Feature

Kyai Ali Yafie: Fikih Juga Harus Bahas Soal Sosial dan Lingkungan

3 Mins read

Kyai Ali Yafie I Dalam konsepsi agama, setidaknya ada tiga hal yang dapat melanggengkan amal saleh seseorang. Di antaranya; punya kontribusi shadaqah yang bersifat perennial, punya kontribusi keilmuan, dan punya kontribusi kaderisasi yang bermanfaat.

Ketiga hal ini akan membuat seseorang yang meninggalkan dunia yang fana ini, akan terus mendapatkan nilai-nilai amal yang telah diperbuatnya selama dia hidup di dunia. Al-Qur’an dari awal sudah memberikan peringatan kepada umat manusia untuk memanfaatkan momentum membaca sebagai bagian dari media untuk menterjemahkan kehendak Tuhan, untuk dijalankan umat manusia.

Keberadaan ulama sebagai “warasatul ambiya”, atau pelanjut dari misi kenabian punya peran yang sangat strategis. Seorang ulama sebagai media pendistribusian keilmuan dan juga punya kader-kader yang akan meneruskan tali estafet keilmuannya. Disamping mewariskan keilmuan, seorang ulama juga punya kapasitas akhlak yang mumpuni.

Keilmuan dan akhlak adalah dua hal yang harus dimiliki seorang ulama, karena kedua term adalah warisan dari Nabi. Adapun keilmuan itu menjadi misi dari seluruh Nabi. Ajaran Islam sangat menekankan aspek keilmuan diawal munculnya yang diproklamasikan oleh Nabi Muhammad Saw. Ajaran itu pertama kali diterima di gua hira dengan perintah untuk membaca. Sehingga membaca adalah sebagai simbol keilmuan.

Dalam konteks keindonesiaan, banyak ulama yang punya kapasitas keilmuan yang mumpuni dan akhlak yang mulia. Ada beberapa ulama yang punya kontribusi besar dalam pengembangan karya-karya intelektual di Indonesia. Di antara yang banyak itu, salah saduanya adalah Buya Hamka dan Ali Yafie. Kedua ulama ini punya banyak kesamaan.

Kesamaan keduanya; Hamka dan Ali Yafie mendalami kegiatan intelektual secara otodidak, tidak melalui Perguruan Tinggi. Kedua ulama ini sangat  produktif dalam berkarya. Jika Buya Hamka lebih berorientasi ke Tafsir Al-Qur’an, sedangkan Kyai Ali Yafie lebih mendalami Ushul Fiqh dan Fiqh, khususnya Fiqh Sosial. Keduanya juga pernah menjabat sebagai ketua umum MUI pusat.

Baca Juga  Buletin Jumat: Megedepankan Dialog dan Musyawarah

Dalam pandangan Kyai Ulil Abshar Abdalla, salah seorang cendekiawan NU, Kyai Ali Yafie dikenal sangat kuat dalam membaca. Dia tidak pernah lelah dalam membaca buku, baik buku-buku yang berbahasa Indonesia, lebih-lebih kitab-kitab yang berbahasa Arab. Penguasaannya terhadap kitab-kitab fiqh sangat mendalam. Di satu sisi beliau memang dilahirkan dalam keluarga Kyai kampung yang sangat familiar dengan kitab-kitab klasik. Kyai Ali Yafie banyak berguru ke berbagai ulama besar yang ada di Sulawesi Selatan.

Sekalipun tidak pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi dan tidak pernah menuntut ilmu di negeri, seperti ulama-ulama sezamannya, tetapi kedalaman keilmu Kyai Ali Yafie sangat mendalam, khususnya ilmu agama seperti tafsir, tasawuf, hadis, lebih-lebih kajian fiqh dan usul fiqhnya.

Kyai Ali Yafie bukanlah ulama fiqh klasik yang hanya menguasai fiqh-fiqh madzhab yang mengupas tata cara beribadah, tetapi penguasaannya terhadap fiqh sangatlah kontekstual. Dia mencoba untuk mengembangkan fiqh yang sifatnya bernuansa sosial. Sehingga dia dikenal sebagai penggagas fiqh sosial di Indonesia.

Banyak buku-bukunya yang mengupas tentang fiqh dalam perspektif sosial dan lingkungan. Jadi fiqh dalam pandangan Kyai Ali Yafie, bukan hanya yang berkutat tentang hukum-hukum fiqh yang boleh dan tidak boleh, tapi harus diinterpretasikan lebih jauh dalam lingkup sosial dan lingkungan.

Adapun yang mendasari ijtihad pemikiran fiqh dari Kyai Ali Yafie itu bersumber dari Al-Qur’an sendiri. Dalam pandangannya terkait dengan fiqh, bahwa perkataan fiqh dalam Al-Qur’an selalu memakai bentuk kata kerja mudhori atau kata kerja bentuk sekarang seperti “tafaqqahuu”, dan kata-kata kerja lainnya banyak terulang dalam Al-Qur’an.

Artinya, dalam pandangan Kyai Ali Yafie, bahwa fiqh itu adalah dinamis, selalu berkembang. Pemahaman ulama-ulama fiqh selalu berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Sebab fiqh itu tumbuh dan berkembang. Salah seorang ulama madzhab yaitu Imam Syafi’i punya perkataan yang berbeda ketika berada di Bagdad dan ketika berada di Mesir, yang dikenal dengan qaul qadim  dan qaul jadid.

Inilah yang menjadi dasar Kyai Ali Yafie dalam mengembangkan atau menggagas fiqh sosial. Hal ini supaya fiqh bukanlah ilmu yang hanya mengurusi ibadah-ibadah yang sifatnya halal haram, tapi berusaha memaknai ilmu fiqh dalam konteks sosial. Betapa jasa Kyai Ali Yafie dalam pengembangan keilmuan agama, khususnya fiqh sangat patut diapresiasi dan dihargai.

Baca Juga  Stagnasi Gerakan IPM (2): Keluar dari Elitisme ke Realisme

Ulama lain yang mencoba untuk menafsirkan fiqh dalam konteks fiqh sosial adalah Kyai Sahal Mahfudz. Kedua Ulama ini punya tujuan yang sama dalam memfleksibelkan fiqh dalam konteks sosial.

Betapa besar jasa Kyai Ali Yafie dalam menyebarkan keilmuan dan mencetak kader-kader ulama dalam pemikiran ilmu fiqh akan terkenang sepanjang masa. Sehingga dalam sebuah hadis disebutkan begini:

“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan bagus amalnya” (HR. Thirmidzi)

Kyai Ali Yafie berkah umurnya dan punya kontribusi yang besar dalam mencerahkan umat lewat karya-karya intelektualnya.

Selamat Jalan Sang Kyai yang selalu meneduhkan, Alfatihah.

Editor: Soleh

Avatar
36 posts

About author
Kepala Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang, Sulawesi Barat.
Articles
Related posts
Feature

Air Kata Joko Pinurbo: Sebuah Obituari

4 Mins read
JOKO PINURBO bersedia tampil di acara “Wisata Sastra” di Jogja beberapa tahun lalu, dengan syarat: satu-dua nama penyair/cerpenis — yang ia duga…
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *