Dalam tiga artikel sebalumnya kita sudah menyajikan pengenalan secara umum tentang Tafsir At-Tanwir. Dalam artikel ini, kita akan mengupas produk tafsirnya. Agar lebih mudah untuk memahaminya, maka kajian dalam artikel ini difokuskan pada corak tafsir ilmi yang terdapat pada Tafsir At-Tanwir Juz 1.
Pengertian Tafsir Ilmi
Tafsir ‘Ilmi (scientific exegies) adalah penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah atau menggali kandungan Al-Qur’an berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan. Biasanya ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan dalam corak tafsir ‘ilmi adalah ayat-ayat kauniyah (kealaman). Teori dan pendekatan yang digunakan dalam tafsir ‘ilmi adalah teori di luar Ulumul Qur’an.
Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan bahwa afsir ‘ilmi adalah penafsiran yang menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer. Sehingga produk tafsir ilmi sangat kental dengan nuansa ilmiah dan ilmu pengetahuan. Corak ilmiah dalam suatu tafsir tidak cukup jika dalam penafsirannya hanya mengandalkan perangkat Ulumul Qur’an saja.
Sebab itu, dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyah diperlukan ilmu bantu di luar Ulumul Qur’an, seperti ilmu kimia, bilogi, fisika, astronomi, geologi dan lain-lainnya.
Tafsir ‘ilmi lahir dari paradigma bahwa Al-Qur’an tidak bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an tidak hanya memuat halal-haram atau ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah saja, namun Al-Qur’an juga mengandung isyarat ilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Dengan demikian, dalam menafsirkannya diperlukan seperangkat ilmu bantu di luar Ulumul Qur’an. Agar isyarat ilmiah di dalam ayat yang ditafsirkan dapat terungkap dan bisa diambil hikmahnya. Namun tentu tidak mudah. Dibutuhkan keahlian khusus dalam hal ini.
Karena itu, tidak semua tafsir Al-Qur’an mampu menampilkan corak tafsir ‘ilmi di dalam penafsirannya. Celah inilah yang berusaha diisi oleh Tafsir At-Tanwir. Karena selama ini banyak tafsir yang hanya mengulang-ulang pendapat ulama-ulama terdahulu, sehingga tidak ada pembaharuan dalam produk tafsirnya. Tentu sangat menarik menyimak Tafsir At-Tanwir yang bercorak tafsir ‘ilmi.
Bahan dan Proses Penciptaan Alam
Penafsiran tentang proses penciptaan alam semesta ini dilakukan ketika menafsirkan surah Al-Fatihah ayat ke-2: اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ. Setelah terlebih dahulu menguraikan panjang lebar tentang landasan filosofis penciptaan, Tafsir At-Tanwir baru kemudian menjelaskan tentang proses penciptaan alam semesta secara ilmiah. Disinilah corak tafsir ‘ilmi sangat terlihat. Berikut saya kutipkan penafsirannya:
“Proses makhluk diciptakan diawali dengan terciptanya alam semesta. Alam semesta “berada di suatu raung” yang sangat luas, yang oleh Carl Sagan disebut dengan Cosmic Ocean… Setelah Allah “menyediakan” ruang bagi terbentuknya benda-benda langit, Allah kemudian memulai menciptakan benda-benda langit dengan gumpalan gas yang berupa “kabut” (dukhan, Q.S. Fushilat [41]: 11) yang pekat dan menyatu (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 30), yang diketahui sekarang bahwa gas tersebut merupakan helium, litium, dan hidrogen. Proses ini terjadi dalam dua tahap (Q.S. Fushilat [41]: 12).
Para ahli fisika masih belum banyak tahu mengapa gas tersebut bisa memperoleh massa sehingga dapat menyatu dan bergerak. Baru pada tahun 2012 Peter Higgs dan Francois Englert menemukan ada sebuah medan besar yang berinteraksi dengan partikel-partikel dasar atom yang membuat inti atom tersebut memperoleh massa. Semakin kuat partikel tersebut berinteraksi, maka semakin besat pula memperoleh massa. Itulah yang disebut dengan Higgs Boson, yang oleh Leon Lederman disebut dengan God particle (partikel Tuhan).” (Lihat, Tafsir At-Tanwir, 20-21)
Kutipan tersebut di atas menunjukkan bahwa, dalam menafsirkan surah Al-Fatihah ayat ke-2 tersebut, Tafsir At-Tanwir banyak menggunakan istilah-istilah ilmiah yang sebelumnya jarang sekali ditemukan dalam penafsiran kitab-kitab tafsir yang ada selama ini. Selain itu, kutipan penafsiran tersebut banyak merujuk beberapa buku dari Barat dalam bahasa Inggris.
Ada dua buku berbahasa Inggris yang digunakan dalam menafsirkan ayat kedua dari surah Al-Fatihah tersebut, yaitu buku Cosmos karya Carl Sagan (New York: Ballantine Books, 1980) dan The God Particle: If Universe is the Answer, What is the Question? Karya Leon Lederman (New York: Delta Books, 1993).
Rujukan dalam Bahasa Inggris, terlebih terkait dengan ilmu pengetahuan seperti ini sangat jarang sekali ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang pernah ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya.
