Didi Kempot bagiku sebuah kenangan masa kecil ketika diajak Ayah ke Madura, tepatnya di Bangkalan. Pada waktu itu di dalam bus lagu “Stasiun Balapan” mengiringi dari Pelabuhan Kamal menuju Pasar Blega. Selama perjalanan lagu tersebut begitu mengena. Meski tidak tahu secara persis maksud lagunya. Yaa pada waktu itu masih berseragam merah putih. Dalam batin saya hanya menyimpulkan bahwa lagu tersebut bagus. Begitu saja.
Perjumpaan dengan Karya Didi Kempot
Perjumpaan suara itu awal sebuah kecintaan kepada pelantun lagu-lagu Jawa tersebut. Meski sampai sekarang tidak pernah kenal dan bertemu secara langsung. Apalagi beberapa hari lalu, 5 Mei 2020, beliau wafat. Maka kesempatan untuk bertemu pun pupus sudah.
Karena itu, bertemu dengan karya-karyanya bagiku sudah cukup. Sampai sekarang setiap mendengarkan radio dan ada lagunya bisa dipastikan akan berhenti di channel tersebut. Ini sudah jadi kebiasaan sejak kecil.
Sebuah lagu dengan lirik tertentu bisa mempengaruhi karakter seorang anak dan pertumbuhannya. Baik kecil ataupun besar. Setiap kalimat yang diterima dengan suka cita dan atas kesadaran maka akan merasuk. Aspek kognitif, afektif dan psikomotorik kena semua (Ainiyah, 2013).
Ternyata ini diamini oleh profesor psikologi dan musik di McGill University di Kanada, Daniel Levitin musik memiliki bukti yang kuat membantu penyembuhan depresi karena memiliki daya tawar untuk pengalihan perhatian. Selain itu musik mampu mempengaruhi tindakan sederhana seperti tingkat produktifitas seseorang dan meningkatkan kebahagiaan (tirto.id).
Ketika ada kebahagian tersendiri dari musik atau lagu tersebut tentu saja akan masuk lebih dalam ke lirik. Dan lirik mirip dengan syair yang mampu membawa pesan dan pengaruh untuk diikuti oleh mereka yang merasa bahagia.
Lagu Stasiun Balapan
Lagu Stasiun Balapan bukan sekedar dua insan yang sedang mencoba untuk mengartikan cinta. Di mana seseorang mengantarkan kekasihnya di Stasiun Balapan.
Ning stasiun balapan
Kuto solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu
Dalam bait pertama tersebut secara tekstual seperti yang penulis utarakan di atas. Namun kalau disimak lebih tenang, itu bisa dimaknai sebuah kesadaran seseorang yang memiliki ikatan akan sebuah perpisahan. Perpisahan dari apapun. Baik dalam waktu sementara atau selamanya.
Penyebutan tempat sebagai bentuk untuk mempertegas perpisahan tersebut. Mana mungkin ada perpisahan tanpa ada tempat yang tidak tersebut. Maka stasiun balapan dan kuto solo ada.
Kemudian kenapa harus kota itu dan stasiun itu? Mungkin saja pak dhe, panggilan akrab penggemarnya, menggunakan tempat-tempat tersebut sebagai awal inspirasi dari lagu. Ini berlaku juga dengan lagu-lagu yang lain seperti Bangjo Malioboro, Pantai Klayar dan Tanjung Mas. Aroma perpisahan begitu sedap.
Ning stasiun balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal aku
Ra kroso netes eluh ning pipiku
Da..dada sayang
Da..slamat jalan
Bait selanjutnya sebuah respon kesedihan dari perpisahan. Netes eluh jadi simbol seperti pada lagu berjudul Malioboro tansah tak siram tetesing eluhku. Eluh yang bermakna tangis. Tangis disini memang ada dua makna tangis kebahagiaan dan tangis kesedihan. Tangis sedih dari sebuah perpisahan lebih dalam yang tergambar dengan eluh atau air mata.
Keikhlasan untuk Menderita
Perpisahan dalam lagu-lagu Pak dhe berbeda dengan puisi Chairil Anwar “Selamat Tinggal” agar segera melupakan masa lalu dan menjadikan sebuah pembelajaran dan Kahlil Gibran “Perpisahan Sahabat” jangan pernah menyia-nyiakan waktu dengan kekasih karena suatu saat pasti akan berpisah.
Perpisahan bagi Didi Kempot adalah sebuah objek yang disia-siakan namun tetap rela untuk terus mengharap dan mengenang. Bukankah ini sebuah keikhlasan untuk menderita? Kesabaran untuk tak terpakai dalam sebuah ikatan. Bagi penulis ini sebuah laku hidup yang tidak ringan.
Jika menilik proses kehidupan Pak Dhe maka tidak heran jika menolak untuk diajak Mamik, kakaknya untuk ikut bersamanya. Dia ingin kenal dengan jalanan dan bagaimana hidup tersiakan di jalan. Terdampar atau lebih tepat mendamparkan diri untuk memungut recehan yang bagi sebagia orang uang sia-sia tak ada arti sama sekali. Maka pantas diberikan kepada orang-orang yang tersia-sia.
Janji lungo mung sedelo
malah tanpo kirim warto
lali opo pancen nglali
yen eleng mbok enggal bali
orang yang tersia-siakan adalah orang yang selalu jadi korban janji. Orang sekarang bilang korban PHP (pemberi harapan palsu). Selain itu orang yang tersia-siakan orang yang tak pantas untuk diingat kembali. yen eleng mbok enggal bali sebuah pengandaian yang tinggal andai-andai saja.
Ketersia-siaan, ikhlas menderita dan recehan bagi Didi Kempot bukan untuk terpuruk dalam hidup. Justru berani menantang hidup itu sendiri. Tidak berpasrah pada tangis dan duduk menyerah saja. Meski menangis tetap saja berjalan bahkan berlari.
Berjuang dalam Ketidakberdayaan
“Sing uwes ya uwes. Loro ati oleh, ning tetep kerjo lho ya, sebab urip ora iso diragati nganggo tangismu (ya sudah ya sudah. Sakit hati boleh, tapi tetap kerja ya, sebab hidup tidak bisa dibiayai dengan tangismu),” ujar Pak Dhe. Kalimat ini pun bersliweran dalam bentuk leaflet di medsos.
Tentu ini kalimat yang sobat ambyar ketika di atas panggung. Beliau juga termasuk tipikal orang yang tidak mau berhenti untuk berbuat apapun.
Artinya, meskipun dari kalangan “tak berdaya” tentu ketika mau mendobrak dan berjuang untuk mendongkel ketakberdayaan tersebut bisa menembus kesuksesan seperti yang diperoleh Didi Kempot.
Sugeng tindak pak dhe, selamat jalan pak dhe. Karyamu akan abadi di telinga dan hati kami.
Editor: Nabhan