Di kalangan sarjanawan Buya Syafii dikenal sebagai tokoh yang sering menulis tentang sejarah, demokrasi, Pancasila, hak-hak asasi manusia, dan pluralisme. Namun, ketika membuka Magnum Opus-nya yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan ada satu sub-bab khusus Buya menulis mengenai posisi perempuan dalam Islam.
Untuk itu dalam artikel ini saya akan menggali tentang posisi perempuan dalam Islam serta masalah yang sering dialami oleh perempuan muslim selama ini.
Buya Syafii Maarif
Ahmad SyafiI Maarif atau dikenal dengan Buya Syafiii merupakan salah satu intelektual yang dimiliki Indonesia. Buya Syafii lahir di sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935, pada tahun 2000–2005 menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Guru Bangsa ini sangat dikenal dengan pria sederhana dan produktif dalam menulis–Buya Syafii telah melahirkan banyak karya tulisan. Untuk mendorong proses demokratisasi dan pembangunan tata sosial yang inklusif, toleran, dan pluralis uya Syafii bekerja sama dengan beberapa tokoh penting mendirikan Maarif Institute For Culture and Humanity pada tahun 2003.
Di dunia internasional, Buya Syafii adalah Presiden World Conference on Religion for Peace yang berpusat di Amerika Serikat.
Posisi Perempuan dalam Islam
Dalam makna yang sejati Islam merupakan ajaran yang memerdekakan semua manusia. Tetapi perlakuan laki-laki yang menempatkan perempuan hanya sebatas dinding dapur dan kamar, atau dalam ungkapan bahasa Jawa sebagai konco wiking (teman belakang) membuat perempuan selalu tersisihkan dalam kehidupan publik.
Di Arab puluhan tahun mereka baru dapat diizinkan untuk menyetir mobil. Sedangkan di Afghanistan mereka mendapat pelarangan untuk keluar rumah dan tidak perlu memperoleh pendidikan.
Perlakuan tersebut telah merampas hak-hak perempuan, tidak jarang dalam perampasan ini dijusttifikasi oleh dalil-dalil agama. Di depan Allah laki-laki dan perempuan setara. Jika keduanya berbuat amal shalil, Allah tidak akan membedakan nilai antara mereka laki-laki atau perempuan.
Nilai ini merupakan sebuah keadilan dalam kehidupan Islam. menurut Buya Syafi’I nilai tersebut, terdapat dalam Alqur’an Surah An-nahl (16):97. “ Barang siapa yang beramal shaleh laki-laki maupun perempuan yang beriman maka kami akan memberikan kepadanya penghidupan yang lebih baik, dibandingkan dengan apa yang mereka pernah lakukan”.
Ayat ini menjadi fondasi tentang kesetaraan perempuan laki-laki dalam Islam. Perempuan yang beramal shalih tidak ada bedanya dengan laki-laki yang beramal shaleh. Keduanya akan diberikan reward yang sama, tidak ada diskriminasi di dalamnya.
Oleh sebab itu tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam kehidupan publik sama dengan melawan serta menegasikan perintah Al-Qur’an di atas. Buya Syafii memiliki pendirian bahwa laki-laki dan perempuan setara dihadapan Allah, meski dalam kehidupan manusia sering tidak disetarakan (Maarif, 2015)
Kultur patriarki harus dikubur untuk selama-lamanya. Islam tidak mempermasalahkan perbedaan, bahkan memaknai perbedaan sebagai rahmat.
Hadis yang Mendiskriminasi Perempuan
Di dalam Al-Qur’an tidak ada dalil sama sekali yang mengatakan perempuan sebagai tulang rusuk, sekalipun masyarakat Islam dominan telah mempercayai dan mempraktikannya hingga perempuan berada di buritan kehidupan. Perlakuan diiskriminasi yang terjadi atas perempuan muslim dari dulu hingga sekarang-dijustifikasi lewat hadis tertentu dan ini merupakan masalah besar dalam Islam.
