Perspektif

Islam Wasathiyah, Gagasan Politik Ma’ruf Amin

4 Mins read

Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan dari berbagai macam orang yang berlatar belakang berbeda. Meski mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia bukan negara agama. Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara sebagaimana negara-negara Barat. Sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa, Indonesia adalah negara yang berdasar pada Pancasila. Indonesia memiliki konsensus khas dalam mengelola relasi agama dan negara, yang prinsipnya tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi.

Namun sejarah mencacat bahwa agama juga tak bisa lepas dari politik. Agama juga sering digunakan sebagai alat politik. Meningkatnya politisasi agama di dunia menunjukkan bahwa agama semakin memainkan peran penting dalam panggung politik internasional.

Dalam konteks Indonesia, para pengamat melihat kecenderungan Islam memainkan peran penting dalam membentuk wacana politik. Hal itu terbukti pasca kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di tahun 2016.

Akibat gejolak politik yang disebabkan oleh diskursus wacana agama tersebut, demokrasi di Indonesia menjadi pertaruhanya. Menurut the Economist Intelligence Units atau EIU, peringkat Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2017, mengalami penurunan sebanyak 20 angka dari mulanya pada posisi 48 menjadi 68 pasca pemilihan gubernur DKI yang sarat akan politisasi agama.

Terlebih, menurut Vedi R Hadiz dalam jurnalnya berjudul Indonesia’s year of democratic setbacks: towards a new phase of deepening illiberalism, tahun 2017 merupakan tahun dimana demokrasi di Indonesia kembali menjadi illiberal atau adanya ancaman kebebasan sipil.

Hadiz juga menyebutkan konflik seputar pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sarat akan polarisasi dan politisasi agama, juga menguatkan munculnya dorongan politik anti-pluralis dan intoleransi.

Pasca kekalahan Ahok dari kursi gubernur DKI, politisasi islam juga disebut oleh banyak pengamat akan digunakan untuk mencoba melengserkan  posisi petahana dari kursi kekuasaan di Pilpres 2019. Salah satu jalan untuk meredam bagi pertahana adalah dengan menunjuk Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi pada Pilpres.

Baca Juga  Marital Rape di Indonesia: Perkosaan Secara Legal?
***

Namun, semenjak sosok Ma’ruf Amin ditunjuk sebagai cawapres, pemberitaan beberapa media internasional tentang sosok Ma’ruf Amin memang terkesan agak sumbang. Bahkan pesimisme terhadap sosoknya semakin menguat karena dirinya dianggap sebagai sosok islamis konservatif.

Kekhawatiran pandangan internasional ini bukan berarti tanpa alasan. Dengan penunjukan Ma’ruf, beberapa pengamat khawatir bahwa Ma’ruf nantinya akan membuat kebijakan yang cenderung islamis ketika ia meraih kekuasaan.

Human Rights Watch mengemukakan kekhawatiran mereka bahwa penunjukan Ma’ruf bisa jadi akan menghambat realisasi janji Jokowi untuk meningkatkan kualitas hak asasi manusia di Indonesia.

Mengingat sosok Ma’ruf Amin sebelumnya adalah bagian dari aktor yang mencoba menggunakan agama sebagai alat untuk menegakkan agenda-agenda intoleransi.

Menurut laporan Human Rights Watch, Ia dianggap telah memainkan peran penting dalam agenda diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Bahkan selama dua dekade terakhir di MUI, Ma’ruf Amin telah mengeluarkan fatwa terhadap hak-hak minoritas agama, termasuk terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah, serta kelompok LGBT.

Sosok kiai tersebut juga disinyalir memberi jalan pada Aksi Bela Islam berjilid-jilid, yakni sebuah upaya pengerahan masa dengan tujuan mendelegitimasi kekuasaan Jokowi dan menyebabkan diskursus anti non-muslim menyeruak ke publik.

Gagasan Politik Ma’ruf Amin

Dengan latar belakang dan pencitraan yang demikian rupa maka Ma’ruf Amin harus mampu me-rebranding diri dan gagasanya. Setelah dipastikan menjadi cawapres ia mengemukakan sebuah ide gagasan yang Ia sebut Islam Wasathiyah. Menurut Ma’ruf Islam washatiyah merupakan model keislaman yang sesuai dan relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia.