Kalbu dalam Perspektif Ilmu Kedokteran
Penafsiran kata ”kalbu” dalam persepektif ilmu pengetahun ini sangat menarik untuk dikemukan. Penafsiran kata kalbu ini ditemukan pada saat menafsirkan ayat 10 dari surah Al-Baqarah dalam Tafsir At-Tanwir Juz 1. Berikut kutipan penafsirannya:
”Orang Arab pada umumnya menggunakan kata qalb dalam pengertian jantung… Selama ini para ahli mempercayai bahwa medan elektromagnetik jantung adalah medan yang paling kuat yang dimiliki manusia. Medan ini tidak hanya mempengaruhi setiap sel yang ada dalam tubuhnya, akan tetapi juga mencakup ke segala arah ruang di sekitarnya.
Diduga bahwa medan elektromagnetik adalah pembawa informasi yang sangat penting. Bahkan dapat dibuktikan pula bahwa medan elektromagnetik seseorang dapat mempengaruhi cara kerja otak orang lian. Berikut adalah contoh bahwa jantung memiliki penglihatan, pendengaran, emosi dan pikiran: seorang gadis kecil mampu mengungkap pembunuh donor jantung dengan tepat (menunjukkan pakaian, senjata dan peristiwa)…
Dokter yang mentransplantasi menemukan pasien yang menerima jantung dari donor yang bunuh diri, sekarang takut untuk bunuh diri. Hasil penelitian terbaru tentang jantung pun mengisyaratkan bahwa jantung dapat sakit apabila pikiran dan emosi tidak bersangkut-paut dengan perilaku yang benar. Misalnya perilaku munafik yang memiliki ciri-ciri menyimpang dari nilai-nilai niversal”. (Lihat, Tafsir At-Tanwir, 126-127)
Kutipan penafsiran ayat ke-10 dari surah Al-Baqarah di atas sangat menarik dan kontributif dalam dunia penafsiran Al-Qur’an. Karena selama ini jarang sekali penafsiran kata qalb yang digali secara mendalam dalam persepektif ilmu kedokteran.
Selain itu, penafsirannya juga merujuk hasil penelitan mutakhir tentang qalb sehingga produk penafsirannya benar-benar baru. Dalam menafsirkan kata qalb ada tiga buku berbahasa Inggris yang digunakan, yaitu Multidimensional Mind: Remote Viewing in Hyperspace karya Jean Millay (Berkeley: North Atlantic Books, 1999); Connectedness karya Arnold Ward (Viktoria: Trafford, 2003); dan The Heart Speaks: A Cardiologist Reveals the Secret Language of Healing karya Guarneri Erminia (New York: Touchstone, 2006).
Produk penafsiran seperti inilah yang memberikan wawasan baru dan membangkitkan etos ilmu pengetahuan bagi para pembacanya.
Mengapa Melahirkan Corak Tafsir Ilmi?
Pendekatan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir adalah pendekatan Bayani, Burhani dan Irfani. Muhammadiyah sendiri sudah tidak asing dengan tiga pendektan ini, karena sebalum digunakan dalam Tafsir at-Tanwir, Muhammadiyah dalam Putusan Tarjih tahun 2000 di Jakarta dijelaskan bahwa pendekatan dalam ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
Pendekatan bayani menggunakan nas-nas syariah. Penggunaan burhani menggunakan ilmu pengetahuan. Pendekatan irfani berdasarkan kepada kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.
Tafsir At-Tanwir berusaha untuk memadukan ketiga pendekatan tersebut. Ketiga pendekatan yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir ini kemudian akan melahirkan karakteristik penafsiran yang berbeda jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir yang telah ada pada umumnya. Termasuk dalam corak tafsir ‘ilmi yang menonjol. Pendekatan burhani yang digunakan dalam Tafsir At-Tanwir inilah yang melahirkan corak tafsir ‘ilmi.
Selain itu, sejak awal Tafsir At-Tanwir disusun tujuannya salah satunya adalah untuk membangkitkan etos ilmu pengetahuan, disamping etos ibadah, etos ekonomi dan etos kerja, dan etos sosial (solidaritas).
Lahirnya Tafsir At-Tanwir ini penting dan menarik tuntuk dikaji, mengingat bahwa Tafsir At-Tanwir adalah tafsir yang lahir dari salah satu Ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia (1912). Menurut Alwi Shihab, kontribusi Muhammadiyah dalam pemikiran dan pengembangan Islam di Indonesia tidak dapat dipungkiri telah menampilkan diri sebagai sebuah fenomena unik dalam kehidupan keagamaan di Indonesia (Alwi Shihab, Membendung Arus, 2016: 4).
Tafsir At-Tanwir yang direcanakan terbit dalam bentuk utuh 30 juz ini merupakan bentuk respons dan kepedulian Muhammadiyah terhadap persoalan-persoalan Islam kekinian di Indonesia, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar tidak tertinggal jauh dari negara-negara lain. Karena kemajuan suatu bangsa sangat identik dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah peran Tafsir At-Tanwir sangat penting dan strategis.
Editor: Nabhan