Tatkala kita memiliki sumberdaya yang cukup, terutama secara finansial, maka jika berhadapan dengan dua pilihan, apakah harus mendahulukan pergi haji ataukah menyekolahkan anak, kita bisa mengambil keduanya sekaligus. Namun, jika hanya mampu memilih salah satunya, tentu pertimbangannya tidak sederhana.
Haji adalah ritual peribadatan tertinggi di dalam Islam. Haji ditempuh setelah seorang hamba bersyahadat, mendirikan shalat, menjalankan puasa, dan menunaikan zakat. Dan terdapat prasyarat untuk mengerjakannya, yakni hanya bagi mereka yang mampu: baik secara fisik maupun finansial.
Dengan berhaji dan berhasil (atau menggapai mabrur), maka seorang hamba diharapkan seperti bayi yang terlahir kembali di muka bumi ini. Artinya, putih, bersih dan suci. Dosa-dosa dalam diri, diampuni oleh Allah SWT.
Segala lupa, alpa, dan salah yang terdaftar dalam buku harian sejarah diri di tangan malaikat pencatat amal, dicuci dengan salju dan embun. Dengan haji, kita bisa menjadi kain putih yang terbebas dari segala noda dan kotoran kehidupan.
Sementara itu, ganjaran pahala yang diberikan selama menjalankan berbagai ritual peribadatan di tanah suci, sangatlah besar. Jika kita shalat di Masjid al-Haram atau Masjid Nabawi (Haramain), derajat keunggulannya ribuan kali lipat ketimbang dengan shalat di berbagai tempat lain (yang bukan merupakan ritus historis Islam).
Dengan amalan yang mirip sebagaimana halnya yang dikerjakan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail (serta tentu Rasulullah Muhammad Saw), seorang hamba bisa meniti jejak spiritual yang luar biasa, yang akan membawa kepada jalan hanif yang diberkati. Singkat cerita, pantaslah pahala surga bagi siapa saja yang berhaji (mabrur).
***
Di dalam QS Ali Imran 96-97 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya rumah ibadah pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, di antaranya makam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Sementara itu, menyekolahkan anak, merupakan hal yang lain. Hal ini tentu penting. Bahkan bisa juga disebut sebagai ibadah, jika kita memahami bahwa segala perbuatan baik adalah bentuk peribadatan manusia kepada Tuhan. Meskipun, derajatnya bukanlah ibadah mahdhah (yang secara spesifik, tata aturan dan ketentuannya sudah diatur oleh teladan kenabian atau Sunnah).
Memang secara filosofis, seluruh kehidupan kita, itulah sarana pendidikan. Proses tarbiyah Islamiyyah, adalah proses yang kontinyu sampai manusia bersemayam di liang lahat. Hal ini sejalan dengan ungkapan, “Tuntutlah ilmu, sejak belia hingga akhir hayat” (uthlub al-‘ilma min al-mahdi ila al-lahdi).
Namun secara praktis, pendidikan yang memerlukan biaya tidak murah adalah pendidikan formal. Bahkan, untuk pembiayaan jenjang pendidikan sarjana pertama (S1) di kampus terbaik di tanah air, ada yang rela menjual rumah, tanah, dan harta benda lainnya. Semuanya dilakukan demi masa depan generasi muda mereka.
Meskipun sebaik-baik bekal dalam hidup adalah ketakwaan, namun bekal untuk mengarungi kehidupan duniawi adalah bekal intelektual dan kecerdasan. Ada pula yang menyebut bahwa ketakwaan hanya bisa diraih melalui kolaborasi apik antara “intelektualitas”, hati yang baik, dan ketekunan. Jadi, intelektualitas memiliki posisi yang tidak bisa diremehkan.