Islam Washatiyah merupakan peneguhan atas Islam moderat yang dianut oleh arus utama Muslim di Indonesia. Islam Wasathiyah penting sebagai respon atas penguatan dan konsolidasi ekstremisme atas nama Islam, baik kiri maupun kanan, dalam beberapa tahun terakhir. Dan guna membalikan citra Ma’ruf Amin yang oleh beberapa kalangan khususnya persepsi barat, bahwa selama ini ma’ruf dianggap sebagai orang yang pro politik islam konservatif.

Baca Juga  Bagaimana Wajah Islam yang (Bukan) Teroris?
***

Islam moderat perlu diperteguh kembali melalui rekonsolidasi islam Wasathiyah. Kiai Ma’ruf menjelaskan bahwa relasi antara agama dan negara di Indonesia merupakan sebuah perdebatan yang sangat panjang. Satu kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Satu kelompok ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sosialis komunis.

Dan satu kelompok lainnya tetap mempertahankan Indonesia adalah negara bangsa yang berdasar pada Pancasila dan konsensus nasional. Perdebatan terkait hal ini pernah mengalami titik kulminasi, dimana ada sebagian kelompok yang sampai melakukan pemberontakan.

Secara lebih luas, konsep Islam wasatiyah adalah anti tesis paham dan gerakan kelompok Islam radikal yang cenderung intoleran, dan mudah mengkafirkan (takfiri). Prinsip ini mengacu pada ajaran memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Keberislaman yang tetap berpijak pada teks dengan pemahaman dan pengalaman yang kontekstual dan membumi, tetap dalam kerangka yang sesuai dengan masyarakat dan budaya Indonesia. Gagasan Islam Wasathiyah tidak terbatas pada sikap yang moderat tetapi juga modern. Islam yang inklusif, menerima dan terbuka kepada perbedaan, berorientasi kepada masa depan dengan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Namun minusnya, istilah wasathiyah sering digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Dalam perspektif intelektual Barat, istilah wasathiyah adalah manifestasi dari Islam moderat yang tidak anti kapitalisme serta tidak bertentangan dengan sekularisme Barat, dan yang paling utama tidak menolak berbagai kepentingan Barat. Islam jenis ini di asosiasikan sebagai Islam yang ramah dan bisa jadi mitra Barat.

***

Pada tahun 2018, Ma’ruf Amin menyampaikan gagasan Islam Wasathiyah dan moderasi Islam dipertemuan internasional. Ma’ruf pernah hadir di Rajaratnam School of Internasional Studies Nanyang Techonology University (RSIS NTU) di Singapura Sebagai Public leture dengan makalah yang berjudul “Rekonsolidasi Wasathiyah Islam: Promosi Islam jalan ketiga dan arus baru ekonomi berkeadilan”.

Baca Juga  Aksiologi Pemikiran Filosofis K.H. Ahmad Dahlan

Penyampaian Ma’ruf Amin menjadi penting sebab Singapura adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai pintu gerbang Barat. Karena Singapura memiliki kedekatan hubungan dagang dengan banyak negara. Sehingga, posisi Singapura secara politik regionalisme dapat dikatakan penting sebagai jembatan antara bangsa Asia dan Barat.

Penyampaian Ma’ruf di singapura tentang Islam Wasthiyah memberi beberapa manfaat. Pertama, memulihkan citra Indonesia yang tercoreng akibat dianggap mengalami kegagalan demokrasi dengan kecenderungan menjadi negara islam konservatif.

Kedua, memberi pengertian tentang keberagaman dan moderasi Islam agar negara non muslim tidak khawatir melakukan kerjasama. ketiga, mengembalikan kepercayaan investor ditengah anggapan bahwa Indonesia kembali menjadi negara otoriter dan konservatif.

Terlepas dari pro kontra tentang Islam Wasathiyah namun ide dan pemikiran islam moderat harus menjadi garda depan dalam menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan bertumpu pada keadilan dan kemaslahatan. Praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah perlu didakwahkan sebagai implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin.  

Menginggat negara Indonesia dihuni oleh berbagai golongan, suku, ras dan agama yang berbeda-beda. Sehingga menjadi sebuah keharusan seluruh warga negara dalam menjujung tinggi toleransi dan tengang rasa hingga tercapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Pemerhati sosial, Direktur Kenanga Institute
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds