Feature

Kenangan dari Pak Karel Steenbrink

5 Mins read

Menyelami Karya Prof. Karel Steenbrink

Saya tahu nama Prof. Karel Steenbrink sejak saya masih mahasiswa dari buku-bukunya yang saya beli dan baca. Dulu di masa kuliah S1 di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, saya pernah membeli dan membaca empat buku yang ia tulis dan terbit dalam Bahasa Indonesia.  

Keempat buku itu yaitu; Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke 19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1980); Pesantren, Madrasah, Sekolah:Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1986); Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988); dan Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia-1596-1942 (Bandung: Mizan, 1994).

Ketertarikan saya dengan buku-buku Pak Karel Steenbrink bukan karena diskusi teologis, melainkan karena sejarah tentang Islam yang ia tulis. Waktu itu, saya belum membaca artikel-artikel lainnya.

Bacaan saya masih terbatas pada buku-buku yang beredar dan diterbitkan oleh penerbit-penerbit unggul dan produktif di masanya, seperti LP3S, Bulan Bintang, dan Mizan.

Masa-Masa Disertasi

Baru belakangan saja, saya membaca karya-karya beliau yang berbahasa Inggris. Tepatnya, ketika saya belajar di Belanda untuk ambil program Doktor di Leiden University dalam program Training Indonesia’s Young Leader yang dibiayai Kementerian Luar Negeri Kerajaan Belanda.

Menjelang selesai disertasi, saya pindah kampus ke Utrecht University mengikuti pembimbing saya Prof. Martin van Bruinessen yang merupakan kolega Prof. Karel Steenbrink sesama Guru Besar di Utrecht University.

Dalam penulisan disertasi inilah saya kemudian mulai membaca tulisan-tulisan Pak Karel yang lain, seperti Catholic in Indonesia: 1808-1903, dan salah satu yang saya baca cukup serius adalah sebuah book chapter berjudul The Power of Money: Development Aid and through Christian Churches in Modern Indonesia, 1965-1980.

Dari sinilah, saya belajar untuk memahami apa makna Islamic Charities yang saya pelajari. Pembimbing saya, Pak Martin, mempersilahkan saya untuk membaca agak banyak pengalaman Kristen, dan mungkin agama dan budaya lainnya dalam mendefinisikan dan memaknai kedermawanan.

Sebagai sebuah budaya dan ajaran, konsep-konsep kebajikan dalam Islam (zakat, shadaqah, dan waqaf) memiliki kesamaan dan perbedaan dengan apa yang berkembang dalam tradisi lainnya.

Baca Juga  Obituari: Agus Edy Santoso dari Teplok Press hingga LazisMu

Saya juga ‘dipaksa’ untuk mencermati bagaimana perbedaan perkembangan konsep kelembagaan dari praktik filantropi Islam dan agama-agama lainnya.

Pernah topik awal disertasi saya ini suatu saat saya utarakan ke Pak Karel Steenbrink ketika bertemu di KITLV dan juga pernah saya diskusikan dengan Sejarahwan lainnya, Prof. Merle Ricklefs, saat kami bertemu di Singapore (sebelum saya berangkat ke Belanda) dan juga Prof. Robert W Hefner dalam sebuah forum di Belgia (dalam sebuah Summer School).

Mereka sangat antusias, apalagi awalnya disertasi saya adalah perbandingan praktik charities dalam Islam dan Kristen di Indonesia. Meskipun akhirnya saya memutuskan untuk fokus lembaga kedermawanan Islam, buku-buku tentang Kristen sudah ‘terlanjur’ banyak saya baca.

Diuji oleh Prof. Karel Steenbrink

Tak disangka, Prof. Karel Steenbrink ternyata menjadi salah satu penguji disertasi saya di Utrecht University bersama 8 orang lainnya. Salah satu pertanyaannya adalah terkait dengan program islamic charities di Pulau Nias, yang mayoritas penduduknya Kristen, dan tentang Muhammadiyah.

Yang saya ingat, pertanyaannya demikian: “Ketika anda mempelajari filantropi Islam atau Islamic charities di Pulau Nias, dan dalam beberapa hal juga mempelajari dakwah Muhammadiyah, manakah yang lebih dahulu menjadi tujuan: membantu orang atau menyebarkan agama?

Bagaimana secara konseptual anda mendefinisikan dan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara dakwah dan charities? Pertanyaan itu saya jawab sebaik mungkin, dan jangan sampai ada jawaban saya yang akan menjadi pertanyaan susulan yang lebih rumit.

