
Kita harus menang! Tetapi di manakah letak kemenangan itu? Yaitu di balik perjuangan dan kepayahan. Di balik keringat, darah, dan air mata….
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *