Perspektif

Ketika Negara Tak Berkutik Menghadapi Kaum Islamis Mayoritarian

3 Mins read

Islamis Mayoritarian | Beredar di media sosial sebuah video yang menayangkan penandatangan penolakan pendirian Gereja yang dilakukan oleh Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta.

Mereka menandatangani petisi di atas kain putih yang bertujuan untuk menolak pendirian Gereja HKBP Maranatha, Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon. Peristiwa yang terjadi pada Rabu 7 September bertempat di kantor Wali Kota merupakan bukti dukungan pemerintah terhadap penolakan yang dilakukan oleh kelompok intoleran mengatasnamakan Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.

Sontak, tindakan dari Wali Kota dan Wakil Wali Kota tersebut menjadi perbincangan publik. Bahkan akun Instagram Helldy Agustian dihujani beragam komentar oleh para netizen. Pada saat yang sama lembaga-lembaga non pemerintahan yang concerned pada isu-isu kebhinekaan, kebudayaan, dan kemanusiaan seperti Maarif Institute dan Gusdurian mengeluarkan surat terbuka dan pernyataan sikap.

Gusdurian mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh kedua pejabat Negara tersebut. Sedangkan Maarif Institute mengeluarkan surat terbuka kepada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon agar menaati konstitusi dan memberi kebebasan pada warganya untuk beragama dan berkeyakinan menurut ajarannya.

Ketundukan Negara pada Kaum Islamis Mayoritarian

Gereja HKBP Maranatha Cilegon berdiri sejak 25 tahun lalu, tetapi dalam prosesi peribadatan Jemaat mereka harus melakukan perjalanan hingga ke Serang, melalui pelayanan HKBP resort serang.

Sejak 25 tahun lalu sampai sekarang mereka tidak memiliki gereja di Cilegon, padahal jemaat gerejanya berjumlah 3.903 orang. Salah satu sebabnya adalah gerakan penolakan yang dibuat oleh kelompok-kelompok Islamis—yang mayoritarian di atas.

Bagi Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon  penolakan mereka bersandar pada Surat Keputusan (SK) Bupati Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 Maret 1975 tentang pendirian rumah ibadah selain masjid.

Baca Juga  Kabar Bohong, Internet, dan Kosmopolitanisme

Sebenarnya melihat kebijakan tersebut ada sisi lemahnya karena SK tersebut sudah tidak relevan. Kota Cilegon bukan hanya ditempati oleh muslim saja, tetapi ada beragam pemeluk agama yang tinggal dan menetap di sana. Bahkan bukan hanya gereja yang direncanakan akan dibangun, tetapi tidak menutup kemungkinan akan didirikan oleh pemeluk agama masing-masing: Pura, Klenteng, Vihara, dan tempat ibadah agama leluhur.

***

Sesuai dengan data yang ditemukan tahun 2019, non-Muslim di Cilegon berjumlah: Warga Kristen berjumlah 6.740, 1.743 warga Katolik, 215 warga Hindu, 215 warga Buddha, dan 7 warga Konghucu (Wahyudin, 2019).

Kelemahan yang lain adalah kebijakan ini bertolak belakang dengan hukum yang lebih tinggi yakni undang-undang tentang HAM pada pasal 28 A-28 J, membahas tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia—di mana warga negaranya dijamin dan dlindungi oleh negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya—termasuk mendirikan dan beribadah di gereja.

Dalam peristiwa ini, kita bisa melihat sebuah realitas ketundukan negara pada kekuatan kelompok mayoritas. Alih-alih negara melindungi hak warga negaranya, tanpa dibatasi oleh agama, Wali Kota dan Wakil Wali Kotanya justru turut serta dalam membelenggu hak beribadah warga negaranya.

Aspirasi kelompok mayoritas dianggap lebih penting karena punya relevan dengan political interest. Maka yang harus dikorbankan adalah nasib minoritas. Jangan heran banyak dijumpai pejabat negara melakukan condoning violence (merestui kekerasan), inilah yang sedang dipertontonkan oleh Helldy dan Sanuji.

Peraturan yang Melegitimasi Penolakan

Pengurus Gereja HKBP Maranatha bukan hanya dipersulit oleh politik lokal; Massa intoleran dan pemerintah kota, namun semuanya itu juga paralel dengan kebijakan pemerintah pusat yang terdapat pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragam dan Pendirian Rumah Ibadah.

Baca Juga  Keterbukaan Menjadikan Islam Punya Peradaban yang Maju!

Bagi peraturan ini: Warga negara yang memiliki rencana mendirikan rumah ibadah harus memiliki izin berupa surat pernyataan tertulis dari 60 warga disekeliling lokasi pembangunan,  mengumpulkan KTP dari 90 orang yang mendukung dan harus memiliki rekomendasi dari Kementerian Agama. Selain itu, harus juga memiliki rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat dan kesepakatan dari pemerintah desa atau kelurahan.

Jauh sebelumnya telah ada kebijakan yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Kebijakan tersebut terbit pada 1969 dengan bentuk peraturan bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Penerbitan aturan ini merespon keresahan masyarakat seputar pendirian rumah ibadah yang marak dan butuh untuk dikontrol negara. Namun, kehadiran kebijakan ini sebenarnya memfasilitasi ketakutan muslim atas isu Kristenisasi yang mulai marak pada 1960-an.

Dalam kasus HKBP Maranatha Cilegon, panjang perjalanan mereka untuk mendapatkan hak beribadah dengan membangun rumah ibadah sendiri. SKB 2 Menteri 2006, bukan membantu justru membuat elit lokal merasa palin berkuasa, realitasnya adalah Lurah setempat yang sampai dengan hari ini belum mengeluarkan persetujuan atas rencana pendirian Gereja HKBP Maranatha Cilegon.

Di sisi yang lain, kebijakan tersebut menjadi landasan bagi kelompok Islamis untuk melakukan penolakan dan intimidasi. Apalagi didukung dengan peraturan lokal yang semakin membuat kebebasan beribada semakin runyam. Selain SKB 2 Menteri yang mempersulit pendirian Gereja. Peraturan Bupati tahun 1975 tentang ketentuan mendirikan rumah ibadah selain masjid juga menjadi dasar bagi kelompok Islamis untuk mengamputasi kebebasan beragama Jemaat HKBP Maranatha Cilegon. 

***

Pemerintah Cilegon harusnya memberikan akses pada warga negaranya untuk terselenggaranya proses keagamaan dengan nyaman. dan menjadi penengah antara mayoritas dengan kelompok minoritas, dengan memihak pada kebebasan warga negaranya untuk bebas dalam beragama dan berkeyakinan.

Baca Juga  Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji al-Faruqi

Wali Kota dan Wakil Wali Kotanya justru melakukan perselingkuhan dengan kelompok Islamis–turut mendukung tindakan persekusi dan intoleransi mereka. Karena telah menjadi lumrah di negara ini, bahwa tidak ada keuntungan politik dalam memberi dukungan terhadap kelompok minoritas.

Bahkan, perlu juga dicatat, bahwa; perselingkuhan ini sering terjadi pada momentum Pilkada, para elit sering memakai kelompok Islam yang mayotarian untuk menjadi mesin penggerak untuk menghantam kelompok minoritas.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulut
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *