Pada bagian sebelumnya meskipun penjelasannya masih sederhana, tetapi telah jelas apa yang dimaksud dengan spirit literasi, matinya kepakaran dan kehidupan inersia. Selanjutnya yang ingin kita pahami lebih dalam hubungan antara ketiganya.
Untuk lebih memahami hubungan atau relasi ketiganya agar bisa saling menutupi kekurangan atau dampak negatifnya dan agar bisa melakukan counter maka perlu diurai lebih dalam. Mengapa kehidupan Inersia memberikan kontribusi signifikan akan matinya kepakaran dan termasuk mendangkalkan literasi dan melemahkan spirit literasi.
Membaca perspektif Yasraf tentang kecepatan, kehidupan inersia yang identik atau hasil relasi intim antara perkembangan teknologi dan paradigma politik ekonomi kapilisme, kecepatan akan menggiringnya kita pada kondisi pengalaman puncak atau trance. Kita akan berpacu bersama kecepatan sehingga lebih cenderung tidak ekspansif lagi.
Dan jika membaca perspektif Bernando J. Sujibto (2018: 58), kemudian saya relevansikan dengan kehidupan inersia. Saya bisa memahami bahwa karena waktu yang kita gunakan lebih banyak melalui dunia virtual maka luapan emosi dan hamburan opini lebih dominan bahkan dalam dunia virtual inilah seringkali kesadaran kritis kalah.
Belum lagi jika kita memahami karakter orang – orang yang hidup dalam kehidupan inersia ̶ karena ini juga termasuk bisa disebut sebagai generasi mellenial ̶ ada kecendrungan beroperasi melawan legitimasi, otoritas, grand narration, atau fakta – fakta empiris. Bahkan lebih senang menciptakan sebuah resistensi dan chaox. Selain daripada itu seringkali menilainya sebagai sesuatu permainan dan making fun.
Dan telah nampak jelas, karena kecendrungannya seperti itu, maka menjadi ruang potensial yang bisa mematikan kepakaran. Lalu apakah dampak negatif kehidupan inersia tersebut bisa dicounter agar narasi matinya kepakaran tidak terjadi lagi?
Dari tema tersebut, kitapun bisa menjawab bagaimana cara mengcounter dampak negatif dari kehidupan inersia. Adalah dengan memahami secara baik terkait literasi termasuk beberapa dimensi penting yang ada di dalamnya. Selain daripada itu para pakar juga harus memahami berbagai paradigma mutakhir yang berkembang hari ini dan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat tanpa kecuali masyarakat global.
***
Literasi yang di dalamnya ada aktivitas membaca dan menulis ̶ selain keterampilan lainnya ̶, adalah merupakan pintu gerbang ilmu pengetahuan. Proses membaca yang perlu kita lakukan adalah proses membaca sebagai dalam perspektif Hernowo.
Apa yang saya pahami sebagaimana yang disarankan oleh Hernowo bahwa termasuk dalam membaca jangan hanya sampai pada dimensi eksoterik, Literal-lahiriahnya saja, tetapi kita harus sampai pada dimensi esoterik, batiniah, berarti substansinya. Dan tentunya idealnya untuk sampai pada pemahami tersebut dalam aktivitas membaca perlu dilengkapi kemampuan ilmu logika dan filsafat ilmu.
Selain daripada itu literasi digital sebagai bagian daripada literasi itu sendiri harus dipahami. Seperti apa yang dimaksud dengan Literasi digital tersebut?. Untuk menjawab ini, saya meminjam perspektif Farinia Fianto (2018) bahwa “literasi digital adalah kecakapan menggunakan media digital yang beretika dan bertanggungjawab dalam memperoleh dan mengakses informasi, untuk mencari serta mengaplikasikan solusi dan masalah yang dibahas”.