***
Jika orangtua ingin putera-puterinya kelak menjadi seorang ahli di berbagai bidang yang ditekuni, maka harus memiliki investasi. Intelektualitas dan moncernya otak di dalam kepala, memang mahal. Menjadi ilmuan, sejarawan, ekonom, bankir, dokter, insinyur dan sederet profesi mentereng lainnya, perlu disokong oleh berjuta-juta Rupiah.
Pada akhirnya nanti, – dengan dukungan nasib baik (keberuntungan) dan sinaran takdir Sang Ilahi, semakin profesional keahlian yang dimiliki – semakin besar pula manfaat yang diberikan bagi kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan semesta. Bukankah Nabi pernah bertutur, “Sebaik-baik insan yang mulia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya?”
Lantas bagaimana solusinya? Jika ada dua hal yang baik (bahkan terbaik) dan kita hanya bisa memilih salah satunya, maka kita hanya perlu memilih mana yang memiliki manfaat (mashlahah) lebih besar bagi kehidupan.
Di dalam khazanah filsafat hukum Islam, ada yang pernah mengungkapkan bahwa, “Mashlahah, quthb maqashid al-syariah.” Artinya, kemaslahatan yang luas, massif, dan merebak hebat, merupakan puncak dari tujuan digariskannya syariat Allah.
Dus, manakah yang lebih baik antara mengeluarkan biaya untuk berhaji atau menyekolahkan anak? Saya pikir, para pembaca mafhum betul, ke mana muara pembicaraan kita ini.
Di Indonesia, dan mungkin di beberapa wilayah lainnya, ketika seorang Muslim cenderung memiliki pemikiran dan praktik keagamaan yang lebih tradisionalis (Durkhemian), maka baginya, ritual peribadatan menjadi titik sentral kehidupan. Konsekuensinya, ketika Muslim tersebut kaya raya, maka kecenderungan memilih berhaji lebih besar.
Karena itulah, baik di desa-desa maupun di kota-kota, ada sebagian kalangan Muslim yang menaruh investasinya pada perkara ritus keagamaan, seperti selamatan, tasyakuran, doa bersama-sama (secara komunal), dan berbagai tradisi kultural-religius lainnya. Dalam benak dan bayang-bayang mereka, kehidupan yang bahagia di kampung akhirat lebih menjanjikan.
***
Sementara itu, bagi Muslim yang tampak lebih reformis dalam beragama (Weberian), maka kehidupan duniawi – seperti bekerja keras, mengumpulkan harta benda, Pendidikan, dan segala kegiatan yang cenderung utilitarianistik – dianggap sebagai manifestasi dari penghayatan keagamaan yang mendalam. Karena itu, haji akan menjadi langkah berikutnya setelah hal ikhwal mengenai urusan non-religius (mundane).
Kaum Muslim yang memiliki pandangan dunia (worldview) yang demikian, saat ini, tidak hanya terbatas di lingkungan masyarakat perkotaan. Namun juga di pelosok-pelosok desa. Mungkin modernisasi, industrialisasi, dan globalisasi memengaruhi secara kompleks situasi yang ada.
Mereka ini, ketika memiliki harta benda yang berlimpah, maka akan semakin ingin melipatgandakannya. Semakin kaya seseorang, maka akan beranggapan bahwa itulah suatu upaya menempa kesalehannya. Kecenderungan terhadap akumulasi kapital, kawin-mawin dengan berbagai doktrin keagamaan tertentu.
Nah, dengan kekayaan yang dimiliki itulah, mereka kemudian berusaha secara sungguh-sungguh membangun sesuatu yang memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi. Setelah perusahaannya maju pesat, kemudian membuat lembaga-lembaga amal (yayasan-yayasan kemanusiaan). Melalui berbagai lembaga itulah, kemajuan-kemajuan lainnya akan timbul dari tangan generasi berikutnya.
Walaupun demikian, ketika ada Muslim yang reformis, namun lebih memilih berhaji untuk dirinya sendiri ketimbang membiayai anaknya sekolah, di manakah kakinya berpijak pada kotak-kotak kategori sosial keagamaan?