Hadis tersebut adalah “Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam memandang ini buya Syafii mengikuti apa yang telah digugat selama ini oleh pejuang feminis Muslim Riffat Hasan (1943), Profesor Filsafat Islam di Universitas Durham. Dia menggugat hak perempuan yang telah direnggut dari perempuan muslim selama bertahun-tahun dengan menggunakan dalil-dalil agama yang dipahami secara tidak benar. Oleh sebab itu hadis di atas sangat ditolak keras oleh Riffat, karena hadis itu sering dijadikan justifikasi kultur patriarki dalam Islam.
Sebelum adanya pandangan Rifat ini bagi, mufasir Indonesia – Hamka (1908-1981) menolak tentang pendapat kejadian perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Hamka berkata bahwa “Apabila kita perhatikan hadis di atas dengan saksama, tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perempuan atau terutama Siti Hawa, terjadi daripada tulang rusuk Adam” (Maarif, 2015).
Apa yang tidak bisa diterima perempuan adalah jenis ibu kita dan bahkan ibu kemanusiaan seluruhnya. Maka bagi buya Syafii jika memang benar perempuan diciptakan bengkok, maka alangkah sialnya ibu kemanusiaan kita.
Keluar dari Budaya Patriarki
Hadis itu sering dipakai sebagai dasar, untuk menempatkan perempuan sebagai konco wiking. Padahal hadis itu perlu diteliti kembali-untuk memahami Islam secara benar dan untuk keluar dari budaya patriarki yang terjadi selama ini.
Sebagaimana apa yang telah terjadi di Turki pada tahun 2006 dalam proyek yang dinamakan “The Diyanet Project on Hadith” Para sarjana Turki yang menjalankan proyek ini berupaya meneliti hadis-hadis yang diragukan keasliannya dengan Al-Qur’an sebagai pegangan utamanya. Kepala Departemen Hadis Universitas Ankara Turki menjelaskan bahwa hadis yang ratusan tahun dipakai hingga ratusan tahun itu sangat merendahkan perempuan.
Baginya isu tentang perempuan yang dianggap tulang rusuk bengkok serta lemah akal dan iman merupakan suatu yang dianggap absolut kemudian diterima menjadi budaya, tapi sekarang tidak bisa diterima lagi. Baginya ini tidak sejalan dengan kehidupan semasa nabi hidup dan tidak selaras dengan Alqur’an itu sendiri. Buya Syafii menegarskan bahwa Hadis-hadis tersebut perlu diteliti karena mengapa Islam mendiamkan masalah yang mempengaruhi perjalanan kemanusiaan ini. (Maarif, 2015)
Akibat dari pemahaman yang menegasikan perempuan oleh khalayak muslim-mereka beranggapan bahwa perempuan bukan manusia sempurna, perempuan sering dibuat hanya sebatas pelayan laki-laki. Untuk keluar dari masalah besar ini di kehidupan publik Indonesia, bagi buya Syafii umat muslim di Indonesia perlu mengikuti langkah progresif yang telah dilakukan oleh Turki dengan kemampuan para ahlinya. Mereka mampu menyaring secara hati-hati agar tidak berlawanan dengan pandangan Alqur’an dan akal sehat.
Hadis-hadis yang tidak ramah terhadap perempuan harus ditaruh di belakang. Upaya meneliti hadis itu dilakukan dengan studi yang serius, bertanggung jawab, serta kejujuran dari para ahli yang otoritas.
***
Kajian mengenai status perempuan dalam Islam harus secara continue. Kajian perlu dikembangkan agar kultur patriarki yang bersifat dehumanisasi ini bisa diretas dan menjadi berubah menjadi kultur yang lebih egaliter.
Kaum laki-laki perlu bersyukur dan tidak perlu bertindak lebih mengamati kajian tentang posisi perempuan dalam Islam. Perempuan dan laki-laki merupakan mitra yang setara dalam menjalankan kehidupan publik dan urusan sosial-kemanusiaan lainnya.
Editor: Nabhan