Selain daripada itu dibutuhkan kemampuan berpikir kritis agar mampu menampilkan sikap yang disebut dengan empati digital. Pengertian Empati Digital Farinia meminjam perspektif dari Dr. Yonty Friesem, adalah “sebuah kemampuan kognitif dan emosional untuk menjadi reflektif dan bertanggungjawab secara sosial saat menggunakan media digital.
Saya yakin ketika masyarakat yang hidup dalam kehidupan inersia ini. Memahami dan menyadari tentang literasi, literasi digital, kemampuan berpikir kritis dan empati digital maka tidak akan terbawa arus negatif kehidupan inersia. Melainkan akan mampu memanfaatkan kecendrungan kehidupan ini untuk mengutamakan dan memaksimalkan fungsi positifnya.
Di dalamnya kecendrungan untuk memaksimalkan sisi positifnya maka kita tidak akan ikut serta berkontribusi untuk mengokohkan perspektif matinya kepakaran, melainkan sebagaimana harapan Tom Nichols penulis buku The Death of Expertise (Matinya Kepakaran) akan terwujud.
***
Harapan Tom Nichols adalah “Matinya Kepakaran merupakan sebuah pesan agar semua orang mencari dan memperoleh informasi dari sumber yang tepat, demi kebaikan dirinya sendiri dan orang lain. Dan pesan tersebut penting bukan hanya untuk kegiatan sehari – hari, melainkan juga untuk menentukan arah suatu negeri.
Tentunya saya dan kita semua, tidak ingin seperti apa yang ditemukan oleh Tom Nichols masyarakat sedang dalam kondisi ignorance (ketidak pedulian dan kedunguan). Dan kita tidak ma uterus berada dalam kondisi kehidupan dimana hoax terus diproduksi dan direproduksi.
Terkait literasi digital tentunya bukan hanya sebatas dalam dimensi konsepsi melainkan memasuki dimensi praksis. Terkait ini, Muhammadiyah telah memberikan teladan terbaik. Sebagaimana dalam rumusan isu strategis yang telah ditetapkan pada muktamar ke -47 di Makassar tahun 2015, Muhammadiyah merumuskan apa yang disebut dengan dakwah komunitas.
Dalam rumusan dakwah komunitas, ada yang disebut dakwah virtual. Yang tentunya segmen garapannya adalah netizen atau masyarakat digital yang sedang telah mengalami banyak mengalami transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia. Muhammadiyah telah melakukan proses digitalisasi atas produk – produk pemikiranya dan memberikan kemudahan mengakses bagi netizen.
***
Hal ini memberikan dampak positif yang sangat besar, untuk mengcounter narasi – narasi dangkal yang ada di media sosial. Selain daripada itu kader – kader Muhammadiyah baik secara personal maupun secara institusi memaksimal peran dakwah melalui media sosial. Seperti kehadiran IBTimes.id, Kalimahsawa.id bagi saya itu adalah solusi kreatif, positif dan cerdas untuk menjawab tantangan kehidupan Inersia.
Selain literasi, literasi digital dan segala konsepsi yang relevan, yang terpenting pula adalah bagaimana agar para pakar, ilmuwan, pemikir tanpa kecuali pemikir muslim agar menyadari perubahan, kemajuan dan paradigma yang hidup di dalamnya.
Dan saya pribadi menyarankan khususnya kepada pakar/ilmuwan dan permikir muslim agar jangan terjebak pada satu bentuk ekstrim tertentu seperti terjebak pada liberal tekstual ataupun contextual liberal tetapi harus mampu memposisikan diri pada moderat progresif.
Terkait seperti apa pemahaman yang utuh tentang literal tekstual, contextual liberal dan moderat progressif. Salah satunya bisa ditemukan dalam rumusan konsepsi karakter perempuan berkemajuan yang dirumuskan oleh Pimpinan Pusat Aisyiyah. Dan tentunya masih banyak sumber referensi lainnya untuk memahami secara mendalam.
Selesai…