Isi jawabannya, saya sudah lupa detailnya. Setelah selesai ujian, ternyata Pak Karel menghadiahi saya, sebagaimana kepada teman-teman Indonesia yang diuji atau dimbimbingnya, dengan sebuah puisi berbahasa Indonesia yang ia bacakan dengan lucu dan segar.

Tak terduga, ternyata saya secara tidak sengaja menemukan refleksi Pak Karel setelah ujian disertasi saya yang dituliskan dalam blog pribadinya (yang saya cek hari ini, sudah tidak aktif). Terima kasih Pak Karel atas segala kenangannya. Selamat jalan. 

Hilman Latief on Islamic Charities
By Karel A. Steenbrink, August 30, 2012

Today, 29 August 2012, we celebrated the doctoral examination of Hilman Latief in Utrecht. The cover of his dissertation shows PKO Muhammadiyah (Penolong Kesengsaraan Oemoem)  or charity organization of Muhammadiyah at a rice distribution, probably in the 1920s or 1930s.

Baca Juga  Kyai Ali Yafie: Fikih Juga Harus Bahas Soal Sosial dan Lingkungan

This is a very rich dissertation: many facts, especially from the last 15 years, suggestions for various interpretations, personal observations. The book has a large number of organizations: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, DDII as the older ones, but many recent developments. After the introductory and more general chapters, chapter 4 concentrates on health centres for poor people, many institutions while Muhammadiyah Hospitals and clinics still are the leading ones.

Chapter 5 is on activists defending women’s rights. Chapter 6 is the result of fieldwork in Nias, where some muballigh or da’i from outside the island have settled and concentrate on activities in mosques and small prayer houses, instructing children how to pray. Chapter 7 is on the attention given by Indonesian Muslims to international affairs, like war in Afghanistan, occupation of Palestine. Chapter 8 has some general conclusions.

One conclusion was challenged by Brigitte Meyer at the oral examination. On p. 312-3 it is stated that traditionally zakat is given from person to person. Nowadays even rich people donate some 5-10.000 Rupiah to poor people who line up by hundreds. When charity is given through organizations and not through individual benefactors directly it is neutral: not an imbalance between giver and receiver. ‘It is within this context that charitable associations, in the form of collective action, can diminish this psychological dimension.’  This sentence is not absolutely clear, but it wants to explain that people will feel easier and free to apply here.

This is what happened in the Dutch system when in the 1960s poor people received the right for government allowances. The same is, however, not the case with Muslim organizations. Latief even gave a nice example of Muslim charities that distributed rice to people, but women had to use the veil at the process of application. Some of these women immediately after receiving their share, took of the veil! Also, here there is not true reciprocity between giver and receiver! I concentrated on chapter 6 in my questions.

Baca Juga  Habib Bukanlah Nabi, Apalagi Tuhan!

The majority of people in Nias are Protestant, some 25% are Catholic and few are Muslim. This was the reason for sending Muslim missionaries to the island. It was not a competition between various organizations, but I had the idea that here the ‘giver’ took the decisions, not the Muslims of Nias themselves. A first preacher was some Qaimuddin , probably born about 1970 in Flores. In the 1980s he was in Bangil for the pesantren or Muslim school of PERSIS.

He had a career as preacher in many places: 1. in Ampah (Central Kalimantan); 2. Raha (Sulawesi Tenggara), with a local foundation for one year; 3. with asistance of PERSIS he helped muallaf in Flores for 2 years and 3 years financed by a Quwaiti foundation. 4. Then he was in Buleleng, North Bali with a Muhammadiyah organization; 5. Again in Flores he was involved in politics and even received a seat in the local parliament for PBB, a Muslim party during the 1999 elections, but he did not take his seat, rather moved to 6. a freelance position in Jakarta and finally 7. to Nias for a programme of AAP, Al Azhar Peduli. (Latief 235-7)

These preachers only receive a low salary, stay often in a room attached to a local masjid. Their education is not fit for development work, because their education concentrates on Arabic and Quranic Studies. They like Islamic Banking, but another informant for Latief was a member of the Catholic Credit Union in Nias, because there was no money for things other than dakwah or direct preaching.  On page 252 the charity is defined as “Progress in this region means the ability to provide local people with wider access to education, particularly Islamic education.” In fact, often not much more than chanting the Qur’an.

Editor: Yahya FR

Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *